4

12 4 0
                                    


Selamat pagi.
Semoga saja di pagi ini, semangat baru membulir bersamaan dengan embun yang jatuh dari daun. Ada harapan-harapan baru yang berhembus diiringi kabut yang menyelimuti. Aku bergeliat karena cahaya matahari sudah separuh menerangi kamarku.

"selamat pagi ayah ibu" ucapku

Beranjak dari kasur dan menyingkap tirai jendela sekaligus membuka jendela. Pagi yang indah. Gumamku. Aku suka pagi karena dengan adanya pagi berarti aku telah melewati malam-malam resah.

Tapi aku juga senja. Sangat suka. Senja selalu mengajarkanku untuk terus datang dengan ikhlas. Meski hanya dianggap dalam kurun waktu empat puluh tujuh detik. Seterusnya ia akan digantikan malam. Senja tak pernah mengeluh.

Senja masih memancarkan sinar yang sama setiap harinya. Tak kurang. Bahkan, di suatu waktu kita pasti merasakan aura senja yang berbeda. Itulah pelajaran yang kuambil dari senja.

Aku menghirup udara pagi dalam-dalam. Memandang halaman depan rumahku yang sejuk. Hari ini akhir pekan, waktuku untuk bekerja. Aku kerja sampingan sebagai mba-mba fotokopi.

Banyak temanku yang menyepelekan pekerjaan itu. Mereka belum tahu saja kalau pekerjaan itu sepele tapi menghasilkan untung yang lumayan.  Cukup untuk biaya hidupku selama sebulan. 

"ehh mba Kana, udah siap aja" sapa Candra, patner kerjaku

Aku nyengir. Melewati Candra begitu saja. Mulai menyibukkan diri dengan melayani satu dua pelanggan. Ada yang memfotokopi dokumen , mengetik data, ada juga yang memfotokopi hasil fotokopi. Aku melayani mereka dengan ramah. Sesekali ada teman kampusku yang datang.

Lokasi fotokopi tempat ku bekerja memang dekat dengan kampus. Hanya tujuh ratus meter dari kampus. Strategis. Banyak anak kampusku yang berlangganan disini.

"gue capek Ndra" kataku

"duduk aja gih, takut tulang lu retak gue mah" nyengir Candra

Aku melemparkan kertas ke mukanya. Duduk bersandar ke dinding. Minum air putih dingin, mengelap keringat. Tarik nafas berkali-kali.

"mas fotokopi lima puluh lembar"  kata seorang pemuda

"siap" jawab Candra

Aku tak memperhatikan pemuda itu. Tapi netraku menangkap seorang cowok yang kemarin dikeroyok hendak menyeberang.  Ya tuhan,  cowok itu menuju kesini. Sukses lah berada di hadapanku.

"ehh, Lu Dam. Dah gue fotokopiin nih!" kata pemuda tadi

Cowok itu mengangguk.  Aneh. Cuma mengangguk dan menggeleng saja dia. Cowok itu menatapku seketika.  Aku balas menatapnya. Saling tatap. Cowok itu pergi dari tempatku.

Aneh. Entah berapa kali sudah aku mengatakan dia aneh. Aku mengedikan bahu. Tanda tidak mau tahu. Langsung membantu Candra mengerjakan permintaan pemuda tadi.

Pukul setengah tujuh. Aku baru pulang kerja. Menata tempat fotokopi, membersihkan lalu pulang.

"bareng?" tanya Candra

"gausah Ndra" jawabku

"makan bareng?" desak Candra

Aku nyengir. Mengangguk mantap. Candra terpingkal. Aku keluar bersama Candra. Candra menyiapkan motornya. Aku naik ke motor matik Candra.

"siap tuan Putri?" tanya Candra

"siap pangeran" jawabku sambil hormat

Kami tertawa bersama. Malam semakin matang, lampu-lampu jalan berpijar. Banyak kendaraan lalu lalang. Ada pasangan muda mudi yang bermesraan. Hari ini kan malam akhir pekan.

Candra mengajakku ke alun-alun kota Bandung. Berhenti di warung lontong kaki lima.  Aku turun dari motor. Disusul Candra dan langsung masuk ke dalam warung.

"pak lontong dua sama teh tawar anget dua" pesan Candra

"mesennya yang ga mahal aja yah" kata Candra kepadaku

Aku mengangguk mantap.  Ditraktir makan saja aku senang sekali.  Tak perlu yang mahal.  Candra memang seperti itu, memesan makanan yang harganya murah.  Bukan karena pelit.  Dompet Candra memang sempit.

Selesai makan,  aku menatap Candra. Sesosok pemuda kuat yang menghidupi dua adik kandungnya.  Candra sedang makan dengan khidmat.  Terimakasih tuhan telah menghadirkan sosok Candra dalam hidupku.

"ganteng banget ya bos?"  kata Candra langsung menghadapkan wajahnya ke wajahku

"nggak" jawabku gugup

Kami masih berhadapan. Hembusan nafas Candra terasa beraturan mengenai wajahku.  Tahulah kalian sedekat apa posisi wajah kami. Aku menatap Candra. Candra menatapku. Lama bersitatap.

Candra berdiri membayar makanan kami. Langsung mengajakku pulang.  Bulan di atas sana sedang penuh penuhnya. Hendak menyinari malam akhir pekan ini.

"Ndra, kalau sukses nanti, apa yang bakal lu lakuin?" tanyaku iseng

"..." diam Candra

"ihhhh Ndra!  Jawab!" desakku sambil mencubit pelan pinggul Candra

"tadi gue diem tuh dah gue jawab!"  jawab Candra

"ishh nyebelin"  kataku hendak mencubit pinggulnya untuk kedua kalinya

Candra berhasil menhindar, badannya oleng.  Motor yang kita naiki juga oleng.  Aku memperkuat pelukanku pada Candra.  Candra cekikikan melihat wajah kagetku.  Aku mengetuk keras helmnya.  Candra masam.

Jangan lupa vote dan komen

Alkadam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang