2

16 5 3
                                    


Selamat pagi, ayah ibu. Sapaku ke setiap sudut ruangan rumahku. Aku melihat sepintas. Segera membuat sarapan. Makan dengan khidmat. Tak lupa doa.

Selesai makan. Meja makan terlihat lengang. Tak ada suara dentingan sendok dan garpu beradu. Menata kembali bekas makanku. Langsung bergegas ke kampus. Tak lupa mengucapkan selamat tinggal pada ayah ibu.

Fyuhhh

"Al, mau makan ga?" kata Siska sahabatku di kampus

"ga laper" jawabku

"ga laper ko perutnya nyanyi?" jawab Siska

Aku nyengir. Mengikuti langkah Siska menuju kantin. Duduk di bangku nomor dua baris kedua. Siska memesan makanan untuk kita berdua.  Mulai menyantap makanan dengan diselingi runtutan cerita ghibah dan tawaan renyah Siska kala aku melawak. Lengkap sudah kenikmatan yang menghilangkan penat seharian kuliah.

Siska pulang lebih dulu, dijemput kekasihnya. Aku seperti biasa menunggu kampus agak sepi baru pulang. Makanan tadi sudah dibayar Siska.  Aku melangkah keluar kantin. Menengok sesaat pergelangan tangan.

Pukul lima lebih tujuh.  Senja mulai menyemburatkan warna jingga. Menggelayut pada gedung-gedung kampus. Gumpalan awan putih mulai berpendar-pendar. Lanskap yang indah. Gumamku.

Asyik menatap gedung fakultas lain. Aku sempat menangkap objek. Cowok itu.  Aku harus mengembalikan kacamatanya. Aku bergegas berlari mengejar. Cowok itu menghindar. Aku memanggil hey. Cowok itu melengos. Sampai akhirnya aku harus menarik bahunya.

"hey!" kataku

Dia menatap datar.

"nih kacamatanya.  Kemaren jatuh." memberikan kacamata

Cowok itu menatap kacamata. Kemudian menatapku. Aku menatapnya. Saling tatap. Senja sukses lenyap, warna jingga itu menghilang. Digantikan malam temaram. Lenguhan burung walet terdengar.

Aku memutuskan kontak mata. Tidak enak dengan keadaan seperti itu. Cowok itu masih menatapku dalam. Memutar bahu hendak meninggalkanku. Sempat pula menatapku tajam. Aku pura-pura cuek. Dia terlihat menghela nafas gusar. Kulirik kacamata itu lagi. Terlihat retak di sisi kanannya.

Aku nyengir. Ternyata itu yang membuat cowok ini menatapku tajam.

"mau aku antar ke optik terdekat?" tanyaku

Dia mengangguk. Sebagai jawabannya.

"eh, eh apakah tidak terlalu sore. Eh, malam maksudnya untuk ke optik?" tanyaku cemas. Ini sudah maghrib, waktunya untuk pulang.

Dia menggeleng kemudian menarik tanganku. Ia terus menarik pergelangan tanganku.  Menyuruhku mengikuti langkahnya. Bila dilihat dari jauh, aku seperti seorang adik nakal yang disuruh pulang oleh kakaknya.

"nah! Ini optik terbagus di kota ini"  kataku menghentikan langkah

Dia mengangguk. Mulai menyebrang jalan dengan melirik kanan kiri terlebih dahulu. Kami memasuki optik tersebut.  Hamparan kacamata terlihat. Cowok itu mendorongku ke depan sang pemilik toko. Aku heran. Kenapa tidak cowok itu saja yang bertanya ke penjual toko? Tidak penting. Yang terpenting, aku secara tidak sadar menyebutkan kata kami di paragraf ini setelah dia menarik paksa tanganku.

Jangan lupa vote dan komen

Alkadam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang