BINGUNG

91 2 0
                                    

Usai shalat magrib, seperti biasa, kami melaksanakan kewajiban kami masing-masing. Aku melaksanakan kewajibanku sebagai guru untuk mengajar, dan santri melaksanakan kewajibannya untuk belajar.

Tapi, kau tahu? Kisah belajar mengajar kami ini tidak selamanya mulus bak jalan tol. Kerap kali ada beberapa hambatan yang cukup menguji kesabaran dan kedewasaan.

Seperti halakah magrib kali ini. Awalnya lancar - lancar saja, tapi ketika beberapa santri mendekatiku dan bertanya tentang hal-hal yang cukup mampu mengalihkan perhatianku, maka dengan senang hati aku menjawab dan mengikuti alur cerita mereka.

Tak masalah sebenarnya, sekali-kali mlanggar aturan halakah kan tidak apa. Tapi masalahnya terjadi ketika ada salah satu santri yang memberi tahu bahwa dia ingin menyetorkan hafalan Qurannya.

"Zah, ana mau nyetor!"
Mendengar kalimat itu, aku dengan sigap memperbaiki posisi duduk dan mengambil Alquran yang telah disodorkan olehnya.

"Ayo! Masih ziyadah kan?"
Sebelum ia mulai, aku bertanya untuk memastikan bahwa sekarang ia sedang setoran hafalan baru, bukan murojaah alias pengulangan hafalan.

Tetiba, salah satu santri yang duduk di sebelah kananku bertanya tentang doa iftitah apa yang aku baca ketika sholat. Dengan spontan aku menjawab pertanyaan itu. Belum usai aku menjelaskan dengan sempurna, tiba-tiba santri  lain bertanya tentang hal-hal yang cukup menguras pikiran tapi memberikan efek semangat untukku. Bagaimana tidak? Ketika santri bertanya pada guru, dan guru bisa menjawab dengan sempurna, maka betapa bahagia hati guru itu, karena mampu memberikan jawaban yang memuaskan untuk santrinya.
Begitupun denganku.

Setelah sesi tanya jawab itu, aku baru sadar bahwa ada santri yang menunggu untuk didengarkan setoran hafalan Qurannya. Aku menghadapkan wajahku ke dia dan mengambil Qurannya. Tapi, dia mengelak dan tidak ingin lagi menyetorkan hafalan Qurannya.

Dia pergi tanpa kata, aku bingung harus bagaimana, maka kubujuk hatiku untuk menyusul santri yang sedang ngambek itu. Aku minta maaf, dia memaafkan, katanya. Tapi wajahnya tetap kusut seperti kain yang belum disetrika. Aku tahu aku yang salah, dan aku sudah meminta maaf, bahkan kusertai pelukan di perminta maafanku.

Sayangnya, dia masih tak berkutik, diamnya memberi isyarat bahwa dia masih tak ingin diganggu olehku.
Aku bingung.

#30dwcjilid20
#day6

HALAKAH TAHFIDZ - LOVE 3000Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang