Chapter 1

34 1 0
                                    

Sebenarnya, aku baik-baik saja.

Pasca kecelakaan beruntun, tanganku dipasang gips. Kata dokter, Ada tulang yang patah atau apalah. Luka-luka lainnya segera sembuh dalam hitungan hari. Aku juga sudah berpikiran positif karena, aku tahu pikiran negatif hanya membuat segalanya lebih parah.

"Bang, kecelakaan ini cuma sentilan aja ya buat lo? Lebih sakit mana dibanding waktu abang dikeroyok waktu itu?" Tanya sepupuku Yang nengokin di rumah sakit.

"Iya juga ya. Tulang hidung gue kan patah waktu itu. Tapi dihantam terus kelempar dari jendela sakit juga sih. Apalagi ini pakai acara patah segala."
Adik sepupuku itu cuma bisa ketawa sambil mainin bunga poppy Dari keranjang bertuliskan get well soon! Yang tidak terlalu berguna bagiku, seorang cowok dewasa yang baru kelempar dari mobil bersama pecahan kaca.

Keranjang bunga itu dari salah satu tanteku yang masih muda, tinggal di Bandung dan bekerja sebagai desainer sehingga tidak tahu betapa keranjang bunga poppy merah memakan tempat di kamar rumah sakit dan tidak membantu nyeriku.

Kecelakaan ini adalah kehancuran keduaku setelah dikeroyok waktu kelas 6 SD oleh 7 anak. Hidungku patah, sekujur tubuh lebam. Tapi setidaknya tidak patah tulang lengan. Aku benci kondisi ini. Membuat ketakutanku bertambah.

Kuberitahu kau, aku memiliki ketakutan mutlak akan kehancuran dan cidera yang terlihat pada tubuhku. Menumbuhkan rasa tidak aman saat melihat orang bergerombol atau orang kekar, dan kini, pada mobil bak bersupir kekar.

Ketakutan itu, menurut Lily, sahabatku dari kecil, bila dibiarkan akan menjadi trauma yang berbahaya. Karena itu, aku harus mengurangi beban pikiran karena kejadian yang terjadi padaku. Aku bahkan menyebutnya "kehancuran" karena aku ingat bahwa diriku hampir hancur karena ulah manusia.

Aku tidak punya banyak teman. Selama di rumah sakit, hanya sepupuku dan Lily yang menjengukku setiap hari. Mereka berdua adalah penjenguk favoritku karena tante-tanteku selalu mengasihaniku setiap mereka kemari. Lily dan sepupuku, selalu bercanda denganku dan menyebut kehancuranku adalah suatu keberuntungan karena tidak ikut ujian masuk SMA serentak.

Sebulan setelahnya, ketika aku baru mencoba menggerakan tangan kiriku yang dilepas gips, orangtuaku datang dan mengabarkan bahwa mereka sudah mendaftarkanku ke suatu sekolah di kotaku melalui jalur raport.

Sistem yang tidak kuduga sebelumnya akan berhasil. Kemungkinanku diterima cukup kecil kalau lewat jalur raport. Tapi, karena aku baru saja mengalami kecelakaan tragis, aku hanya bisa berdoa sambil sesekali meringis karena tulangku belum tersambung sempurna rupanya.

Seminggu kemudian, muncul kabar di internet, aku diterima di sekolah swasta tersebut. Aku berteriak.

Kabar tersebut kudengar saat sepupuku baru saja berebut jaga di rumah sakit dengan Lily. Mereka berdua akhirnya pulang karena menganggap aku sudah baik-baik saja.

Here Comes the NewsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang