6

1 0 0
                                    

Pukul enam sore, Rio terbangun dari tidurnya oleh suara alarm. Ia bergegas mematikannya, lantas itu mengembalikan sunyi yang menyelimuti rumahnya sejak pagi tadi. Bi Ratih sudah pulang kampung begitu Rio selesai sarapan, dan setelah itu, Rio memilih menyibukkan diri dengan tugas-tugas sekolah. Begitu semuanya selesai, ia memutuskan tidur sebelum akhirnya pergi ke rumah Ria jam tujuh malam.

            Biasanya, di jam-jam segini, ia akan mendengar suara Bi Ratih memasak makan malam di dapur yang terletak tak jauh dari kamarnya. Atau siul-siul pembantu rumah tangganya itu, yang Rio yakini untuk meredam jenuhnya sendiri. Untuk hari ini, Rio terbangun dari tidur sore untuk disambut oleh hening yang kian pekat di rumah minimalisnya.

            Empat tahun berlalu sejak peninggalan ibunya, Rio masih belum bisa memeluk rasa sepi ini dengan damai.

            Setelah terdiam dengan pikiran mengawang kesana kemari, Rio akhirnya beranjak dari tempat tidur, mandi dan bersiap-siap untuk menginap semalam di rumah Ria. Setengah jam berikutnya, Rio sudah duduk di sofa ruang tamu, memakai sepatu, dengan tas ransel di punggungnya. Ia lalu berdiri, hendak meninggalkan rumah ketika matanya terpaku pada piano hitam di sudut ruangan.

            Rio menatapnya nanar. Satu menit kemudian, ia sudah terduduk di depan piano dan mulai menekan tuts-tuts hitam-putih memainkan satu-satunya lagu klasik yang masih bisa dimainkannya dengan sempurna, Fur Elise karya Beethoven dengan tempo yang lambat. Suasana ini membuat pikirannya kembali mengingat masa dimana semunaya terasa mudah dan indah. Ketika keluarga kecilnya masih bisa berkumpul hangat, bercanda-tawa dan berbagi kisah bersama.

            Rio sudah merelakan kepergian ibunya dengan lapang dada, karena ia tahu persis bahwa almarhum tidak akan hidup kembali. Tapi ayahnya... selalu terbesit harapan dalam hati Rio bahwa esok lusa, ia bisa mendapati ayahnya mengetuk pintu, masuk ke rumah, dan makan malam bersama Rio layaknya seorang ayah yang baru pulang kerja. Itulah yang kira-kira membuat Rio belum bisa menerima rasa sepi yang melandanya—ia masih mengharapkan ayahnya.

            Dengan berakhirnya lagu yang ia mainkan, ia membatin, Tapi nyatanya ia tak pernah kembali. Ia menghela napas, dan dengan rasa kesal yang tiba-tiba membara, ia menutup pianonya dengan keras sampai menggema ke seluruh rumah.

            Sejak kejadian itu, ayahnya pergi, dan tidak pernah kembali hingga saat ini. Saat itu, Rio bahkan belum mengerti arti kehidupan yang sesungguhnya. Rio masih seorang murid SD kelas 3 yang dengan polosnya berkata hidup itu indah sekali. Meskipun dengan kejadian tersebut, terbentuklah pribadi Rio yang baru—sebuah pola pikir dan sikap dimana seseorang sudah mengerti sisi pahit kehidupan. Dan umur delapan tahun sesungguhnya terlalu dini untuk itu.

            Terkadang, situasi yang ada terlalu kejam sampai membentuk kepribadian seseorang tanpa disadari.

            Namun, di tengah serangan memori yang membuatnya mendadak kesal, tiba-tiba terdengar suara lain dari hati Rio, suara yang selama ini menjadi alasannya tersenyum di tengah sepinya hidup yang ia jalani, "Siapa yang tak pernah kembali?" tanya suara itu.

            Rio tersenyum lebar. Amarahnya pudar begitu saja. Ia tidak menjawab pemilik suara itu, Ria, tetapi langsung menyambar tas ransel, menyampirkannya di pundak dan meninggalkan rumah tanpa memikirkan apa-apa lagi.

            Berjalan kaki menyusuri jalanan perumahannya yang lengang, ia melihat seorang pedagang cilok kesukaannya. Meskipun sedikit heran karena biasanya cilok tersebut sudah habis dan pedagangnya pulang jam segini, ia mendekati gerobak tersebut dan menyapa si pedagang.

            "Ciloknya dua bungkus Bang, masih ada?" tanya Rio, memesan untuknya dan Ria.

            Pedagang cilok tersebut, Bang Heru, mengangguk dan mulai menyiapkan pesanan. Sambil memperhatikan, Rio bertanya lagi, "Tumben, kok masih dagang Bang jam segini?"

Rio & RiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang