Bab 3 - Salah Paham

33.6K 4.7K 939
                                    

Sejatinya memang manusia itu lemah, oleh karena itu Allah beri latihan berbentuk ujian untuk memperkuat jasmani maupun rohaninya.

~Senja di Istanbul~
Karya Mellyana Dhian

Tag dan follow @senjadiistanbul @mellyana.i

***

"Ibu pasti bisa," seorang gadis bercadar berusaha meyakinkan sembari meremas tangan sang ibu untuk memberi kekuatan. "Demi Pak Gunawan yang baik sekali dengan bapak dan kita."

Kata-kata sang gadis tidak berkerja, buktinya wanita itu tampak ragu turun dari taksi. Wajahnya sangat pucat, ditambah tangan menggigil. Sesekali tampak gernyitan yang memberi sinyal ketakutan.

"Hawwa akan menemani Ibu. Bimillah Bu, amar makruf nahi mungkar."

Dari pesantren yang pernah Hawwa tempati, para guru sering menyerukan berbahasa Arab tersebut. Sebuah perintah untuk menganjurkan hal-hal baik dan mencegah keburukan bagi masyarakat.

Mata Hawwa menyipit, menunjukan ia sedang tersenyum. "Ayo, Bu." Ia bisa memaklumi kalau tempat ini tidak ingin ibunya datangi. Dua tahun yang lalu di sini menjadi titik mula kekacauan keluarga kecilnya.

Tatkala Hawwa dan ibunya mendekati pintu masuk, seorang polisi mendekat. "Ada yang bisa saya bantu, Bu?"

Hawwa lekas menjawab. "Kami datang untuk memenuhi undangan menjadi saksi terkait meninggalnya anak Pak Gunawan. Namanya Balqis."

Seorang lelaki bertubuh jangkung tidak sengaja mendengar percakapan itu. Merasa terpanggil, ia berbalik. "Seharusnya kamu mengonfirmasi kalau bersedia menjadi saksi, sehingga tim kami menjemput ibumu."

Berbeda dengan Hamish yang bersikap biasa, Hawwa terlihat kaget. Bahkan kata-kata Hamish tidak ia cerna dengan baik.

"Saya tidak akan membiarkan kalian bepergian sendiri mulai sekarang. Sangat mengkhawatirkan," lanjut Hamish.

Mendengar kalimat ambigu Hamish, Hawwa merasa risih. "Terima kasih, tapi kami tidak butuh kata-kata gombalmu."

Alih-alih marah, Hamish malah tertawa cekikikan. Beruntung ia bisa mengontrol diri kalau sedang di kantor. Profesionalitas wajib dijaga.

"Komisaris Hamish melindungi karena ibu Anda saksi penting kasus pembunuhan, takutnya pihak pembunuh mengincar ibumu agar tidak meninggalkan jejak," jelas polisi yang menemui mereka pertama kali.

Bibir ibu Hawwa kedutan, menahan tawa meyaksikan reaksi anaknya yang malu karena salah paham. Basa-basi itu membuat hatinya lebih nyaman. Apalagi bertemu Hamish, entah ada kemistri apa. Mungkin calon mantu?

"Ibu silakan masuk, teman saya akan mengarahkan," ucap Hamish dengan sopan.

"Nak Hamish bisa temani ibu? Ibu takut," aku ibu Hawwa tanpa memalingkan wajah dari Hamish, meskipun kakinya melangkah mengikuti lelaki berseragam cokelat.

Kali ini Hawwa harus menurunkan ego. Menatap Hamish sekadar meminta permohonan. "Tolong bantu ibu saya, beliau punya trauma dengan kantor kepolisian."

Mata Hamish melirik arloji, harusnya dia mendatangi tempat kejadian perkara, akan tetapi ada yang memberatkan langkah meninggalkan kantor. Tanpa babibubebo, lelaki berkumis tipis itu mengikuti ibu Hawwa.

Hawwa mengulas senyum mendapati kebaikan Hamish yang tulus. Beruntung dia bercadar, kalau tidak pasti lelaki itu semakin percaya diri.

Jujur saja, Hawwa tidak tertarik dengan celotehan Hamish di Istanbul. Terlalu banyak lelaki mengumbar kata-kata kepadanya, nyatanya hanya bahan guyonan. Tidak pernah ada yang benar-benar datang ke rumah.

Senja di IstanbulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang