07

32 5 4
                                    

Hari demi hari berganti. Segala apa yang Dinda lakukan tak membuahkan hasil. Terkadang hal itu membuat Dinda berpikir, kenapa sih? Kok aku nggak bisa jadi kayak orang-orang, suka sama seseorang terus perasaannya terbalas, kenapa?

Namun lagi-lagi pertanyaannya terjawab, oleh qoutes yang dia temukan ditimeline dan instagram yang menyatakan bahwa mungkin belum waktunya.

Lantas Dinda kembali berpikir, jadi kapan?

Ya, jadi kapan? Apakah Dinda harus terus-terusan menunggu seperti ini? Mengagumi dari jauh, dan mencintai dalam diam. Lalu kapan Dinda akan menemukan sosok seperti yang dia inginkan? Sosok yang seperti sering Dinda baca diinstagram? Bukannya apa, tapi Dinda kan juga ingin yang seperti itu.

Dinda juga hanya cewek biasa, sama seperti yang lainnya. Yang suka dengan hal-hal romantis dan perlakuan spesial dari seseorang.

Sedangkan Adnan, meliriknya saja tidak. Bahkan mungkin Adnan tidak tahu kalau Dinda itu ada. Ya sudahlah, mungkin memang benar, belum waktunya.



Bulan april. Bulan yang paling Dinda nanti, sekaligus Dinda takutkan. Bulan april, hari perpisahan kelas dua belas. Terakhir bertemu Adnan dan teman-temannya. Pertemuan, perbincangan singkat dan foto bersama untuk pertama kalinya disana. Disebuah ballroom hotel.

Seluruh murid kelas sepuluh dan sebelas menggunakan baju berwarna senada, karena sudah ditentukan dresscode-nya. Begitu tiba dihotel, Dinda bertemu Adnan dan teman-temannya menggunakan jas dan medali berlambang sekolah mereka.

Dinda tidak sanggup, sepanjang acara hanya rasa khawatir dan perasaan kehilangan yang Dinda rasakan. Tidak sanggup, atau belum bisa sepenuhnya ikhlas melepaskan kelas dua belas.

Satu tahun bertemu Adnan, itu sudah lebih dari cukup, bukan? Ya harusnya begitu.

Lagipula mau bagaimana lagi? Adnan lulus dari SMA juga demi masa depan. Adnan akan melanjutkan kuliah, dan meninggalkan masa putih abu-abunya. Dan melupakan Dinda, atau mungkin sama sekali tidak pernah ada diingatannya. Miris.

Tepat pukul empat sore, acara hampir selesai. Semua orang bersuka cita berfoto dan berpelukan. Hari sudah semakin sore, Dinda memutuskan untuk pulang. Sembari menunggu jemputan, Dinda terus berpikir.

Benarkah ini sudah berakhir? Jadi, hanya sampai disini? Disini, dihotel ini, pada hari ini, perpisahan kita—atau mungkin hanya aku yang merasa kita berpisah padahal kamu tidak.

Hampir-hampir Dinda menangis karena lamunannya sendiri. Langit semakin sore, matahari bersinar tepat menghadap Dinda. Menunggu setidak enak itu, bahkan untuk menunggu jemputan sekalipun.

Apalagi ketika kita sudah menunggu, ternyata yang ditunggu tidak datang. Justru pergi, lalu menghilang. Hanya bisa dikenang, dilihat fotonya yang rapi tersimpan digaleri.

Dinda menangis, malamnya. Menggeser layar ponselnya lalu menatap wajah-wajah tampan dengan senyum merekah diwajah mereka. Adnan dan teman-temannya. Bahkan Dinda sedih ketika melihat fotonya bersama kakak kelas perempuan. Semuanya begitu terkenang.

Jadi, untuk semuanya, selamat berjuang, semoga sukses. Semuanya. Tunggu, tunggu kami, adik-adik kalian akan menyusul keberhasilan kalian.

Dan buat para pembaca, yang sudah lulus—semoga rindumu pada seragam putih abu-abu itu dapat terobati, lihatlah kembali foto-foto yang tersimpan digaleri.

Buat yang masih menggunakan seragam itu—tetap semangat, nikmati masa-masa ini, karena putih abu-abu tak akan terulang kembali.


•••


Duh maaf guys nggak ada dialognya. Jadi ini tuh semacam dear diary aja gituuu. Jadi cuma curahan hati aja yach, karena emang pas bagian ini nggak ada spesial-spesialnya kok sama Adnan atau yang lain. Paling yaaa cuma fotbar aja hehe, fotonya masih ada kok dihp ku. Gausa diliat lah ya, yaiyalah buat apa juga. Yodah, bubye:3

It's YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang