Babak 24 : Kenyataan Pahit

223 11 2
                                    




Sekarang

“Jadi itulah yang menimpa wanita pemiliki kekuatan Kuyang. Jadi kuyang itu bukan hantu atau pun makhluk halus. Dia juga seorang manusia.” Umak mengakhiri ceritanya.
 
“Mak, apakah wanita itu akhirnya mati?” Tanyaku masih penasaran.

“Kuyang tidak akan bisa mati Tika. Itu adalah kekutan turun temurun, dari nenek moyang. Sebelum kekuatan itu diturunkan pada anak wanitanya atau muridnya, dia tidak akan meninggal.” Jawab Umak.

Tiba-tiba umak melihat kelangit. Aku yang tengah bersender dipundaknya keheranan melihatnya. Umak seperti terkejut saat melihat bulan. Malam ini malam bulan purnama.

Umak masuk kedalam rumah. Entah apa yang ia lakukan didalam sana. Sesaat emak menghilang dari pandanganku tiba-tiba aku terfikirkan akan rumahku. Rumah yang aku tinggali ini sangat persis dengan rumah Dita si Penanggal itu, dalam cerita umak.
Prang. Suara botol terjatuh dari dalam rumah.

“Mak… kenapa mak?” Panggilku.

“Enggak apa-apa nak” Jawab Umak seperti tergesa-gesa.

Aku lega umak menjawab. Aku takut jika kejadian seperti dalam cerita umak. Sambil menunggu umak yang entah sedang apa didalam. Aku kembali mencocokan cerita Umak dengan  lingkungan sekitarku.

Aku kembali mengingat-ingat keadaan rumah-rumah yang Umak ceritakan tadi. Ingatan ku berkeliaran, memetakan satu persatu cerita umak tadi.

Persis. Teriakku dalam hati. Rumah Bu Devi dan Pak Pras adalah rumah yang aku kunjungi tadi. Kamar medis itu. Ya, itu adalah kamar dimana Bu Ida dan Bu Anjar kehilangan anaknya.

Dan rumah ku? Seharusnya jika memang rumah ini adalah rumah Dita atau rumah Bagas. Rumah ini bukan berdiri sendiri seperti ini. Kedua rumah Dita dan Bagas kan berdampingan. Sanggakalku dalam batin.

“Dan kamu tau nak, rumah si Dita akhirnya dibakar oleh para warga beserta tubuhnya si Kuyang itu”. Suara umak mengejutkanku.

“Apa mak?” Tanyaku segera. Agar Umak mengulang kembali ceritanya.

“Tubuh Dita itu dibakar bersama rumahnya juga. Dan akhirnya dirobohkan hingga tenggelam kedasar sungai” Jelas umak kembali.

Dinding luar sisi kiri bagian rumah ini juga seperti bekas terbakar, batinku. Apa benar jika ini adalah tempat kejadian cerita umak tadi. Kenapa umak kemari. Apakah Umak tidak menyadari jika tempat ini sangat mengerikan dahulunya. Hatiku terus bertanya-tanya. Mengenai keputusan umak tinggal ditempat seperti ini. Jantungku, berdegup kencang menyadari semua ini. Kenapa umak baru bercerita hari ini.

“Tika..”

“Oh iya mak…?”

“Kamu kenapa? Kepikiran dengan cerita umak?”

“Enggak kok mak.” Elakku.

“Bebujur? Kalo enggak kepikiran cerita Umak. Terus mikirin apa? Sampai umak panggil tiga kali, kok enggak denger.” Ujar Umakku. Suaranya sangat lembut.

“Loh umak ngapain disitu?” Elakku kembali. Agar umak tak menyadari jika perasangkanya terhadapku yang sedang memikirkan ceritanya itu benar.

“Sini..” Panggilnya lembut.

Aku tak menjawab apa-apa. Aku hanya berdiri dari tempat dudukku. Dan mendatangi Umak yang berada di depan pintu rumah.

Setelah aku berada dihadapannya Umak menuntunku untuk duduk mengahadap ke sungai dan membelakanginya. Umak mau melakukan apa semalam ini. Lidahku kelu untuk menanyakan langsung itu pada umak. Hanya menanyakannya pada diriku sendiri.

Saat aku sedang terduduk dan menikmati cahaya purnama yang membias disungai. Aku melihat seorang nelayan seperti menuju kemari. Tidak mungkin ia kemari pasti ia berhenti ditengah sungai untuk melepaskan jala dan menjaring ikan.
Badanku bergidik sesuatu yang dingin menempel di belakang leherku bersamaan dengan tangan Umak.

“Mak.. baunya enggak enak” Keluhku manja, setelah mencium bau tak sedap dari air yang menyelinap dileherku bersama tangan Umak.

Aku tidak sakit, biasanya Umak melakukan ini jika aku sakit atau masuk angin. Dan baunya pun berbeda dari minyak yang biasanya dioleskan padaku.

“Nak..”. umak memulai kembali perbincangannya.

“Iya mak… Jawabku singkat”.

“Syal-syal umak jangan kamu buang ya, suatu saat kamu pasti membutuhkannya.” Lanjut umak.

“Memang Umak mau kemana?” Tanyaku ketakutan.

“Umak tada kemana-mana nak. Cumak mulai mala mini umak akan tenang.” Ujar Umak, seperti memberiku teka-teki. Tapi, mataku kini tertuju pada nelayan yang aku lihat tadi. Nelayan semakin dekat dengan rumahku, mau apa dia.

“Mak ada nelayan kemari.” Aku menegur Umak yang masih memijat-mijat leherku.
Tiba-tiba umak menghentikan pijatannya dan berdiri. Umak berjalan mendekati bibir teras papan rumah kami.

“Dia bukan nelayan nak” Umak menjawab setelah tepat berada dibibir papan.

“Itu abah mak?” Tanyaku kegirangan. Tapi belum sempat aku berdiri dan menyusul umak kebibir teras. Umak menggelengkan kepalanya.

“Dia…” Ujar Umak lirih.

“Deeekkk…!!!” Teriak orang yang diatas kelotok kearah kami. Suaranya bergetar, serak dan lemah.

“Bagas”. Kata umak perlahan. Byurrrrr…. Tiba-tiba umak menjatuhkan dirinya ke sungai.

Sontak aku terkejut dan berteriak mengejar umak. Aku berteriak sekencang mungkin memanggil umak. Sesampainya aku dibi bir papan dan melihat kearah sungai. Aku terheran dan begitu sangat aneh. Umak baru saja menjatuhkan dirinya ke dalam sungai. Tapi, sungai itu nampak tenang, seperti tak ada apapun yang terjatuh dari permukaan.

“Umakk!!” teriakku kencang memanggilnya. Air mataku menetes deras. Aku menangis sejadi-jadinya. Tiba-tiba pandanganku merabun. Gelap, gelap kataku dalam hati.

“Mela!!!” Teriakan parau laki-laki tua diatas kelotok itu samar terdengar ditelingaku.

Byuur… Suara itu kembali terdengar ditelingaku. Kakek itu. pandangku rabun, gelap, pusing.

Perlahan aku menyadari bahwa umak telah membawaku pada takdir. Namun kesadaranku semakin hilang, leherku terasa semakin sakit seperti ingin copot. Kuarahkan tanganku perlahan untuk menyentuh leherku, aku terkejut rtiba tiba seperti ada luka yang melingkar di leherku. Namun aku tak dapat berbuat apa-apa lagi mataku semakin tak kuat untuk terbuka, hingga akhirnya yang kurasa hanya kegelapan dalam hidupku.

Mela. Adalah nama umak yang selama ini aku tak mengetahuinya. Ia menjadi seorang penanggal tapat sebelum Dita tertangkap basah oleh para warga. Seakan Dita telah mengetahui bahwa hidupnya tak lama lagi. Dita mengusap minyak kuyang itu dan berpesan bahwa ia adalah penerusnya. Tanpa ia ketahui maksud kata penerus dari Dita tersebut. Hingga akhirnya ia harus pulang kerumah karena di minta Dita, dan sekembalinya kerumah Dita ia telah menemukan wanita yang dekat dengan Bagas itu telah tak berkepala.

Umak akhirnya memutuskan mengasingkan diri, hidup dalam tekanan menjadi seorang penanggal. Hingga akhirnya aku terlahir. Dan hari ini hari yang dijanjikan Bagas untuk menjemput aku. Namun keadannya sudah terlambat hingga aku telah menjadi seorang penanggal.

Menyadari aku adalah penerus penanggal membuat dadaku semakin sesak. Pandanganku yang semakin gelap seakan terus membawaku masuk kedalam dunia Umak dan Dita. Cinta yang besar pula dendam yang dalam, semakin menenggelamkanku dalam kepasrahan.

🎉 Kamu telah selesai membaca The Story of Penanggal : Cinta dan Dendam 🎉
The Story of Penanggal : Cinta dan DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang