Bismillahirrahmanirrahim...
***
Bukan saja harapan yang membuat patah, tetapi kepada siapa harapan itu disandarkan. Semakin rapuh sandaran, semakin besar peluang hilang harapan.
~Senja di Istanbul~
Karya Mellyana Dhian***
"Terima kasih, Mas Ibra," ucap Hawwa seraya berhadap-hadapan dengan kakak tingkatnya.
"Kamu sudah aku anggap keluarga. Santai aja kali, Wa."
"Ya ya ya... Sana terserah! Mau dianggap keluarga, sahabat, adik, atau istri juga terserah," batin Hamish yang berdiri di sisi pintu.
Ruangan inap Rofiah di kelas 2. Artinya dalam satu ruangan tidak hanya ada brangkarnya, melainkan ada 3 pasien lain. Berhubung sudah malam, penjaga dan pasien terlelap tidur. Menguntungkan untuk Hamish, kecemburuannya tidak terlihat oleh mereka.
"Hanna kamu pulang bareng Mas Ibra atau bareng calon suami?" Baru saja tadi bilang Hamish tidak bisa menikahi Hanna. Sekarang sudah membalikkan keadaan. Apalagi kalau bukan untuk menegaskan kepada Ibra kalau dia tidak memiliki hubungan dengan Hamish.
"Bareng Mas Ibra."
Hamish terpojokkan. Tidak ada yang memihaknya. Benar-benar kejam. Agar tetap terlihat santai, lelaki itu terkekeh. "Saya ikutanlah. Kan motor saya di rumah. Gimana sih, kalian lupa ya? Siapa yang bantuin ibu ke rumah sak—"
Malas mendengarkan, Hawwa memotong. "Sudah malam. Mas Ibra besok ke kantor, kan?"
Hamish mengigit bibir. Ingin menali tangan Hawwa, lalu menyeretnya ke KUA supaya tidak kurang ajar.
"Aku pulang dulu. Salam buat ibu. Lain kesempatan aku berkunjung lagi."
"Makasih, Mas."
Suasana lorong rumah sakit sangat sepi. Hanya terdengar derap langkah Hamish, Ibra, dan Hanna. Ketiganya berjalan berurutan. Ibra memimpin jalan, sementara Hamish paling belakang. Komandan polisi itu mendapat pesan kalau kasus Balqis akan segera masuk persidangan. Ada rasa lega sekaligus khawatir. Bagaimana kalau kasus itu tidak terselesaikan?
Perjalanan di mobil pun hening. Seolah terbaca suasana pesaing-tersaing di dalam sana. Hingga Ibra memulai obrolan perkenalan.
"Aku Ibra."
"Hamish," jawabnya tanpa menoleh ke arah pengemudi.
"Sudah lama kerja di kepolisian, Mas?"
"Lumayan."
"Bidang apa, Mas?"
"Bareskrim."
"Keren tuh Mas. Memecahkan kasus kriminal. Menemukan penjahat. Dulu orang tuaku minta aku masuk akademik kepolisian yang di Semarang itu, tapi aku nolak. Lebih suka kebudayaan Jawa. Sebagai tonggak bangsa sudah pasti harus melestarikan budaya lokal. Itu Pendapatku."
"Oh." Hamish membatin. Oleh karena itu saya yang paling tepat menjaga Hawwa. Melindungi sepenuh cinta. Bukan kamu.
Mendapat respon kurang baik tidak membuat Ibra sakit hati. Karakternya sangat mencerminkan orang Jawa yang lemah lembut dan sopan. Berbeda dengan Hamish yang hilang sikap santun saat cemburu. Berhadapan dengan rival memang beda. Siapa yang tidak kesal? Lamarannya gagal dua kali. Dia tidak ingin gagal lagi, apalagi didahului Ibra.
Sekelibat terpikir untuk mengirim pesan kepada Hawwa agar semuanya jelas. Bukan Hanna yang ingin Hamish lamar, melainkan Hawwa. Si gadis cuek bin judes.
Hamish
Wa, sebenernya yang ingin saya lamar itu kamu bukan Hanna. Besok selepas ngantor saya berkunjung ke rumah sakit menjelaskan secara langsung. Maaf kalau membuat kalian salah paham sebelumnya.Tiba-tiba mobil Ibra terguncang, menabrak lubang jalan yang cukup dalam hingga cekakan Hamish terlepas. Ponselnya jatuh. Saat dia meraihnya, layarnya sudah mati.
"Maaf, Mas. Tidak sengaja. Kalau ponselnya rusak aku tanggung jawab."
Hamish diam. Berusaha menekan tombol aktif. Namun sia-sia, benda itu tidak mau hidup.
"Sini Mas biar aku perbaiki di servis peralatan komunikasi dekat kator." Dari lubuh hati yang paling dalam Ibra merasa bersalah. Dia tidak sengaja. Semula Ibra melirik layar, ternyata lelaki di sampingnya mengirim pesan kepada Hawwa. Gara-gara keinginan tahuannya itu membuat tidak sadar ada lubang di depan.
"Tidak perlu. Saya perbaiki sendiri nanti. Bangunkan saya kalau sampai rumah." Hamish memasukkan ponsel, tangan bersedekap, menyenderkan badan ke tempat duduk, lalu memejamkan mata. Pegal merajam setiap persediannya. Capek hati, pikiran, dan badan.
Lima belas menit kemudian, Ibra membangunkan Hamish. Ibra tidak turun, dia langsung pulang ke rumah. Sedangkan Hamish juga tidak bisa berlama-lama. Tidak ingin ada fitnah antara dirinya bersama Hanna berduaan tengah malam. Komisaris itu mengajak Hanna ke rumah sakit pukul 5 sore. Menjenguk dan membicarakan rahasia yang dia simpan kepada sang kakak.
***
Pukul 3 dini hari, Rofiah memanggil-manggil nama Hawwa. Meskipun panggilannya lemah, gadis itu mendengar. Dia bangkit, mencium tangan sang ibu. Sangat bersyukur diberi kesempatan bersama ibunya.
"Alhamdulillah. Hawwa khawatir banget, Bu."
Rofiah tersenyum. Lalu ekspresi itu memudar begitu mengingat kejadian terakhir kali sebelum tak sadarkan diri. Hawwa bisa membaca kesedihan itu. "Bu, Hawwa panggilkan perawat dulu supaya kondisi ibu dicek."
Setelah pengecekan barulah Rofiah mengatakan apa yang dirasa. "Ibu senang punya anak sedewasa kamu, tapi ibu sedih kalau kedua anak ibu—harta paling berharga—berantem."
"Maafkan Hawwa, Bu. Hawwa salah terlalu keras. Seharusnya Hawwa bisa menjadi sahabat untuk Hanna. Dengan izin Allah, Hawwa akan berusaha menjaga adik semaksimal mungkin."
Rofiah mengganguk. "Terima kasih."
"Tidak perlu ibu bilang kayak gitu. Justru Hawwa yang harus mengatakan beribu-ribu terima kasih kepada ibu."
"Ibu ingat. Di rumah ada Hamish. Sekarang dia dimana?"
"Sudah pulang, Bu. Oh iya, tadi Mas Ibra ke sini." Hawwa membenarkan selimut sang ibu.
"Kamu yang meminta?" tebaknya benar, sebab tidak lama Hawwa membalas dengan anggukan. "Hawwa, Hawwa, gak bisa baca perasaan Hamish?"
"Ibu apaan sih. Diakan calonnya adik. Hawwa mau salat. Ibu istirahat dulu aja."
Di tempat yang berbeda Ibra juga mengambil air wudhu. Malam ini ia akan mengadu dan meminta petunjuk. Apakah ia harus segera melamar gadis pujaan atau tidak. Orang VIP, very important person.
***
Segala kebaikan datang dari Allah.
Kewajiban manusia adalah beribadah.
Terima kasih sudah membaca cerita 'Senja di Istanbul'
Komen 1000 baru lanjutan gimana 🤭 bocoran bab selanjutnya ada something.
Mel~
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja di Istanbul
SpiritualKomandan Hamish Akbar seorang polisi yang bertugas di Jakarta mendapat waktu libur untuk umrah sekaligus mengeliling kota Istanbul. Tanpa sengaja ia bertemu gadis bercadar bernama Hawwa Az-Zahra. Awalnya Hamish iseng menggoda Hawwa supaya akrab, tet...