Rasa sakit menjadi wujud proses pendewasaan diri, bahwa manusia butuh jatuh bangun untuk menegakkan kebenaran.
~Senja di Istanbul~
Karya Mellyana DhianTag @senjadiistanbul @mellyana.i
***
Pulang dari Tempat Kejadian Perkara, Hamish bersama Inspektur Satu Polisi (Iptu) Anhar Saputra berhenti di sebuah masjid guna melaksanakan jamaah Dhuhur.
Butuh waktu 10 menit bagi Hamish berkomunikasi dengan Allah. Tiga menit salat dan tujuh menit berdzikir; membaca ayat kursi, tahmid, tahlil, tasbih, istighfar, juga berdoa. Sesibuk-sibuknya Hamish, ia tidak pernah meninggalkan tempat salat setelah salam. Tanpa berdzikir setelah salat, ibarat makan tanpa lauk.
Keduanya berbincang sembari mengenakan kaus kaki dan sepatu PDH.
"Kasus ini lumayan rumit, papa korban membuat penyelidik kesulitan. Begitu menemukan anaknya tewas, dia langsung memeluk dan mengizinkan orang lain masuk ruangan, menyentuh barang-barang yang ada di sana. Itu menyalahi aturan, sama saja tidak mengizinkan polisi memeriksa sidik jari si penculik," keluh Anhar.
"Pak Gunawan orang yang berpendidikan. Menurut saya dia tahu aturan. Kenapa dia mengizinkan orang lain masuk bahkan menyentuh mayat anaknya?"
Pertanyaan Hamish membuat Anhar mencatat sesuatu di note yang selalu ia bawa.
Anhar pamit menuju mobil terlebih dahulu untuk menghormati privasi Hamish yang baru saja menerima telepon video dari keluarga.
"Assalamualaikum, Umah, Abah. Bagaimana kabarnya?"
"Waalaikumsalam, Nang." jawab kedua orangtua Hamish bersamaan. Nang adalah panggilan untuk anak laki-laki di Jawa Tengah.
Ayah Hamish, melanjutkan aktifitas membuka kitab kuning, sedangkan ibunya masih memandang Hamish di depan layar. "Umah sama Abah rinduuuu sekali. Kangen."
"Hamish juga kangen. Pengen balik Semarang. Ningali Lawang Sewu hehehe." (Melihat Lawang Sewu-salah satu icon kota Semarang)
"Kapan balik?"
Setiap mendapat pertanyaan itu, jawaban Hamish selalu sama. "Doakan pekerjaan Hamish lancar dan segera terselesaikan. Nanti Hamish bisa ambil cuti." Padahal tindak kriminal tidak ada surutnya. Ada saja kasus yang harus Hamish tangani. Prestasi pria itu yang dapat menuntaskan kasus besar secara tidak langsung membuat atasannya semakin percaya dan mengamanahkan kasus baru kepadanya.
Sebenarnya Hamish juga merasa berdosa. Terlalu sibuk dengan pekerjaan, hingga tidak sempat mengunjungi orangtua. "Bagaimana kalau Abah sama Umah ke Jakarta lagi? Nanti Hamish siapkan tiket pesawat. Minta tolong budhe mengantar."
Sudah empat tahun lebaran Hamish tidak pulang ke Semarang. Risiko pekerjaan yang ia cita-citakan sejak kecil. Ketika warga ibu kota sibuk mudik, pria itu duduk di kantor untuk memastikan keamanan atau rapat bersama tim mengenai kasus yang menggunung.
"Abah sama Umah sudah tua. Tidak sebugar dulu untuk naik pesawat. Kamu sudah makan, Nang?"
Hamish menampilkan deret gigi putihnya. Lagi-lagi ia lupa sarapan dan makan siang. "Belum, Mah. Tadi pagi Hamish kesiangan. Oh iya umah, paketan oleh-oleh umrah sudah Hamish kirimkan melalui ekspedisi pengiriman biasanya."
"Jaga kesehatan. Kamu jauh dari orang tua. Di sana tidak ada yang merawat. Syukur-syukur ada istri, biar ada yang mengurusmu."
"Hamish mandiri kok, Mah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja di Istanbul
SpiritualKomandan Hamish Akbar seorang polisi yang bertugas di Jakarta mendapat waktu libur untuk umrah sekaligus mengeliling kota Istanbul. Tanpa sengaja ia bertemu gadis bercadar bernama Hawwa Az-Zahra. Awalnya Hamish iseng menggoda Hawwa supaya akrab, tet...