Babak 4 : Cerita Umak

355 29 2
                                    

Nafasku masih belum sepenuhnya teratur, karena kebodohanku sendiri. Aku lega ternyata itu hanyalah bayanganku. Aku kembali berjalan menuju rumahku.

Namun, saat aku palingkan wajahku melihat ke arah sungai. Dari kejauhan, tampak samar-samar diterpa oleh sinar rembulan. Aku melihat seorang wanita kepayahan mengayuh sampan, dengan dayung kayu.

“Itu umak”. Batinku setelah melihat wanita itu.

Aku segera menuju ke rumah, takut umak marah. Jika, dia mengetahui bahwa aku melanggar larangannya. Segera aku berlari menuju rumah.
Jika, ia mengetahui hal yang aku lakukan malam ini, bisa bertambah berkali-kali lipat rasa ketakutanku malam ini.

"Maaaak... Umaaakkkk...". Panggilku sambil berlari ke arahnya. Aku mencoba tenang dan seperti aku tak melanggar larangannya. Disisi lain karena aku telah melanggar larangannya, hatiku pun sudah tak bisa menahan rindu padanya.

Aku berjalan sambil melihat umak masih menyandarkan sampannya di dermaga kecil depan rumah kami. Dermaga itu tak lain adalah halaman rumah kami sendiri. Yang sedari tadi aku duduk disana menanti kedatangan umak. “Semoga umak tak melihatku saat yang berlari dari rumah kosong tadi”. Batinku sesaat setelah aku berada di pinggir dermaga, siap menyambut kedatangannya.

Setelah sampan umak terikat di tiang dermaga, ia segera naik dari sampan. Melewati 2 buah anak tangga yang sisanya tenggelam dalam air. Umak berjalan mendekatiku. Aku langsung mendekatinya dan kita dia telah berdiri menghadapku dengan membawa dua tas sayuran, terlihat daun sawi yg menjuntai keluar di sana.

"Umaaaakkkk..." Panggil ku, langsung memeluknya. Sebelum dia menyadari bahwa aku telah melanggar larangannya. Aku harus berpura-pura seperti hari-hari biasanya. Dengan baju lusuhnya, umak membalas pelukanku dengan erat dan hangat, sangat nyaman pelukan umak.

"Tak usah kamu tanya lagi tentang abah mu ya sayang, yang terpenting kamu bahagiakan dengan umak?" kata umak tiba-tiba, dengan suara paraunya.

Usianya memang sudah tak lagi muda. Umur umak mungkin memang sudah empat puluh tahunan. Tapi wajahnya, masih terlihat muda dan kencang. Aku tak tau apa rahasia umak untuk menjaga kulitnya agar tetap kencang seperti wanita umur dua puluh tahunan ini.

Aku sedikit lega mendengar ucapan umak tadi. Ternyata umak tak menyadari kalau aku baru pulang dari rumah kosong itu.

"Inggih, mak”. Sahutku mengiyakan. Sambil ku angkat wajahku melihat wajahnya. Mendongak menghadap tepat di bawah dagunya. Badan umak sedikit lebih tinggi dari ku. Tinggi badannya 168 cm.

"Aku tak akan bertanya tentang Abah lagi mak" Kataku dalam hati. Sambil melihat wajah cantik umak. Dewasa ini, aku mulai memaklumi kenyataan itu. Mungkin umak memiliki kisah buruk masa lalu dengan Abah. Tapi disisi lain umak berkata benar. Aku sudah cukup bahagia bersamanya, sepanjang waktu.

"Mak... ". Panggilku lirih.

"Tadi, meapa kam menciak-ciak mendadau Umak?". Potong umak, seraya melepas pelukannya dan menatap mataku dalam-dalam. Belum sempat aku membalas tatapan matanya, ia pergi dengan membawa dua tas sayuran menuju pintu rumah. Sepertinya umak penasaran karena tak biasanya aku berteriak-teriak memanggil umak seperti tadi.

"Meapa sayangku? Malam-malam kaini, meapa kam keluar pondok?" Timpal  umak lagi. Menambah PR jawaban ku. Aku masih terdiam, mencari alasan untuk kedua pertanyaan umakku itu.

"Mak... boleh tada, ulun... betanya dua... Umak?" Tanyaku balik padanya, sedikit berbelit. Takut beliau marah seperti dia memarahiku saat bertanya soal abahku.

"Hendak betanya apa? Tapi jangan betanya soal abah kam lagi lah". Jawab umak singkat. seperti dugaanku.

Jawaban umak itu membuatku merasa diterpa angin segar. Kata-kata itulah yang aku nantikan keluar dari bibir manisnya. Aku takut untuk mengatakan ini, tapi... aku langsung berlari kembali mendekati umak. 

“Muah”. Aku kecup pipi umak.
"Tada usah mencoba mencuri hati umak, sayang". Kata umak. Setelah aku menciumnya sambil  melemparkan senyum manisnya padaku. Namun aku masih ragu untuk melanjutkan pertanyaanku. Belum sempat aku menanyakan tentang rumah tadi. "Umak sudah tahu.“ Lanjut umak. Aku yang mendengarkan itu, jantungku langsung kembali berdegup cepat.

Setelah dia menaruh tas sayuran itu tepat di depan pintu, lalu umak berjalan ke samping rumah dan menghadap rumah kosong yang aku datangi tadi.

“Pasti ikam dari pondok-pondok tuha itu kan?". Lanjut umak masih menghadap ke rumah usang.

Aku terperanjat. Bagaimana umak tahu kalau aku dari sana. Padahal jarak saat aku melihat nya di sungai tadi cukup jauh dan gelap. Tidak mungkin umak tahu kalau aku dari rumah kosong itu, yang selama ini, dia melarangku untuk memasukinya.

Belum selesai aku menerka, bagaimana umak bisa tahu perbuatan bodohku tadi. Ia berjalan santai menghampiriku yang masih berdiri di tempat aku menciumnya tadi.

Umak kini berdiri tepat di hadapanku, aku telah siap untuk di marahinya. Tangannya mengarah ke atas kepalaku. Aku semakin ketakutan, kupejamkan mataku rapat-rapat.

“Akan sangat sakit, jika umak memukul kepalaku untuk pertama kalinya” batinku. 

“Tapi, aku telah siap dengan hukuman dari umak walau dipukul sekalipun”.

Tangannya sudah terasa menyentuh ujung rambutku. “Ini apa?” tanya umak dingin. Ia mengambil sesuatu di kepalaku. Aku tertegun dan langsung membuka mata, untuk melihat yang di ambil umak dari atas kepalaku.

Saat mataku terbuka, aku mencari tangan umak yang ternyata telah berada tepat di depan wajah ku. Ternyata itu adalah sarang laba-laba yang menyangkut di rambutku. Belum sempat pula aku melihat wajah umak setelah ia mengambil sarang laba-laba yang tersangkut di kepalaku, untuk mengajukan alasan. Tiba-tiba umak langsung berpaling dan membelakangiku.

Sepertinya umak kecewa dengan tingkahku malam ini. Aku masih terdiam menanti apa yang akan umak katakan setelah mengetahui perbuatanku ini.

Terdengar lirih, umak menghela nafas panjangnya. “Aku tahu, itulah yang umak lakuan jika rasa kecewanya muncul terhadapku. Tapi, rumah-rumah kosong itu jauh lebih menggugah rasa penasaranku mak” gerutuku dalam hati.

“Aku sering melihat dan memperhatikan kedua rumah itu di saat siang hari. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan desa ini, Mak”. Bela ku dalam hati dan sama sekali tak berani aku ungkapkan pada umak.

Aku hanya berdiri, diam mematung. Otakku langsung bekerja, mencoba mencari-cari alasan yang dapat umak terima jika umak memarahiku nanti. Otak ku semakin keras bekerja, berpikir tentang alasan-alasan apa yang harus aku ungkapkan nanti.

Ya, setidaknya aku harus memiliki alasan kuat, walaupun itu tidak akan membantuku untuk tidak dimarahi umak nantinya. Tidak akan mungkin membantuku sama sekali.

Sifat keras kepalaku ini, jelas berasal dari umak. Ia pun sama keras kepalanya denganku. Bahkan mungkin lebih. Jika keinginannya tak dituruti, pasti akan terpancing emosinya, dan marah padaku adalah hal yang tak terelakkan lagi.

"Maaf lah mak" ujarku spontan mendahului nya, sebelum umak memarahi ku.

Aku langsung memeluknya dari belakang. Mataku mulai berair. Untuk kesekian kalinya aku telah mengecewakan hati seorang wanita yang paling kusayangi.

"Iya tak apa sayang... Umak tahu, kamu semakin besar dan dewasa. Pasti rasa ingin tahumu juga bertambah". Kata umak membalas permintaan maafku.

Aku kembali dibuat tertegun oleh jawaban dan sikap umak malam ini. Tak seperti biasanya, kali ini umak tak memarahiku? Mimpi apa aku semalam? Sehingga kesalahan ku kali ini dimaafkannya dengan ringan begitu saja.

"Sekali lagi, Tika minta maaf lah mak". Kataku untuk kedua kalinya, masih tak percaya umak memaafkanku semudah ini.

Aku masih tak percaya, dengan apa yang aku dengar dari mulut umak tadi. Semakin erat pula aku memeluk Umak. Entah pelukan ini rasa syukurku karena tidak dimarahi atau rasa bersalahku padanya.

"Handak betanya apa kam nak?" Tanya umak, sambil membalikkan badan. Tangan halusnya tiba-tiba memegang pundakku. Mengarahkan aku untuk duduk di teras rumah, yang hanya selebar tiga meter ini.

Setelah aku duduk di bibir teras, dengan kedua kakiku yang menjuntai mendekati permukaan sungai. Umak menyusul duduk di sampingku, juga menjuntaikan kedua kaki sama seperti yang ku lakukan. Setelah kami berdua duduk bersebelahan dan membelakangi rumah. Kami berdua sama-sama terdiam untuk beberapa saat, hingga terdengar oleh kami suara gelombang air sungai yang menerpa pelan kayu-kayu tiang pancang rumahku.

"Ulun hendak betanya, ke mona ja urang-urang disini tu?" Tanyaku. Memecah suasana dingin antara kami berdua.

"Pondok semua tesik urangnya, rigat lagi." Lanjutku sebelum umak memotongnya.

Lagi-lagi sikap umak malam ini mengejutkan ku. Umak tak terkejut mendengar pertanyaanku yang sangat ia larang itu, dia malah tersenyum ringan dan manis, khasnya.

"Meapa kam betanya itu pada umak?" Jawab umak santai. Ia mengusap kepalaku sebelum akhirnya ia kembali berdiri. Seakan-akan ia sangat serius untuk menjawab pertanyaanku.

"Umak tada marah lok dua ulun?" Tanyaku balik, memastikan sikap umak.

Takut Umak tersinggung dengan pertanyaanku. Selain kelancangan ku. Juga karena aku telah memasuki rumah tua itu, padahal sudah jelas umak melarang keras aku ke sana..

"Tada anakku... umak hanya sedikit terkejut." Jawab umak halus. Ia berdiri sambil memandangku.

"Umak tada marah pan. Jadi, anakku” umak melanjutkan omongannya untuk menjawab pertanyaanku. “Sebenarnya, kenapa umak melarang ikam ke rumah itu..."
"Duuuuaaaaarrrrr!!!"

Dentuman keras, disertai kilatan cahaya putih, memotong pembicaraan umak. Suara itu menggelegar keras, terdengar di telinga. Ku pejamkan mataku  dan langsung berdiri merangsak memeluk umak dan bersembunyi di bawah dagu umak ku.

Tapi, aku merasakan hal aneh yang terjadi pada umak. Umak tak melanjutkan omongan nya lagi untuk menjawab pertanyaanku. Dan umak pula tidak membalas pelukanku, seperti biasanya yang ia lakukan. Ia hanya berdiri mematung.

"Umak, aku takut...." Kataku, masih memeluk umak semakin erat.
Padahal cuaca sangat terang dan tak ada mendung.  Juga tak tercium bau tanah basah, bau khas yang muncul sebelum hujan turun. Jadi tak mungkin jika itu adalah sebuah petir. Suara yang menggelegar itu tiba-tiba muncul dan terdengar keras sampai mengejutkanku. Suaranya seperti berada tepat di samping daun telingaku.

Umak sama sekali tak menjawabku. Karena aku penasaran dengan keadaan umak. Kucoba membuka mata perlahan, kuarahkan pandanganku ke wajah umak.

Dia masih terdiam, matanya menatap lurus ke depan, menghadap sungai besar dengan tajam. Umak sama sekali tak terlihat terkejut atau ketakutan dengan suara dentuman yang keras tadi.

Umak tetap terlihat tenang. Yang tergambar dari wajahnya hanya raut wajah dingin. Ini adalah kali pertama aku melihatnya seperti ini, aku masih memperhatikan umak. Dan ia pun masih seperti memandang sesuatu dari arah sungai dengan begitu tajam dan dingin, benar-benar tak seperti biasanya.

Pandangannya seperti menyimpan kebencian terhadap sesuatu. Jauh melebihi tatapan kebencian, jika aku bertanya soal abah. Aku semakin takut dengan gelagat umak. Pasti ada sesuatu dari balik tatapannya.

Aku masih takut untuk bertanya pada umak. Aku hanya memperhatikan wajah umak yang semakin serius memandang ke arah sungai. Yang biasanya tatapan itu sangat teduh, kini benar-benar sangat menakutiku.

“Mak...”. Panggilku lirih dengan rasa ketakutan. Karena sikap umak yang berubah menjadi sangat aneh.

"Nak... Apa kamu masuk ke rumah Pak Pras?". Ujar umak datar. Sambil tangan kanannya menunjuk rumah yang aku masuki tadi. Namun badannya masih menghadap ke sungai.

"Iya mak". Jawabku lirih, ketakutan. Mata umak semakin melotot ke arah sungai. Aku semakin ketakutan. Aku mencoba memanggil dan menggerak-gerakkan badannya.

"Mak... Umak..., Umak kenapa?". Umak masih terdiam. Bibir tipisnya menyeringai. Membuat tekukan tajam di sudut bibirnya. Senyum sinis dari bibirnya terlihat semakin tajam. Seakan-akan senyuman umak melukiskan suasana hatinya yang tengah berbahagia karena telah menaklukkan sesuatu yang sangat ia benci.

"Tika...". Ujar umak pelan, matanya melotot melihatku.

The Story of Penanggal : Cinta dan DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang