Babak 22 : Waktu yang Dijanjikan

107 12 0
                                    




Sesaat Setelah Anjar Melahirkan, Empat Puluh Tahun Yang Lalu.

"Aaakkhhh....!!!!" Teriak histeris Devi begitu keras. Bersamaan dengan itu pula lampu menyala.

Pak Pras telah berada disamping Devi, ia terkejut melihat istri tercintanya itu tergeletak diatas lantai kamar. Anjar yang sudah ketakutan dengan keadaan anaknya, berusaha melihat ke arah Devi tergelak.

"Anakku....!!!". Teriak Syarif kaget. Yang lebih dahulu mengetahui bahwa bayinya sudah tak berada ditangan Devi, hanya tersisa hanya ari-ari anaknya.

"Dia terbang!!!" Teriak Heru dari luar rumah.

"Cepat pergi kerumahnya!!!". Timpal Ida yang juga ikut berteriak dari dalam gubuk.

Semua yang berjaga dan mendengarkan teriakan Heru dan Ida, langsung mengikuti Haru yang tengah mengejar benda terbang itu. "Kembalikan anak ku!!" Teriak Ida. Melepas kepergian para warga yang mengejar penculik bayi itu. Ida yang telah berada diluar gubuk menatap tajam pada Bagas, mulutnya berkata namun tak bersuara. “Mela”. Nama itulah yang terbaca oleh Bagas dari bibir Ida. Ia pun bergegas pergi untuk segera menemui adik tercintanya.

Bagas berjalan cepat untuk mendatangi adiknya. Hatinya kacau, ia masih dibuat bingung mengapa Ida menyebut nama Mela tanpa suara. Tapi hal itu membuatnya ingin sesegera mungkin bertemu dengan adiknya. Tangan kanannya tak hentinya memukul-mukul telapak tangan kiri yang terbuka. Ia abaikan kekacauan yang terjadi. Hanya mencoba mengeri maksud ucapan Ida.

Kejadian hilangnya bayi Anjar yang baru lahir itu seperti ulangan dari tragedi setahun yang lalu. Kala bayi Ida dicuri.ia seperti pesimis untuk mengejar pencuri bayi yang ternyata dapat terbang.

Saat Ia tiba ditengah hutan bambu,ia bertemu para warga yang tengah kebingungan mencari pencuri bayi Anjar. Mereka pasti kehilangan jejak pencuri itu, pikir Bagas.

"Kenapa pak?" Tanya Bagas setelah ia berada diantara kerumunan warga. Tak ada yang menjawab teguran dari Bagas. Kelapa mereka mendongak mengikuti lampu senter ditangan yang mereka sorotkan kesela-sela duan bambu yang rimbun.

"Pak..." sekali lagi Bagas menegur. Kembali taka ada jawaban. Mulut para warga yang semua adalah laki-laki itu seberti berkomat-kamit. Ada yang membaca ayat-ayat Al-quran, ada pula yang yang membaca ayat-ayat injil. Lain halnya dengan Heru, ia tampak seperti membaca mantra.
Bagas kesal karena tak ada orang yang mempedulikan kehadirannya. Ia kembali melangkahkan kakinya untuk menuju rumahnya. Baru akan melangkah, Heru tiba-tiba berteriak keras."Itu dia!!". Sambil berlari dengan kepala yang terus mendongak. Cahaya lampu senternya terus mengarah mengikuti  dedaunan yang bergerak-gerak, padahal tak ada angin yang berhembus. Tak terlihat pula seseorang atau benda lain yang menggerakkan dedaunan itu. Heru dan para warga terus mengikuti dedaunan yang terus bergerak. Mereka kira itu adalah penculik bayi Ida dan Anjar yang selama ini mereka cari.

Bagas masih berdiri memperhatikan daun yang terus bergerak menjahuinya. Badannya kaku, hanya matanyalah yang terus mengikuti arah daun-daun yang bergerak misterius itu. Rasa khawatirnya semakin tebal setelah ia sadar arah dari gerakan dedaunan itu menuju ke rumahnya. “Benar!!! ia mengarah kerumahku”. Teriaknya dalam hati.

"Bagas, ayo kejar, dia mengarah kerumahmu!". Teriak salah seorang warga yang terakhir bersamanya. Kini hanya dialah yang masih tak bergeming dari tempat. Ia berdiri sendirian di tengah kebun bambu Pak Pras.

Setiap warga tau, bahwa arah gerakan dari dedaunan  itu mengarah ke rumahnya. Ia yang sedari tadi tertegun diam, keheranan, karena maling itu sedang mengarah kerumahnya. Saat ia kembali tersadar dan teringat Mela, ia segera berlari kencang menuju rumahnya. Kekhawatirannya menebal.

Mela. Dita. Kedua nama itu erus terbayang dalam fikirannya. Semakin kencang ia berlari agar cepat sampai ke rumah. Tak dipedulikannya maling itu. Ia hanya terus berlari agar  tak di dahului oleh maling biadap yang telah menghancurkan hidup Ida dan kini Anjar menjadi korbannya. Dan ia tak mau jika sampai Mela kenapa-kenapa. Ia akan menyalahkan dirinya sendiri jika sampai maling itu mengancam keselamatn Mela.

Seakan maling itu tau bahwa Bagas akan menolong adiknya. Semakin kencang Bagas berlari melewati warga satu persatu yang juga mengejar maling itu, semakin kencang pula arah gerakan dedaunan. Sesekali ia mendongkan kepalanya melihat posisi maling itu sebelum ia kembali berlari kencang.

"Mela..!!" Teriak Bagas Nyaring dari belakang rumah.

Ia merasa jaraknya segitu cukup untuk Mela dapat mendengar teriakannya. Ia pun masih berlari kencang untuk menuju pintu depan.

"Aaaaaaa....." Teriakan Mela terdengar ditelinganya, seakan dengan cepat menyayat hatinya.ia kembali mendongkan kepalanya melihat ke ujung dedaunan bambu, gerakan yang ditimbulkan maling itu sudah tak terlihat lagi.

Bagas terkejut mengetahui hal itu, matanya terbelalak takut terjadi sesuatu pada adiknya. Ia semakin menambah kencang laju larinya. Air matanya perlahan mengalir. Hatinya semakin tak karuan setelah mendengar jerit melingking Mela dan tak terlihatnya gerakan misterius di ujung deduanan.

“Aku terlambat”. Sesalnya dalam hati. Tak hanya matanya yang mengelurkan air mata. Hatinya kini ikut menangisi kebodohannya meninggalkan Mela. Perlahan lari Bagas melambat. Ia terhenti di pojok rumah bagian belakang. Air matanya semakin deras mengalir, menyesali kebodohanya.

Tangan kananya memagang dinding kayu, kepalanya semakin dalam tertunduk, Bagas semakin dalam memasuki lubang penyesalan. Ia tarik nafas dalam-dalam mencoba menengkan dirinya sendiri. Bahu kananya telah bersandar kedinding. Ia semakin lemas saat mengingat teriakan Mela.

Heru tiba dari dari belakang. Nafasnya yang  tersengal-sengal terdengar jelas di kuping Bagas. Karena kencangnya lari Bagas sampai-sampai meninggalkan Heru yang awalnya jauh berada paling depan saat mengejar penculik tadi. Teman baiknya itu sepertinya juga mendengar jeritan Mela. Sesampainya didekat Bagas ia langsung mengusap-usap punggung Bagas. Seakan ia tau bahwa Bagas tengah bersedih.

Heru yang tak ingin menambah kepedihan sahabatnya itu, perlahan ia mencoba berjalan pelan karah pintu depan. Ia meloncat ke papan-papan yang menjadi lantai rumah-rumah di bibir sungai. Keratan bunyi papan ulin terdengar menahan berat badan Heru, mengiringi di setiap langkah gemetarnya.

"Bang Bagas!!!".

“Mela”. Teriak bagas dalam hati.

"Gas, suara Mela gas". Teriak Heru. Yang sama terkejut dengan Bagas saat mendengarkan suara Mela. Keduanya bergegas menghampiri arah suara Mela.

Para warga pun telah sampai dirumah Bagas. Satu persatu mengikuti Bagas dan Heru. Berjalan diatas papan-papan ulin yang tersusun rapi. Ukurannya hanya muat untuk dilewati satu orang. Disisi jalan kayu itu adalah dinding rumah Bagas disis lainya langsung berhapan dengan sungai.

"Dari rumah Dita Her" Bagas memeberi tau Heru yang berjalan didepannya, dari mana sumber suara Mela berasal. Rasa penasaran pun bergelantungan dalam hati mereka berdua.

"Dek Mela!!" Teriak Bagas. Bagas segera mendekati Mela, yang tengah menggigil. Bagas langsung mengampiri Mela, segera memeluk adik kecilnya itu.

Bibir dan mulut Mela bergetar cepat. Wajahnya pucat pasi. Badannya yang telah dipeluk Bagas pun  bergetar. Mata bulat indah milik Mela seakan telah mengilang. Yang terlihat dari matanya adalah rasa ketakukan karena melihat hal yang tak wajar. Air matanya keluar perlahan seakan tak mempercayai apa yang ia tangisi saat itu.

"Kamu kenapa Mel?" Heru mencoba bertanya.

Namun tetap tak dijawab oleh Mela. Yang semakin meringkuk dalam-dalam kepelukan Bagas. Matanya masih terbelalak. Ketakutan luar biasa tergambar di matanya yang samakin sayu.

"Kamu kok bisa disini dek?”. Bagas ikut mencoba bertanya, namun mela tetap tak menjawab “Dek, kamu kenapa dek?". Bagas menepuk-nepuk kedua pipi adiknya, berusaha dan mencoba menyadarkan Mela yang masih terlihat menggigil ketakutan. Namun lagi-lagi Mela tak menjawab.

"Dita her, Dita!" Bagas mengingatkan Heru akan Dita. Sambil matanya mengarah ke pintu rumah Dita yang tertutup.

Heru yang mengerti maksud lirikan Bagas langsung menuju kepintu rumah Dita yang tertutup namun tak rapat. Baru saja pintu itu ia dorong dan hanya terbuka sedikit bau busuk langsung menyerang hidup Heru dan Bagas.

"Bau busuk apa ini gas?”. Tanya heru menjahui rintu rumah Dita. “Ini bukan bau busuk ikan!". Lanjut Heru memastikan bau busuk yang sangat menyengat hidung itu.

Beberapa warga yang sudah terbiasa dengan bau busuk ikan pun  sampai tak kuat mencium bau busuk itu. Sampai ada yang hampir muntah, karena bau busuk kali ini benar-benar tak seperti bau busuk ikan, kali ini sangat berbeda dan sangat menyenta hidung hingga pangkal tenggorokan.

Mela yang masih meringkuk ketakutan di pelukan Bagas perlahan menggerakan tangannya yang masih bergetar, menunjuk ke dalam rumah Dita. 
Bagas, Heru dan warga lainya dibuat penasaran dengan apa yang Mela lakukan saat itu, menunjuk kearag dalam rumah Dita. Yang seakan memberi isyarat kalau bau itu berasal dari dalam rumah Dita

Bagas mencoba berdiri. Ia ingin melihat keadaan didalam rumah. Namun Mela mencegahnya, kepalanya menggeleng-gelang menandakan ia merang bagas untuk pergi. Dilihatnya sebentar adiknya itu, wajah dan bibirnya semakin pucat, memutih. Air matanya semakin deras mengalir.

"Ayo her kita cek kedalam". Kata salah seorang warga mengajak Heru.

Heru yang awalnya ketakutan dengan apa yang ada didalam rumah Dita pun berusaha memberanikan diri. Kedua orang perlahan melangkah bersama menuju pintu rumah Dita. Dengan langkah takut yang bercampur penasaran, sangat hati-hati mereka berdua memasuki rumah Dita. Mata mereka tak dapat melihat apa-apa karena gelapnya ruangan itu. Senter yang mereka matikan saat mereka berada diteras rumah Bagas dan Dita tadi, kini mereka nyalakan kembali..

Baru satu langkah mereka masuk kedalam rumah Dita. Mereka langsung keluar kembali dengan muka yang memerah bersamaa itu mereka muntah-muntah. Bagas makin penasaran. Tentang apa yang ada didalam rumah Dita.  Bagas kembali mencoba berdiri untuk melihatnya sendiri. Namun Mela masih mencegahnya.

"Mel, Abang harus lihat sendiri ya" kata Bagas halus pada adiknya. Mela hanya terdiam mendengar permintaan Abangnya, ia tengah mengenakan syal yang biasanya di gunakan Dita. Seorang warga langsung membantu Bagas untuk memegangi Mela yang mulai berhenti menggigil.

Bagas langsung berdiri dan memantapkan hatinya untuk segera masuk kedalam rumah Dita. Langkahnya penuh dengan pertanyaan. Ada apa didalam? Bau busuk apa ini? Apa benar Dita? Bagas terus bertanya dalam hati.

Lampu senter ia nyalakan. Ia melangkah pelan memasuki ambang pintu rumah Dita. Hanyut dalam kesunyian untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya lampu senter yang ia bawa mengarah pada seorang wanita yang tergeletak tertidur di atas dipan.

“Kaki Dita”. Batin Bagas.

Kaki yang tersorot lampu senternya itu terlihat pucat dan membiru Perlahan Ia geser lampu senternya dari kaki mengarah ke bagian yang lain. Sangat perlahan sekan setiap detail tak terlewatkan oleh pengelihatan Bagas.

Keringat dingin mulai keluar dari pori-porinya. Saat  cahaya lampu senternya menyorot lutut Dita yang dikerubungi lalat-lalat yang berterbangan.

Ia kembali menaikan arah lampu senternya naik kebagian lainnya. Hingga lampu senternya tiba-tiba ia hentikan tepat di bagian leher Dita.

"Hueeek....!!!". Suara Bagas ingin muntah.

"Banggg...".  Mela memanggilnya dari luar rumah, suaranya sangat lemah.

"Gas ada apa didalam?" Suara Pak Pras juga terdengr olehnya. Kepala Desa itu juga telah berada disana.

"Hueeek....!!!" Suara bagas kembali terdengar dari dalam rumah. Bagas mulai keliyengan dengan apa yang ia lihat. Ia pun segera pergi dari dalam rumah Dita dan kembali keluar..

Bagian tubuh Dita hanya berhenti sampai dilehernya. Ia tak mendapati kepala Dita disana. Bau busuk yang menampar hidung,  yang juga menyebabkan Heru muntah-muntah berasal dari leher Dita.

Leher yang terus tertutupi dengan kain tenun itu, kini terlihat membusuk, beberapa belatung mengeliat disana. Bekas potongan leher, yang seharusnya tersambung dengan kepala itu, kini terlihat menjijikan.

Potongan-potongan tak beraturan dari sisa-sisa kulit dan daging lehernya terlihat jelas. Bukan seperti di sayat atau di tebas dengan benda tajam. Namun nampak seperti ditarik paksa saat kepala terlepas dari badan. Darah yang belum terlalu mengeringpun ia temukan disekujur baju Dita yang berwarna kuning tulang itu. Dan tak sedikit pula darag yang tercecer di dipan dan lantai..

Heru yang telah mengetahu hal itu langsung memeluk erat Bagas sesampainya ia diluar. Bagas menitikan air mata seakan ia tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat.

The Story of Penanggal : Cinta dan DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang