Kelas di pertukaran jam pelajaran seperti kandang sapi di peternakan. Sudah panas, pengap, dan murid-muridnya tidak bisa diam. Ivan bergerak mendekati kursiku, sementara Sal tetap di tempatnya, mendengarkan lagu dengan headset.
"Habis ini jam Pak Karno." Terangnya. "Gue lupa beliau ngasih PR atau nggak." Tutur Ivan.
"Nggak, Van. Tenang aja." Aku menjawab.
Beberapa saat kemudian, Pak Karno masuk kelas. Dia tidak memperdulikan dua siswa yang sedang tes kekuatan dengan bergulat dilantai kelas. Dia cuma komentar, "kok kelasnya pengap. Buka dong jendela nya."Kelas pun dimulai. Pak Karno menerangkan dengan gaya "semau gue" nya. Dia bahkan nggak terlalu detail membahas peristiwa kecuali kalau ada yang bertanya.
"Kelas selesai. Capek gue." Katanya bertepatan dengan bel istirahat berbunyi. Anak-anak segera berhamburan keluar kelas. Aku juga, bersama dengan Ivan dan Sal. Begitu melewati pintu, aku yang berdampingan dengan Pak Karno, ditepuk.
"Gimana klub jurnalistik?" Tanya Pak Karno.
"Belum tahu pak. Hari ini pertemuan pertamanya." Jawabku.
"Nggak nyangka saya masih ada yang mau masuk klub jurnalistik. Asal kamu tahu aja, nak Aris....mungkin kamu akan mendapat sesuatu yang nggak kamu duga di klub jurnalistik." Paparnya. Lalu, berjalan melewatiku.Ivan dan Sal bertatapan, heran.
"Sesuatu yang nggak Aris duga itu apa?" Tanya Ivan, penasaran.
"Nggak tahu. Beliau emang....ya, meskipun nggak terlalu, agak nyentrik. Jadi kita nggak bisa duga, pernyataan apa yang bakal dia kasih." Komentar Sal.
"Tapi secara logisnya, sekolah tertutup. Klub Jurnalistik. Klub yang menggaungkan kebebasan pers. Dengan sistem seperti itu, nggak mungkin Aris bisa bergabung tanpa suatu pengalaman yang.... extraordinary." Dia ngomong lagi.Aku terperangah, sampai nggak sadar kalau tadi kami akan menuju ke kantin.
Sesampainya di kantin, Sal dan Ivan mengantri tukang batagor, sementara aku ijin ke toilet. Aku ingin mengganti perban di pipiku.
Setelah keluar dari toilet, aku segera bergabung dengan Sal dan Ivan. Aku sedang tidak ingin makan. Aku hanya duduk di meja yang sama dan menyimak obrolan mereka.
"Lo makan dong, Ris. Hari ini kan pertemuan pertama klub jurnalistik? Lo harus ada tenaga." Kata Ivan sambil menuangkan nasi goreng dari piringnya ke piring kosong di depanku.
"Makasih, Van." Kataku sambil menyendok nasi goreng yang Ivan berikan.
"Lo udah jadi mama keduanya Aris ya." Komentar Sal sambil menyendok batagor. Ivan cuma menimpali sambil ketawa."Nggak apa. Enak punya mama kayak Ivan. Sering-sering nunjukin perhatian ke gue kayak gini, dong." Kataku, bercanda. Kita bertiga ketawa barengan.
Beberapa meja dari kami, terdapat beberapa mata yang memandang kami. Bukan pandangan normal, lebih ke pandangan curiga, penasaran, tertarik, meneliti, atau memantau sesuatu.
Tapi setelah makan, kami bertiga langsung pergi dari situ, dan selama perjalanan ke kelas, tidak ada percakapan yang berkaitan dengan hal itu.
Pelajaran demi pelajaran berlangsung. Bel pulang berbunyi di sekolah paling tertutup se Indonesia ini. Murid-murid berhamburan keluar kelas. Extracurricular day.
Aku melangkah ke gedung sayap kanan sekolah. Menaiki tangga menuju ruang jurnalistik. Kulirik robekan peta sekolah yang kudapatkan dari anak sekelas. Benda ini membantu juga, walaupun aku yakin tidak akan mengeksplor seluruh bangunan sekolah. Setidaknya, aku bisa menemukan ruang jurnalistik.
Jurnalistik mungkin ekskul ter membosankan yang bisa kau bayangkan. Apalagi, ini sekolah laki-laki. Jurnalistik adalah ekskul terakhir yang akan kau pilih disini. Akan tetapi, entah mengapa aku tidak peduli image ku jatuh berserakan di lantai bila aku bergabung dengan ekskul ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Here Comes the News
Ficção AdolescenteMenjadi yang paling sempurna di lingkungan yang tidak sempurna adalah suatu ketidaksempurnaan. Rasanya, aku ingin lari dari kenyataan Bantu aku untuk DO dari sekolah neraka ini.