6

6 3 0
                                    


Aku mengangguk. Tanda aku setuju dengan ajakannya. Adam berdiri mempersilahkanku untuk berjalan lebih dahulu.  Aku menggeleng. Memilih untuk berdampingan. Adam mengangguk.

Kami sudah sampai di tempat parkir. Adam melangkah ke sebuah mobil berwarna navy. Buset, bawa mobil masnya. Pantes saja dipalak. Gumamku.

Aku berpikir sejenak.  Aku kan orangnya mabukkan  kalau naik mobil pribadi.  Lain halnya sama angkot yang aku naiki tiap berangkat ke kampus. Kepala Adam sedikit keluar dari jendela. Matanya menunjuk agar aku cepat naik. Aku menggeleng.  Ragu.

Adam kembali masuk ke dalam mobil.  Kulihat sih mengambil sesuatu dalam tasnya. Cukup lama sampai akhirnya kepalanya kembali keluar melalui jendela mobil. Adam menyerahkan sebuah kertas padaku.

"kenapa gak masuk?" tulis Adam

"aku, eh, emm akuu. Emm aku gampang mabukkan" jawabku

"masuk saja. Akan kubuat kau tidak pernah mabuk mobil lagi" tulisnya kembali

Adam membukakan pintu mobil untukku. Sekali lagi aku ragu. Kan gak seru ceritanya kalau Alkana mabuk perjalanan . Padahal rumus kimia. Lupakan.

Bismillah   ucapku dalam hati

Aku masuk ke dalam mobil . Seketika aroma terapi langsung menyeruak dalam indra penciumanku. Benar kata Adam, aku lebih rileks. Melupakan kebiasaanku yang mudah mabuk. Adam menunjuk nunjuk pinggangku.

"apa?" kataku

Mata Adam terlihat menunjuk ke pinggangku. Aku tak tahu apa yang dia maksud. Adam menggeram. Terlihat menyeramkan sekali ketika dia menggeram. Mengacak puncak kepalanya sendiri.

Adam langsung mengambil sesuatu di balik pundakku. Aku diam,  sampai akhirnya dia memasangkan sabuk pengaman untukku. Ternyata maksud dia menunjuk pinggangku ialah sabuk pengaman. Aku nyengir.  Menunjukkan deretan gigi putihku. Adam membuang muka.

Setelah semuanya siap. Adam melajukan mobilnya. Membelah jalanan kota yang lengang. Aku melihat pemandangan dari jendela mobil. Adam menyalakan musik.

Aku seketika menengok, menatap Adam heran.

"instrumen kiss in the rain?" tanyaku

Adam mengangguk. Mulai mengeraskan volume. Sepertinya Adam sangat menikmati musik itu. Aku pun,  musik ini mengingatkan aku pada ayah. Tanpa disadari cairan bening itu lolos jatuh dari mataku.

Kepalaku terbanting ke depan. Adam mengerem mendadak. Ia menyapu pandangan netranya ke wajahku. Tangannya menyalipkan anak rambut yang terurai ke belakang telinga. Ia langsung mengusap air mata itu. Ia tersenyum kepadaku, aku menatapnya. Mata bulat hitam itu sangat berbinar. Aku menemukan ketenangan dalam netra Adam.

Aku mendorong badan Adam agar menjauh dariku. Tak enak dengan posisi seperti itu. Ia langsung melajukan mobilnya kembali. Tiga puluh menit berlalu, aku mulai bosan. Kenapa tidak sampai-sampai ke rumahku? Aku tidak mengenali daerah ini.

"Adam?" panggilku ragu karena Adam terlihat serius

Yang dipanggil masih tak acuh. Aku mulai sebal.

"Adam! Ini sampai kapan kita di mobil?" gentakku

Adam kembali mengerem mendadak. Kali ini aku sukses berbenturan dengan dashboard. Aku jitak kepala Adam nanti. Adam mengambil kertas dan pena.

"kau tidak menyebutkan alamat kau tadi" tulisnya

Aku menepuk dahi. Setidaknya ia tulis di kertas. Dimana rumah kau?. Bukannya malah keliling-keliling tidak jelas.

"jalan Pradana nomor tujuh" jawabku sebal

Adam tertawa ringan. Mulai melajukan mobilnya kembali. Selang beberapa menit, sudah mulai memasuki area perumahanku. Aku sudah siap-siap berpegangan agar tidak berbenturan lagi dengan dashboard.  Adam mengerem dengan mulus. Sialan.

"makasih Adam" jutekku

Ia menarik pergelangan tanganku saat aku akan membuka pintu. Ia mulai menuliskan sesuatu.

"makasih telah membantuku kemarin" tulisnya

Aku tersenyum. Mengangguk dan langsung masuk rumah tanpa sepatah katapun.

Jangan lupa vote dan komen

Alkadam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang