Alana melangkahkan kakinya ragu saat pertama kali ia memasuki sebuah gedung perkantoran yang cukup besar. Tempat itu tidak memiliki terlalu banyak lantai, namun terlihat jelas bahwa tempat itu cukup luas dan besar untuk menampung lebih dari lima puluh orang karyawan yang berkecimpung dalam bidangnya masing-masing. Triple A Contruction adalah perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi dan sipil. Alana sudah melihat banyak sekali kesibukan sejak ia menginjakkan kakinya di lobby gedung tersebut. Ada beberapa orang yang nampak sibuk dengan pekerjaannya dan terkesan tidak peduli dengan orang lain. Alana sendiri lebih memilih untuk tidak peduli dan segera menghampiri meja recepcionist yang sepertinya sudah mengamati kedatangannya sejak awal.
"Alana Alfiana?" tanya gadis resepsionist itu ragu-ragu.
"Benar."
"Lantai dua lalu belok kiri, ruangan Anda disana." gadis resepsionis itu seolah telah diminta untuk menujukkan ruang kerja Alana oleh seseorang. "Dan ini id card-nya." gadis resepsionis itu tersenyum samar seraya menyerahkan sebuah id card yang telah terpasang foto dan nama lengkap Alana. Meski sebenarnya gadis itu lebih suka jika gadis resepsionis itu mengantarnya hingga ia tiba di ruangan, akan tetapi mau tidak mau ia terpaksa melakukannya sendiri karena gadis itu tidak sedikitpun menoleh ke arahnya setelah ia menyesaikan tugasnya.
Alana menghela nafas pelan seraya menaiki lift menuju lantai dua. Ia membenarkan letak tali tasnya yang tersampir di bahunya sambil menunggu hingga lift itu tiba di lantai tujuannya. Ketika suara dentingan terdengar dan pintu lift terbuka, Alana lagi-lagi melangkah ragu. Gadis resepsionis tadi bilang dia harus belok ke kiri. Gadis itu pasti akan salah masuk ruangan lantaran kedua ruangan yang berada di sisi kiri dan kanannya merupakan dua pintu dengan design dan warna yang sama. Tidak ada aksesoris apapun yang di tempatkan di kedua sisi pintu masing-masing ruangan tersebut, tidak ada name tag yang biasanya diletakkan di depan pintu masing-masing ruangan. Sehingga orang baru manapun bisa saja masuk ruangan yang keliru.
Gadis itu melangkahkan kakinya menuju sebuah ruangan yang berada di sebelah kiri seperti yang sudah gadis resepsionis itu katakan padanya tadi. Ia mengetuknya satu kali, dua kali, namun tidak ada jawaban. Satu-satunya hal yang bisa ia pastikan adalah kemungkinan ruangan tersebut kosong atau orang-orang yang berada di dalam sana pasti belum datang mengingat hari masih cukup pagi dan jam kerja belum dimulai.
Langkah gadis itu kali ini tidak lagi ragu, ia mendorong pintu kaca buram berbingkai hitam itu dan melangkah riang ke dalam ruangan tersebut. Tapi sepertinya dugaannya sangat salah, disana terlihat seorang pria nampak sibuk dan terus menerus menatap layar komputernya tanpa menghiraukan kehadiran Alana. Pria itu, tidak sedikitpun melihat atau sekedar melirik ke arah Alana seolah melewatkan satu detiknya yang sangat berharga adalah sebuah hal yang sangat sia-sia dan merugikan.
Ruangan itu cukup besar dan luas. Ada dua buah meja kayu mengkilap yang posisinya dibuat berhadapan namun saling berjauhan satu sama lain seperti dua kutub yang saling tolak menolak. Di tiap-tiap meja terdapat peralatan kantor yang cukup lengkap. Seperangkat komputer, lengkap dengan printer dan beberapa alat kantor lainnya tepat berada disana seolah mereka tidak diizinkan untuk mengganggu satu sama lain.
Alana mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan dan pandangan gadis itu bertemu dengan wajah pria yang masih saja sibuk dengan pekerjannya. Pria tampan yang sama sekali tak bergeming sejak kedatangan Alana beberapa menit yang lalu. Seolah Alana adalah makhluk tak kasat mata yang tidak layak untuk mendapat perhatiannya sehingga pria itu memilih untuk fokus pada pekerjaannya. 'Beginikah cara pria itu menyambut rekan kerja baru? Apa tidak bisa jika ia berbasa-basi sedikit?' gerutu Alana dalam hati. Tapi kemudian ia sadar dan memilih untuk merebahkan pantat indahnya di kursi berwarna biru yang terlihat lumayan empuk. Gadis itu menggerakkan kursi yang ia duduki ke kanan dan ke kiri seraya menekan tombol power untuk menyalakan komputernya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Look Into My Eyes
Romance"Alana, bisakah kau berjanji satu hal padaku?" "Apa?" "Berjanjilah, jangan pernah sekalipun menatap mataku. Jangan pernah! Kecuali aku yang memintamu untuk melakukannya." "Tapi kenapa?" "Katakan 'iya', aku mohon..." Sejak pertemuan pertamanya denga...