Touching Him Accidentally

4K 170 6
                                    

Semenjak insiden 'nyaris berciuman' yang terjadi beberapa waktu lalu, Azarya justru bersikap semakin dingin dan menyebalkan. Pria itu semakin irit berbicara, tidak pernah peduli tiap kali Alana mengalami kesulitan dengan pekerjaan barunya. Azarya seolah tak peduli dan menganggap keberadaan gadis itu hanya angin lalu baginya. Meski di hari pertama mereka bertemu Azarya memang sangat sedikit berbicara, tapi setidaknya pria itu masih menunjukkan bahwa ia bukan pria bisu. Namun belakangan, pria itu seolah menutup rapat mulutnya dan terkesan menjauhi Alana seolah gadis itu memiliki penyakit menular yang sangat berbahaya.

"Azarya? Apa kertas ini masih terpakai?" ini sudah kesekian kalinya Alana mencoba untuk berbicara dengan pria itu. Bukan karena gadis itu berharap agar bisa lebih dekat dengan Azarya, namun sebagai manusia normal, tidak mungkin jika mereka tidak saling berinteraksi satu sama lain terlebih untuk urusan pekerjaan. Dan untuk alasan profesionalisme, Alana berusaha untuk menekan harga dirinya dan seolah menjadi satu-satunya orang tolol yang berharap bahwa sebuah patung dapat berbicara. "Azarya, aku sedang bicara padamu. Kau tidak dengar ya?" Alana melipat kedua tangannya dan menatap pria itu dengan wajah masam. Kesabarannya sudah habis! Berhari-hari gadis itu mencoba bersikap seolah tidak ada sesuatu hal yang terjadi diantara mereka dan mencoba melupakan insiden tidak terduga itu. Baiklah, mungkin pria itu malu karena terlihat secara terang-terangan melakukan hal yang sangat tidak masuk akal dan terkesan memalukan. Tapi bukankah Alana sendiri tidak memusingkan hal tersebut? Apa harga diri pria itu sangat besar hingga ia tidak lagi memiliki kepercayaan diri untuk sekedar meminta maaf atau setidaknya bersikap normal? "Ya Tuhan, apa aku berbicara dengan sebuah patung? Apa perusahaan ini mempekerjakan sebuah patung? Bahkan robot saja masih bisa merespon." sindir Alana kesal.

"Kertas barunya ada disana." Pria itu menjawab, meskipun masih dengan cara yang sama. Terkesan tidak peduli, menyepelekan, dengan tidak memandang ke arah Alana sedikitpun sementara tatapan matanya terfokus pada layar monitor dan terdengar bunyi 'klik' beberapa kali dari mouse yang digenggam tangan kanannya.

"Apa? Kau bilang apa barusan?"

Pria itu memejamkan matanya sejenak, menghela nafas berat lalu kemudian mengepalkan tangannya menahan amarah. "Aku bilang kertasnya ada disana?! Apa kau itu tuli?!" bentak Azarya geram, namun masih dengan cara yang sama, pria itu tidak juga menatap Alana. Azarya menutup wajahnya dengan kedua tangannya seolah berusaha meredam amarahnya yang bisa meledak kapan saja. Pria itu bangkit dari kursinya dan mendekati rak susun yang memuat tumpukan kertas baru yang bisa digunakan untuk mencetak. "Kertas barunya ada disini. Apa aku harus menunjukkan dengan cara seperti ini dulu agar kau puas? Apa kau senang karena berhasil menggangguku, pekerjaanku?" ralat pria itu. Azarya berdiri memunggungi Alana, terlihat marah, kesal namun tetap berusaha mengontrol dirinya alih-alih melakukan hal memalukan seperti yang dilakukannya beberapa waktu lalu.

"Apa kau pikir aku dibayar untuk menganggu pekerjaanmu? Kau pikir aku buta? Tolol? Dungu? Aku tahu! Aku tahu dengan pasti dimana letak kertas-kertas baru! Apa kau ingin tahu kenapa aku bisa tahu dimana letak kertas-kertas itu? Karena aku yang meletakkannya disana. Saat kau tidak peduli bahwa stok kertas di ruangan ini sudah habis. Aku yang memintanya, memindahkannya dari dalam kardus dan aku yang meletakkannya disana! Jadi jika aku membutuhkan kertas baru, aku tidak akan bertanya padamu!" Alana balik marah. "Apa kau tidak dengar? Aku hanya bertanya, dengan cara baik-baik, apakah kertas dengan gambar design bangunan milikmu ini masih terpakai atau sebaiknya dibuang saja ke tempat sampah? Aku sama sekali tidak membutuhkan kertas baru, tapi aku harus mencetak laporan dan sialnya aku harus menggunakan printermu! Printerku rusak!" jelas Alana pada akhirnya. Ia merasa sedikit lebih baik setelah berhasil menumpahkan amarahnya pada pria itu.

"Lain kali bertanyalah dengan cara yang lebih baik. Kau menggunakan kalimat yang tidak jelas dan sulit dimengerti." ucap pria itu santai seraya kembali ke meja kerjanya. Sepertinya kemarahan pria itu juga telah mereda.

Don't Look Into My EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang