"wihhh mantap! Lo lulus dengan nilai tertinggi se fakultas Kana!" jerit Siska"alhamdulillah Sis" jawabku tak kalah senang
Hari ini, pengumuman nilai prestasi semester. Sekarang aku semester enam. Tak terasa beberapa tahun yang akan datang aku lulus. Selesai sekolah.
Aku termasuk mahasiswa yang dapat bidik misi di kampusku. Aku harus mempertahankan nilai ipk ku. Tidak mau disaingi anak lain. Takut dicabut nanti.
Liburan akhir semester di depan mata. Sejauh ini, surat yang ku terima di awal semester masih terus terkirim. Kertas yang sama, tulisan yang sama. Lipatan sama. Tetapi dengan isi berbeda.
Tak pernah ku tanggapi surat itu. Enak saja, menyuruhku dengan menulis surat saja. Tidak bisa bicara apa? Gumamku.
"ehh Kana, gue tahu siapa pengirim surat yang selalu lo terima itu" kata Siska serius
Aku tak peduli. Lebih memilih berlalu dari hadapan Siska. Siska mengejarku susah payah.
"cowok Kana!" teriak Siska
Aku langsung berdiri tegap. Memutar badan menghadap Siska.
"serius Sis?" tanyaku
"gue serius Kana!" bentak Siska
"kita bicarain di kantin yuk sambil makan soto" ajakku
"elehh bilang aja mau ditraktir" kata Siska sambil menjitak kepalaku
Aku nyengir. Segera menggandeng lengan Siska menuju kantin. Seperti biasa kami duduk di bangku nomor dua baris kedua. Siska memesan soto dua dengan es teh manis dua. Sahabatku ini anak sultan, sering ntraktir yang mahal-mahal buatku.
Soto cepat tersaji manis di meja. Siska dari tadi belum mengucapkan sepatah kata pun. Ia selalu membutuhkan bahan bakar untuk bicara panjang lebar. Aku mengikuti gerakan Siska menyantap soto milikku.
"nama pengirim itu Adam!" kata Siska
Sontak aku langsung tersedak. Siska memberikan aku es teh manis. Sebelum aku meminumnya, sedotan es itu mengenai hidungku. Aku dobel tersedak. Siska terpingkal. Aku melotot.
"anak mana?" tanyaku
"anak kampus sini, tapi beda fakultas sama kita" jawab Siska
Aku hanya ber-oh ria. Tidak tertarik melanjutkan percakapan. Aku berpikir sejenak. Ada ide bagus untukku kalau cowok itu mengirim surat lagi, aku akan menghampirinya. Di koridor perpustakaan tempat yang ia pinta dulu.
Selesai makan kami langsung menuju kelas. Sepi tidak ada siapapun. Temanku masih di luar kelas untuk merayakan akhir semester. Dan benar saja, ada surat tergeletak di mejaku. Aku mengambil dan membaca surat itu.
Isi surat itu menuliskan bahwa sang pengirim ingin aku menemuinya di koridor perpustakaan. Tepat sekali, sekalian aku penasaran dengan sang pengirim. Bergegas langsung menuju perpustakaan.
Tak ada siapapun. Lengang sekali koridor itu. Aku tengok kanan, tidak ada kehidupan. Tengok kiri hanya ada tiang penyangga. Sampai aku memusatkan pandanganku pada satu titik. Arah jam dua, ada sesosok pemuda tengah membaca buku.
Aku menatapnya samar-samar. Koridor itu gelap, meskipun hari masih menjelang pukul empat sore. Dari hasil visualku sih cowok itu pernah kulihat. Tapi aku lupa melihat di mana. Aku lihat almamater yang dipakainya. Melihat model name tag di almamaternya juga.
"hey" sapaku setelah satu langkah jarak aku dengannya
Dia mendongak. Astaga, dia cowok yang aku selamatkan waktu malam itu. Dia juga cowok yang memintaku untuk mengantarnya ke optik terdekat. Dia yang datang ke tempat kerjaku. Aku tersenyum kaku.
Hening. Senyap. Diantara kami tidak ada yang bicara. Tidak nyaman dengan suasana canggung seperti itu, aku langsung duduk di sampingnya. Menatap cowok itu dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Alkana" kenalku padanya seraya menjulurkan tangan
"..." diam cowok itu
"Alkana Hemanda" kataku masih menjulurkan tangan
Dia menatapku. Mulai menggerakkan jarinya membentuk huruf yang tidak ku kenali. Aku bingung. Dari gerakan yang ia lakukan, dia merangkai sebuah kata. Aku tidak tahu.
"heeh, maaf aku tidak tahu" jawabku
"kau bicara apa?" tanyaku lagi
Dia menggerakkan jarinya lagi. Menunjuk-nunjuk telapak tangan. Ia menyatukan jari telunjuk dan ibu jari. Menggerakkannya lagi.
"kau butuh pena dan buku?" tanyaku
Dia mengangguk. Aku langsung mengambil note kecil dari tasku. Merogoh saku agak kecil mengambil pena. Aku menyerahkannya pada cowok itu. Cowok itu langsung menulis. Aku mengintip ketika ia menulis. Penasaran dengan apa yang dia tulis. Seketika ia langsung menarik kertasnya menjauh dariku. Menggeram kepadaku.
Yee udah butuh sendiri, minta sendiri. Lah sekarang ini malah tidak mau berbagi. Dia terlihat selesai menulis. Aku membacanya.
"Adam Al Kahfi" kataku sambil membaca
Dia mengangguk. Aku heran, kenapa ia tidak bicara langsung? Aku menulis sesuatu di kertas. Kita seperti surat menyurat.
"kenapa tidak bicara langsung saja?" tanyaku
"aku bisu" tulis Adam
Ya tuhan, aku kaget bukan kepalang dengan pernyataan itu. Aku menatapnya heran. Ia mengangguk.
"maafkan aku" tulisku
"tidak apa-apa" tulis Adam
"kau anak fakultas apa?" tanyaku
"arsitek" tulis Adam
Buset, anak arsitek borr. Dalam hatiku bicara.
"aku anak fakultas Bahasa Inggris" tulisku
"aku sudah tau" tulisnya
"bagaimana kau tahu?" tanyaku
"aku Adam" tulis Adam sambil mencetak tebal namanya
Aku tertawa. Ada satu laki-laki lagi yang membuatku kagum. Aku tidak menyangka jika ternyata Adam tuna wicara. Jadi alasan selama ini ia mengirim surat kepadaku karna ia tidak bisa berbicara langsung. Tanpa sadar, aku pernah berfikir kalau pengirim surat itu bisu. Itu kondisi sesuai fakta.
"kau mau pulang denganku?" tulis Adam
Ciee dah mulai pendekatan nih Adam dan Kana xixi
Mohon maaf kalau ada salah ketik guys
I love you 💛

KAMU SEDANG MEMBACA
Alkadam
Teen FictionGadis periang yang memulai kehidupannya dengan memiliki masalah bersama orang-orang yang dicintainya