3 - Dua Kematian

13 0 0
                                    

Bukankah tungku pun, akan menjelaga bila dibakar terlalu lama?

Kau tengok saja hatiku yang remuk redam..

Warnanya bahkan sudah menyaingi darah..

Awalnya hanya mengabu..

Tapi kini,

Hitam.

Pekat.

---

Jaewook memandangi wanita yang sejak 5 jam lalu menangis di sudut ruangan. Jangan tanyakan bagaimana wajahnya saat ini. Memerah dengan jejak-jejak hitam di kanan kiri pipinya, akibat terlalu banyak mengeluarkan air mata. Sejak tadi ia memeluk tumpukan foto di pelukannya, sementara tangannya yang lain mengelus-elus perutnya yang membuncit.

Sebenarnya ia ingin merenggut tumpukan foto dari tangan wanita yang sudah membesarkannya sejak kecil itu—menggantikan peran ayah dan ibu untuknya, lalu menyobeknya menjadi potongan kecil-kecil. Bahkan kalau bisa melenyapkannya bersama objek yang tercetak di foto itu. Sosok seorang bertampang malaikat tapi berhati busuk seperti onggokan sampah. Namja dalam foto itu tersenyum manis, memamerkan senyum dewatanya yang mampu melemahkan wanita di hadapannya kini.

Wanita ini tidak pernah menangis saat ia dilempari sayuran oleh pedagang di pasar karena mengemis saat mereka kekurangan bahan makanan. Tak pernah merasa gentar dihadang perampok, bahkan penculik yang berniat menjual dirinya. Tak pernah sekalipun mengeluh meski ia harus bekerja menjadi seorang buruh kasar layaknya seorang pria. Tak pernah berkata kalau ia kelaparan meski sudah 3 hari tak ada nasi menyapa perutnya. Tak pernah lelah berjuang untuk memberinya kesempatan mengenyam bangku sekolah. Tak pernah malu meski setiap hari semua orang menghinanya. Tak pernah sekalipun ia melihat wanita ini tidak tersenyum di hadapannya. Meski ia merengek-rengek kelaparan atau mengeluh minta dibelikan mainan saat ia masih kecil –padahal tak sepeser pun uang ada di dompetnya, ia tetap tersenyum.

Lalu apa yang dilihatnya di hadapannya ini? Bahkan dengan mata kecilnya yang sayu, ia tak pernah melihat wanita ini lebih rapuh dari saat ini. Hanya karena seorang namja yang wajahnya tercetak dalam foto-foto yang kini berserakan di lantai –karena wanita itu telah melemparkannya, ia hancur dalam kejapan mata. Tangisnya meraung lagi. Ia kini menghentak-hentakkan kakinya yang dirantai di tempat tidur, meminta dibebaskan.

"Wookie... lepaskan aku.. jebal..." ia menjambak-jambak rambutnya. "Biarkan aku melompat dan menemui dunia yang baru, Wookie.."

Jaewook menatap dingin pada noonanya. Tapi air mata tak berhenti mengalir dari kedua sisi pipinya. Ia terpaksa memasung kedua kaki wanita ini karena berkali-kali ia berniat mengakhiri hidupnya. Ingin membawa mati bayi yang dalam waktu sebulan lagi sudah akan bisa melihat dunia.

"Kumohon lupakan brengsek itu, noona.." lirihnya. "Aku yang akan membalas semua dosanya. Sedikit lagi... sedikit lagi aku sudah akan bisa menghancurkan malaikat kecil milik si brengsek itu.."

Lalu pikirannya melayang menuju sebuah wajah malaikat lain dengan paras rupawan. Sampai detik ini pun ia tak pernah bisa melupakan bagaimana rasa pertamanya saat melihat malaikat itu. Ia hanya melihatnya di kejauhan saat gadis itu sedang tertawa-tawa dengan senyum polosnya. Bahkan saat itu matahari bersinar begitu terik, tapi tetap saja ia –Kim Hana, tampak menyilaukan.

Jaewook memejamkan matanya. Membuat beberapa bulir air mata berjatuhan lagi. Apa mungkin Tuhan salah menggoreskan takdir? Bagaimana mungkin malaikat bernama Hana itu –malaikat yang telah berhasil mengambil keseluruhan hatinya adalah saudara sedarah dari laki-laki bajingan yang telah membuat wanita ini hancur seperti ini? Kalau saja ia bisa meminjam sayap malaikat itu lalu terbang ke langit untuk mencoreti satu persatu takdir menyedihkan yang akhirnya akan berujung pada perpisahan menyakitkan –akan ia lakukan.

A Feel To KillWhere stories live. Discover now