Babak 8 : Beban

249 21 0
                                    

Waktu terus berjalan meninggalkan segalanya. Seolah kejadian itu telah menjadi salah satu selimut penghangat dari dinginnya fakta kehidupan. Aneh dan mengherankan. Mungkin itulah yang terbenak dalam pikiran Pras, Devi dan yang lainnya. 

Namun kali ini sepertinya bulan muncul di siang hari. Keganjilan nyata tak berujung. Kejadian aneh yang selama ini tak pernah dialami mereka sebelumnya.

Bulan yang sedari tadi bersemayam di singgasananya dengan gagah perkasa. Menemani Pak Pras yang gelisah menunggu kabar dari para warga yang tengah melakukan pengejaran dan pencarian pada penculik bayi Ida. Kini mulai diselimuti awan tebal. Sinarnya mulai redup menyisakan bayang semu.

Raut wajah tegang Kepala Desa di luar rumah semakin menjadi-jadi. Sesekali ia berdiri, berjalan tak bertujuan, kemudian kembali duduk lagi. Sesekali ia juga melihat keadaan di dalam kamar bersalin. Hanya sekedar memastikan bahwa istrinya baik-baik saja bersama Ida dan wanita yang lainnya.

Para wanita tampak sudah tak sanggup lagi menangisi nasib Ida, habis sudah air mata mereka. Hanya terlihat mata yang memerah dan sembab, pula pipi-pipi mereka yang terlihat hanya tersisa bekas air mata yang telah mengering. Mereka saksi saksi hidup kepedihan dan bencana yang diterima Ida.

Sudah satu jam lebih masa pencarian oleh para warga. Pak Pras masih menunggu di depan rumahnya. Berdiri, kemudian duduk kembali. Tangannya kerap memegangi dan memijit-mijit jidatnya. Berjalan mondar-mandir tanpa arah, beberapa kali menghela nafas-nafas pendek. Menandakan, ia sudah tak sabar lagi menunggu harapan dan kabar baik datang padanya.

“Paaaakkkk!!!! Pak Pras!!!!”.

Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari kejauhan memanggil-manggil namanya. Pras yang telah menantikan namanya dipanggil, seketika berdiri melihat kerah sumber suara.

Tubuh tinggi berpakaian hansip berlari menuju arahnya dari arah kebun bambu. Kedatangan Heru disertai daun-daun bambu yang tersapu oleh kakinya dan beberapa kali terdengar ranting yang patah terinjak.

Mulai tampak tubuh Heru yang sedang berlari dan mendekati Pras, badannya mulai tersiram cahaya lampu neon belakang rumah. Keletihan dan kecapaian menjadi laporan pertama yang diterima oleh mata sayu Pras, Heru semakin mendekatinya.

Terlihat pula kerumunan para pria dengan raut wajah yang memerah, keringat di wajah mereka berhamburan di sana-sini, mengikuti Heru dari belakang. Terlihat sangat lelahnya mereka, terdengar jelas dari tarikan nafas mereka yang tak aturan. Seakan lampu neon remang milik Pak Pras yang telah menemaninya selama 15 tahun itu ikut merasakan kelelahan warganya.

"Pak, kami tidak menemukan apa-apa". Lapor Heru, setibanya dia di hadapan Pras.

Belum sampai penuh total harapan Pras untuk ingin mendengarkan kabar baik yang telah ia pupuk dalam dirinya sedari tadi. Kini, ia harus menerima laporan yang sangat-sangat ia hindari untuk memikirkannya.
“Kabar hilangnya penculik beserta bayi Ida yang tak terlacak, membuat hatinya yang sedari tadi ia tunda untuk merasa kecewa, kini langsung hancur berkeping-keping”.


Heru, hansip yang paling sigap untuk kepentingan warganya telah memberikan jawaban menyedihkan itu. Tak ada lagi yang bisa diperbuat untuk saat ini. Pras langsung terduduk lemas. Tarikan dilanjutkan dengan helaan nafas panjang bergantian keluar dari hidung bangirnya, melukiskan begitu terpukulnya ia.

“Terus, bapak-bapak yang lain di mana pak?”. Tanyanya lemah pada Heru, pria berkepala dua yang memiliki badan besar dan tegap.

“Kami membagi tugas untuk berjaga, di setiap pos kamling kami isi dengan 4 orang dewasa”. Jawab Heru lantang dengan nafasnya yang masih tersengal-sengal.

“Dan kami bertiga kembali kesini, untuk berjaga di rumah pak RT”. Lanjutnya.

“Ya sudah kalau begitu, terima kasih ya Her”.

“Iya pak, sama-sama”..

“Silahkan kalian duduk dahulu”. Pras mempersilahkan duduk pada Syarif, Bagas dan Heru. Merekalah yang sedari tadi menemani persalinan Ida. Dan sekarang mereka juga yang berjaga di rumah Pras.

“Terus bagaimana dengan keadaan bu Ida pak?”. Tanya Heru, setelah ia duduk di samping Pras.

“Dia masih di bawah pengaruh obat penenang her”. Jawab Pras.

“Begini saja, kalian tolong berjaga untuk malam ini. Saya harus pergi ke seberang. Ingin menceritakan hal ini pada Ketua Adat setempat. Karena memang kejadian ini terasa sangat ganjil, saya harus segera menceritakannya”. Lanjutnya.

“Iya pak, siap!!”. Sahut Heru, nafasnya masih belum teratur sepenuhnya.

“Keadaan seperti ini, memang belum pernah terjadi sebelumnya pak. Saya pun tak pernah mendapatkan cerita seperti ini dari Kakek dan Bapak saya. Semoga Pak Pras mendapatkan petunjuk tentang masalah ini dari  Ketua Adat”. Lanjut Heru, yang kakek dan ayahnya juga berprofesi sebagai seorang hansip. Pekerjaan turun-temurun dari keluarganya.

"Ya sudah, saya pergi dulu ya." Pamit Pras.
"Perlu saya temani pak?".

"Tidak usah Her, kamu berjaga disini saja. Temani bapak-bapak yang lain".

"Baik Pak, hati-hati saat menyeberangi sungai pak."

Pras segera menuju ke tepian sungai, untuk turun ke dermaga yang hanya beberapa meter di depan rumahnya.

Dermaga sederhana dan kecil. Terbuat dari kayu ulin kayu yang semakin kuat jika berada di dalam air. Dermaga itu cukup untuk bersandarnya lima sampai delapan kelotok dan sampan-sampan kecil.

Pras adalah orang yang paling terbebani dengan kejadian aneh itu, kini telah sampai di mulut tangga yang curam, untuk segera menuju ke dermaga. Heru, Bagas dan Syarif hanya mendampingi kepergian Pras dengan tatapan mata mereka yang penuh harap.

Langkah demi langkah kakinya menuruni anak tangga, semakin membuatnya hilang ditelan curamnya tebing pemisah antara daratan dan sungai.

Pria yang telah menjadi kepala desa selama delapan tahun itu akan mencoba menguak misteri akan kejadian aneh ini.

Dengan segera menaiki kelotok dan pergi ke desa seberang saat malam hari juga pilihan yang terlampau berbahaya. Perlu kehati-hatian. Belum lagi jika ada buaya muara yang kerap berenang mencari buruan, belum lagi jika sampai menyenggol sampan kecilnya. Akan sangat berbahaya bisa jadi Pras lah yang akan menjadi santapan para buaya itu.

Bahaya sedang ditantang oleh pria berambut keriting itu. Ia harus bersegera untuk menguak misteri yang melanda Ida dan warganya. Puluhan warga tengah menaruh harapan besar padanya, untuk segera mendapatkan jawaban. Atas kejadian yang menimbulkan ketakutan serta jutaan pertanyaan di kepala.



********


“Pak Syarif lebih baik, bapak beristirahat, kasihan juga Anjar pasti sangat kelelahan sedari tadi menjaga Bu Ida”. Pinta Bagas yang terkenal pendiam pada Syarif yang benar-benar terlihat kelelahan.

Baru saja Bagas menyampaikan itu pada Syarif, Anjar tiba-tiba keluar dari rumah Pras.

“Pak pulang yuk, aku capek dan ngantuk”. Ajak Anjar pada Syarif yang tak lain adalah suaminya. Syarif yang baru saja disarankan pulang oleh Bagas dan tiba-tiba istrinya datang memintanya untuk pulang bersama. Seketika itu juga ia menganggukan kepala, mengiyakan ajakan istri tercintanya itu.

"Gas, Her aku pulang dulu ya." Kata Anjar ringan.

Anjar, Bagas dan Heru usia mereka bertiga tak terpaut terlalu jauh. Berbeda dengan Syarif yang jauh lebih tua, terpaut tujuh tahun dari istrinya, Anjar. Si mantan Kembang Desa yang telah dipetik olehnya.

“Iya hati-hati di jalan. Pak Syarif!! dijaga ya Anjarnya yang sedang hamil muda”. Pesan Heru sedikit berteriak. Anjar dan Syarif sudah berjalan cukup jauh dari rumah Pras.

Setelah Syarif, dan Anjar yang tak lain adalah teman sepermainan Heru dan Bagas menghilang dari penglihatan. Sontak Bagas bertanya mengenai kehamilan Anjar.

“Anjar hamil muda her?”. Tanya Bagas sedikit terkejut mengetahui kehamilan Anjar.

“Iya gas, sudah  empat bulan kelihatannya, memang kenapa? Kok kamu sampai terkejut gitu?”. Tanya Heru balik pada Bagas, yang malah terlihat seperti orang khawatir dan ketakutan. Namun Bagas tak merespons pertanyaan balik Heru. Ia malah terdiam bengong seperti memikirkan sesuatu.

“Woy gas!” Bentak Heru, mengejutkan Bagas yang terbawa lamunan.

“Kenapa sih gas? Jadi aneh gini kamu?”.

“Oh enggak apa-apa kok her”.

“Enggak usah bohong sama aku, emang kenapa kalo Anjar hamil? Ada yang salah? Itu wajar kan? Masa suami istri enggak boleh hamil. Dan hamil nya juga setahun setelah mereka menikah”. Cerocos Heru pada Bagas dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.

“Aku, aku lagi mikirin adikku di rumah aja kok her”. Bagas mengelak.

“Udahlah... pasti baik-baik saja adikmu itu. Kan ada wanita cantik yang sedang jagain Mela gas”. Heru mencoba menggoda Bagas, dengan senyuman dan lirikan jahilnya.

“Apaan sih kamu her?” Bagas terlihat risih dengan godaan serta lirikan Heru yang menjijikkan baginya.

“Halah....”. Heru langsung merangkul Bagas.

“Kawal terbaik ku ini, sedang malu-malu ternyata. Pasti kamu suka dengan dia kan? Ya walaupun dia orang baru disini. Tapi, kamu tenang aja lah, adik dan hatimu ini pasti akan selalu aman bersamanya”. Lanjut Heru merayu Bagas, tangan kanannya pun ia tempelkan ke dada Bagas.

Bagas yang merasakan dadanya di tepuk perlahan oleh Heru langsung menatap wajah Heru yang sudah berjarak sangat dekat dengan wajahnya. Mata mereka saling bertemu. Heru yang menyadari bahwa tatapan mata Bagas yang tengah melotot padanya langsung melepas rangkulannya dan mengalihkan tangan kanannya yang masih berada di dada Bagas.
 
“Aku hanya berusaha menghibur dan menenangkan teman, agar tak lagi memikirkan yang aneh-aneh tentang adiknya, dan fokus berjaga”. Gerutu Heru membelakangi Bagas.

Kedekatan mereka sejak kecil memang sangat kuat. Benar saja, cara itu ampuh untuk membuat Bagas lebih tenang. Walaupun cara Heru sangat usil.

Mereka berdua lebih bisa dikatakan bersaudara ketimbang berteman. Kedekatan mereka tak lekang oleh masalah apapun, mereka berdua yatim sejak berada di bangku Sekolah Menengah Pertama. Hingga kini pun mereka terus saling membantu jika salah satu dari mereka mengalami kesulitan.
Mereka kembali melanjutkan perbincangan. Menyoal kejadian ganjil yang baru saja mereka alami. Lebih tepatnya yang menimpa Ida.

Perbincangan yang telah mereka lakukan sejak saat pencarian tadi. Dan harus terpotong saat melihat sesuatu seperti bayangan yang melintas sangat cepat, tepat berada di hadapan mereka.

Saat mengejar bayangan yang mereka kira adalah burung rangkok yang tersesat itu,  mereka malah kehilangan jejak dan gagal menemukannya.

Hingga akhirnya mereka tersadar bahwa tujuan mereka bukan lah mengejar burung itu, melainkan mencari pencuri bayi Ida. Seakan sekelebat bayangan yang mirip burung itu mengalihkan mereka dan menghilangkan konsentrasi untuk melakukan pengejaran pada si pencuri bayi.

Mereka berdua telah dilahap oleh obrolan mengenai pencuri bayi Ida ke sana-kemari tak berujung, tak berarah. Semakin lama semakin mereka hanyut dalam misteri yang tak ada jawabannya itu. Menerka bagaimana sang pelaku melakukan pencurian sampai kabur tanpa jejak secepat kilat.
“Hingga terbetik dalam hati nya. Jika mungkin benar adanya, malam adalah waktu di mana semua misteri di dunia ini menampakkan diri. Dan hadir dengan menyodorkan ribuan pertanyaan sulit tanpa ada kunci jawabannya satupun”.

“Mencari dan memecahkan pertanyaan-pertanyaan itu sendiri adalah cara terbaiknya. Biar lah misteri ini menyelimuti untuk sementara waktu, hingga akhirnya terkuak dan akan menjadi sejarah kelam desa ini”.

“Yang terpenting saat ini, adalah menyelesaikan apa-apa yang telah dimulai. Walaupun si pencuri itu yang memulainya namun Aku, Heru, Pak Pras, Bu Devi atau Ida sendiri yang akan mengakhirinya. aku yakin itu”. Batin Bagas saat obrolannya dengan Heru semakin kemana-mana.

“Meneladani malam, dengan kekuasaan gelap pekatnya yang kuat. Sejuta misteri, tanpa ada yang dapat menghitung berapa jawabannya yang benar. Bak para bintang yang bertebaran di dalamnya. Tak satupun yang menetap di tempatnya, akan selalu berpindah di setiap malamnya. Tapi, setidaknya malam juga punya rembulan. Satu sinar cerah dalam gelap malam. Pekatnya misteri tetap akan terkuak dan terjawab. Akan ada cahaya penerang walau hanya satu dari ribuan fakta yang tersembunyi”. Bagas kembali meyakinkan dirinya.

Bagas dan Heru terus membicarakan Ida yang kini telah tertidur. Kemalangannya, kesialannya, cobaan yang seakan terus menghujani wanita itu. Sesekali mereka mengintip dari jendela, melihat Devi yang masih terduduk. Kedua bola matanya seperti semakin tak kuat untuk terjaga. Namun tidur pun juga bukan pilihannya. Rasa bersalahnya yang sangat besar membuatnya tak mampu membiarkan matanya untuk beristirahat.

Devi masih setia menemani Idan dan menanti suaminya yang tengah mencari jawaban atas peristiwa ini.

The Story of Penanggal : Cinta dan DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang