4

3 0 0
                                    

"E-Eh, tunggu, Pak!" teriak Ria seraya berlari lebih cepat menuju gerbang sekolah.

            Terlambat memang sudah menjadi kebiasaan Ria yang mendarah daging. Tapi kali ini, Ria sudah sangat terlambat, sampai-sampai gerbang sekolah yang biasanya masih buka hingga setengah jam setelah bel pun sudah mau ditutup. Berhubung gerbang sekolah SMA Kirana ini tinggi menjulang dan sangat berat, menjadi sesuatu yang mustahil bagi Ria untuk bisa masuk ke dalam setelah gerbang ditutup. Apalagi, tidak terdapat celah yang memungkinkan bagi murid untuk memanjat, plus Pak Satpam di dalam yang baik hati itu tidak akan bisa diajak kompromi karena telinganya sudah rada tuli akibat usia.

            Begitu Ria sudah tiba tepat di depan gerbang dengan napas tersengal, rupanya gerbang sudah dikunci dari dalam. Ria mencoba menggedor-gedor gerbang terlaknat itu, tapi nihil. Sepertinya Pak Satpam sudah masuk ke dalam posnya yang berjarak agak jauh dari gerbang. Menyadari hal itu, Ria pun berjalan lesu tanpa tujuan.

            Alamat sudah. Ria tidak bisa masuk sekolah hari ini.

            Kecuali kalau akses masuk dari pintu belakang terbuka lebar.

            Teringat hal tersebut, Ria kembali bersemangat. Ia berjalan cepat mengitari gedung sekolah menuju pintu belakang. Pintu belakang sekolah biasanya dikunci dari dalam, tetapi kuncinya tidak pernah dibawa siapa pun. Hanya sedikit pula yang mengetahui perihal pintu belakang ini. Ria ingat, saat itu ia sedang dalam usaha mencari tempat yang berbeda untuk makan siang bersama Karen, dan tanpa sengaja melewati pintu belakang ini.

            Tapi masalah keduanya adalah, bagaimana cara memberitahu Karen agar membukakan pintu ini untuk dirinya? Ria mau pun murid-murid lainnya tidak ada yang membawa ponsel karena larangan keras dari pihak sekolah.

            Tiba-tiba, di kala Ria sibuk memikirkan cara untuk masuk melalui pintu belakang di hadapannya itu, telinganya menangkap sebuah suara yang tak lagi asing, "Val," panggil suara itu.

            Ria tersenyum lebar seolah mendapatkan pencerahan. Ia pun membalas panggilan suara itu tanpa perlu membuka mulutnya. "Bantuin aku, Yo!"

            Berlangkah-langkah jauhnya dari pintu belakang, di dalam kelas XI IPA 3, seorang laki-laki ber-hoodie yang duduk di deretan paling belakang, Rio, beranjak dari kursinya, izin ke toilet. Begitu keluar dari kelas, ia membatin pada Ria, "Kamu dimana?"

            "Pintu belakang," jawab Ria dari posisinya. "Pintu beton sebelah lapangan indoor, di sela-sela lapangan sama pembatas tempat parkir sepeda."

            Rio tertegun sejenak. Jadi itu pintu belakang sekolah ini? batinnya pada dirinya sendiri, tapi malah dibalas oleh Ria, "Iya!"

            Rio tersenyum geli. Ia mempercepat langkahnya menuju pintu yang dimaksud Ria. Tidak ada siapa pun di dekat situ, maka dirinya aman. Ia membuka kunci pintu yang tidak dicabut dari lubangnya. Tetapi, ia tidak menemukan siapa pun di balik pintu.

            Rio mengernyitkan dahinya seraya melepas tudung hoodie dari kepalanya. Ia merasa ini benar pintu yang dimaksud Ria, tapi kemana orangnya sekarang? Ia mencoba bertanya pada Ria dengan cara yang sama, tanpa suara, tapi Ria tidak menjawab. Rio menengadahkan kepalanya ke kanan, tidak ada. Begitu menoleh ke kiri...

            "Dor!" ujar Ria dengan jari-jari membentuk tembakan. Ia terkekeh geli, berhasil mengerjai Rio.

            "Nakal ya, udah dibantu juga," ucap Rio sejurus kemudian tanpa menunjukkan rasa kagetnya.

            Ria menunjukkan cengiran khasnya. Saat Ria hendak masuk, Rio malah menutup pintu belakang dan keluar ke trotoar. Ia meraih tangan Ria dan mengajaknya pergi dari situ.

Rio & RiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang