Aku sudah membayangkan pertengkaran di bawah tanah asrama, seperti yang sering ku dengar dari sekolah-sekolah negeri di SMP. Anak-anak baru disuruh melawan senior satu-satu, lalu pertengkaran itu menentukan siapa yang terkuat.
Eh, kayaknya benar, deh.
Dari telepon umum, aku mengikuti anak-anak berwajah napsu berantem itu menuju ujung lorong, dimana cleaning service aja malas membersihkan sampai sana. Lorongnya remang-remang, suasananya spooky, bahkan cleaning service abis naruh kain pel di ruang janitor langsung lari terbirit-birit saking takutnya.
Lalu, baunya. Aromanya lembab seperti gudang. Ruang janitor adalah ruangan berpintu kayu lapuk nan reot dengan isi yang berantakan;alat-alat kebersihan berserakan sana-sini, bau karbol dan pengharum ruangan bercampur dengan bau gudang dan udara pengap seperti rumah yang lama kosong.
Anak-anak itu menerobos tumpukan alat kebersihan dengan rusuh. Mereka mendorong dinding janitor dengan gaduh, sampai dinding itu terbuka dan memunculkan bayangan puluhan anak tangga ke bawah, suara teriakan laki-laki, dan orang-orang bersorak.
Kami menuruni anak tangga, sampai ke bawah, mataku menangkap wujud dua orang anak sedang bergulat dibawah remang lampu neon ruang bawah tanah. Yang lainnya sibuk mengerumuni, antusias. Aku melihat disitu ada Alam, menonton sambil sesekali berkomentar. "Bagus juga anak ini. Pertahanannya jelek tapi cara menangkis serangannya lumayan."
Aku menelan ludah. Kerumunan anak yang tadi kuikuti menarik tanganku untuk ikut ke depan kerumunan, agar bisa melihat pergulatan dengan lebih baik. Kulihat si anak kelas 1 terdorong ke dinding, setelah dihempas senior di depannya. Tapi, dia belum kalah.
Kata anak kelas 1 yang ikut bersamaku--teman baruku, kita baru dinyatakan kalah bila 15 detik tidak bangun. Dan bisa ditentukan siapa yang menang. Dan itu tradisi. Dan setelah "tradisi" ini, tidak siapapun berhak menaruh dendam pribadi atas kekalahannya ataupun berlaku semena-mena atas kemenangannya. Cerita anak itu.
Senior yang barusan menghempas kekar banget, bahkan ketika berjalan langkahnya berdebum. Urat di kepalanya bermunculan seiring ia mendekati junior yang skak mat; lantas meraih tangannya.
"5! 4! 3! 2! 1!!!" Seru penonton. 15 detik sudah. Junior itu kalah dan senior itu menang. Mereka berjabat tangan. Si senior bahkan masih melempar candaan, "maaf ya, tadi gue pukul perut lo. Abis lo lengah sih. Eh, mual nggak?"
Si junior cuma tersenyum getir. "Suatu kehormatan, bang, untuk berantem lawan abang."
Dan mereka keluar arena, bersimbah keringat, berangkulan, diiringi tepuk tangan penonton.
"Selanjutnya!" Seru Alam. "Siapa yang mau!?"
Para junior saling pandang. Aku yakin, walaupun mereka semua sok jagoan, tapi dalam hati kecil mereka masih anak cowok yang penakut dan takut memar. Aku sih udah kebal. Tapi malas juga berantem kayak gini, satu lawan satu gini.
"Yang pipinya lebam aja tuh." Salah seorang anak menunjukku. Hah!?
Aku tidak menyangka Alam tiba-tiba muncul membelaku.
"Jangan. Dia udah berantem sama gue, sebelum kalian semua tahu. Pipinya lebam, gara-gara gue." Tutur Alam.Aku menelan ludah. Riuh suara para junior ngomongin aku. Sana-sini, menyebut kalau aku hebat, cuma lebam doang ketika melawan Alam yang kesannya paling liar.
"Mending lo balik ke kamar lo, Ris. Lo udah sakit kayak gitu, istirahat aja. Setelah lo ke bawah, lo lihat kan, bahwa lo yang paling nggak cemen dibanding junior lainnya? Cuma lebam, coy. Gila sih." Karang si Alam.
Aku berbalik, tanpa mendengar suara-suara dari belakang. Aku berlari menaiki anak tangga, menuju lantai LG, lalu ke kamarku, di lantai dua.
****

KAMU SEDANG MEMBACA
Here Comes the News
Roman pour AdolescentsMenjadi yang paling sempurna di lingkungan yang tidak sempurna adalah suatu ketidaksempurnaan. Rasanya, aku ingin lari dari kenyataan Bantu aku untuk DO dari sekolah neraka ini.