7

0 0 0
                                    

"Udah lama ya, Rio gak mampir ke rumah?" Kiana berbasa-basi sambil menuangkan nasi ke piring Rio. "Kalo Bi Ratihnya lagi pulang kampung, jangan sungkan untuk nginap, Rio."

Satu jam berlalu sejak Rio sampai di rumah Ria. Saat ini, mereka tengah duduk mengelilingi meja bundar bersama orangtua Ria, sementara halaman belakang rumah telah ramai dipenuhi puluhan karyawan perusahaan milik Ria. Meja ini terletak cukup jauh dari pintu yang membatasi rumah dengan halaman belakang, sehingga makan malam mereka tidak terganggu oleh ramainya acara di luar.

Rio tersenyum tulus, senyum yang jarang diberikannya pada sembarang orang kecuali Ria dan keluarganya, serta Bi Ratih. "Iya, Tante. Makasih banyak, Rio selalu ngerepotin."

Sekejap kemudian, suasana di meja makan tersebut menjadi hangat oleh obrolan-obrolan menyenangkan. Sejak Ria pertama kali memperkenalkan Rio sebagai sahabat terbaiknya, Kiana sudah menganggap Rio sebagai anak sendiri, terlebih setelah ibu Rio meninggal. Mereka sudah seperti keluarga—Rio mengetahui dengan baik seluk-beluk keluarga Ria dari sejak ayah kandungnya masih tinggal bersama Ria, Rio pun terbuka tentang keluarganya sendiri dan diterima dengan sangat baik di rumah Ria.

"Serius teman sebangku kamu ngelakuin itu, Yo?" tanya Robert memastikan. Mereka sedang berbincang tentang kelakuan teman sebangku Rio yang tukang mencari sensasi dan hobi selfie di kelas.

"Iya, banyak deh aksinya. Padahal cowok, tapi narsis," jawab Rio sambil tertawa kecil.

Robert balas tertawa. Sejenak setelahnya, meja makan itu berubah hening, menyisakan hiruk-pikuk barbeque party di halaman belakang. Dalam hening singkat itu, tiba-tiba Ria teringat ingin membicarakan mengenai kondisi keuangan Rio, berhubung mereka sedang berbincang langsung dengan orangtua Ria. Baru saja Ria hendak membuka mulut, ia teringat bahwa Rio belum menyetujui usul Ria tadi.

"Ada apa?" tanya Rio dalam batin begitu menyadari Ria memandangnya, ingin bertanya.

Di sebelah mereka, Robert dan Kiana tampak asyik memotong daging, menikmati sunyi tersebut tanpa memperhatikan mereka. "Aku ngomong soal masalah kamu tadi, ya?" ucap Ria melalui batinnya. Suara yang seolah merambat dari hati ke hati.

Rio terlihat berpikir sebentar, tetapi kemudian mengangguk.

Ria langsung memanggil orangtuanya. "Ma, Pa," nada suaranya serius. Kepala Robert dan Kiana langsung terangkat, menatap Ria.

Robert menaikkan alisnya ketika putrinya itu tak kunjung melanjutkan. "Kenapa, Ri? Ngomong aja."

Ria memandang Rio sekilas lagi, kemudian berusaha menjelaskan, "Tabungan Rio udah menipis, Ma, Pa. Rio takut, kalo begini terus, lama-lama dia bisa kehabisan uang. Ayahnya kayaknya gak bisa diharapkan lagi."

Orang tua Ria langsung mengerti arah dan maksud pembicaraan Ria. Mereka bertukar pandang, membuat Ria sedikit heran tentang apa yang mereka pikirkan. Rio menunduk, bingung harus berkata apa. Selama ini, ia merasa sudah sangat merepotkan keluarga Ria.

"Jadi, kalo bisa, Rio mau kerja paruh waktu di tempat Mama-Papa. Bisa kan, Ma? Rio butuh pemasukan sedikit untuk kebutuhan sehari-hari," tetapi Ria tetap melanjutkan, mimik wajahnya penuh harap.

Robert dan Kiana masih menunjukan raut wajah yang tak dimengerti Ria. Robert kemudian menghela napas sebelum menjawab Ria, "Ada hal yang mau Papa omongin, Ria, dan juga Rio."

Raut wajah Ria langsung berubah. Perasaannya tidak enak melihat intonasi suara ayahnya yang mendadak tegang. Rio mendongakkan kepala, menyimak.

"Baru tiga hari yang lalu, bisnis kita rugi besar-besaran karena ulah kompetitor. Kalian tau sendiri, bisnis distribusi beras cuma ada dua di kota ini, dan begitu omset kita melambung tinggi, langsung mengundang perhatian bisnis sebelah. Mereka gak terima. Hampir sepuluh karyawan kita berhasil mereka tarik, juga pelanggan-pelanggan. Paling parahnya lagi, tiga hari lalu mereka membayar mahal stasiun televisi lokal untuk memuat berita kalo bisnis kita menipu pelanggan," jelas Robert panjang-lebar. "Dan hari itu juga, bagian keuangan ada yang mencuri uang hampir tiga ratus juta. Belakangan kita baru tau itu orang suruhan bisnis sebelah. Kita nuntut ke pengadilan, tapi nggak ada yang meladeni karena mereka termakan berita di TV itu."

Rio & RiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang