Chapter 3

12 0 0
                                    

Senior rambut cepak mengguncang bahuku.

"Kalau dia beneran koma...gimana?"

"Rumah sakit dekat sini?"

"Nggak mau ah! Nanti gue dituduh penganiayaan lagi!"

Suara berisik mereka membuatku bangun dengan terpaksa, bangkit bertumpu pada siku, sementara angin sore bertiup pada lebam di pipiku.

Ada tiga orang di depanku. Si senior cepak, orang kekar yang tadi kulihat sebelum pingsan, dan seorang senior berambut disisir ke belakang dan terlihat rapi. Pemandangan yang berbeda.

"Gue yakin meski muka lo bengkak tapi lo masih bisa berdiri. Cepetan!" Seru si senior kekar sambil berpegangan pada tongkat baseball.

Aku berdiri. Senior cepak mengernyit melihat lebam di pipiku, senior yang memegang baseball bat menjaga jarak denganku, senior rambut sisir belakang mengamatiku lamat-lamat.

"Jadi gini dek. Maafin gue ya!" Senior kekar menyodorkan tangan kanannya. Baseball bat terjatuh ke rumput.

"Terima aja maafnya, Ris. Si culun ini tadinya tuh ngincar anak ini nih, berniat nyamperin anak ini!" Senior cepak menunjuk senior rambut sisir belakang.

"Iya. Tadinya gue ada urusan sama anak ini. Gue cari dia keliling sekolah. Soalnya di asrama nggak ada. Eh, gue lihat bayangan lo di tangga gedung 1. Gue kira dia, ternyata elo. Anak baru. Gue bahkan nggak kenal siapa lo, tapi udah membabi buta ngehajar lo." Kata senior kekar.

"Jadi. Nama lo siapa?" Tanya senior sisir belakang.

"Aris." Jawabku.

"Oh, oke. Gue Ryan. Si cepak ini Ello. Cowok kekar itu Alam." Terangnya.

Mereka semua bukan nama asli, kecuali Ryan. Dia masih berteman denganku sekarang. Yang lainnya, aku udah lost contact sama mereka. Termasuk Sal. Si sarkastik teman baikku. Aku harap, mereka masih orang baik dan menuruti hukum yang berlaku.

"Maaf ya, si Alam teman kita anaknya sumbu pendek. Lihat orang yang mirip Ryan, main ayun aja ini baseball bat!" Seru Ello. "Tapi ya, si emosional ini teman kita. Dan sekarang dia kan juga teman lo, Ris. Sesama teman harus saling mengerti!"

Hm, kalo si Alam sumbu pendek, si Ello ini anaknya doyan menyimpulkan sendiri. Sejurus aja argumennya. Kalo Ryan? Kayaknya dia mangsa buat anak-anak kayak Alam deh.

"Kita disini kelas 3 ya, Ris. Jadi, kalo lo temanan dekat sama kita, anak-anak baru sok jago macam-macam, lihat aja." Kata Ello. Tuh, kan. Menyimpulkan sendiri lagi.

Aku terduduk di tanah sepeninggal mereka. Memegangi lebam, berpikir untuk minta es batu ke dapur asrama untuk lebam ini. Padahal, aku nggak tahu pengobatan yang benar untuk luka kayak begini. Ya sudah lah, ya.

****

Malamnya, aku tiduran di kasur sambil mainin iPod. Tidak aku gunakan. Di kamar ini ada dua kasur tingkat, aku berbagi dengan Sal. Aku diatas, Sal di bawah. Tapi, saat itu aku lagi malas gerak jadi memutuskan untuk tiduran di bawah.

Sal tiduran di atas, di pinggir kasur hingga aku bisa lihat kakinya bergelantungan. Duduk memeluk tiang kasur, Sal lagi membaca komik laga milik kakak kelas yang ditinggalkan di lantai. Mungkin dia nggak ada kerjaan selain main HP dan mendengarkan lagu.

"Jadi, lebam di pipi lo itu akibat kakak kelas berbadan kekar yang berniat ngehajar kakak kelas lain tapi salah sasaran?" Tanya Sal.

"Iya. Anehnya, musibah itu malah bikin gue kenalan sama tiga senior yang kelihatan--berkuasa."

"Lah? Kayak gimana ciri-cirinya?"

Here Comes the NewsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang