Genre: Abstract Surrealism | Jumlah kata: 1877 | created at -
Di kota orang mati, bus-bus berhenti di persinggahan menurunkan roh-roh baru. Kloter pertama di bulan Maret memuat 20.319 jiwa. Halte berjejer di sepanjang jalan seperti peron. Tubuh-tubuh lesu melewati garis kuning, pintu kaca, dan ruang tunggu serba putih yang terbuat dari stainless steel. Roh-roh memutar kepala ke atas, bawah, kiri, dan kanan: dengan mulut terbuka, mata hampa mencerna ingatan, dan tubuh bungkuk bekas ditenggeri tanggung jawab.
Tidak jelas mereka sedang kagum, takut, atau bingung. Kedua kaki mereka yang ringkih, gendut, bersepatu, tanpa alas, celana panjang, rok, berkaos kaki, dan berterompah terseok-seok menuju pintu keluar. Seperti mainan mekanik yang telah diputar tuasnya, melangkahi roh tanpa kaki-tangan dan gelandangan tanpa merasa sungkan.
Di kehidupan, ini adalah pemandangan awal hari menjemukan. Berangkat dari rumah, berjejalan di bus kota, berebut pintu keluar, dan membuang umur di balik kios pulsa, warung, PR anak-anak, sapu pel, dan meja kantor. Tetapi di kota orang mati, ini adalah permulaan menerima kenyataan. Mereka kembali untuk mengulang, meresapi anugerah Tuhan lepas dari duniawi, dan bersiap-siap ke gerbang penghakiman.
Di sini mereka belajar merelakan. Bunuh diri berkali-kali, menangis setiap malam, dan tertawa sambil menghantamkan kepala ke tiang jalan. Penyesalan mereka berbentuk. Seorang pria memiliki sangkar burung yang mengelilingi kepalanya. Di dekat pot asoka seorang wanita tengah menyusun puzzle kulit di tangan dan perutnya. Sementara anak kecil yang terakhir keluar dari bus menggenggam dua buah balon serupa kepala kedua orang tuanya.
"Lewat sini, silakan." Aku mengayapukan tangan ke luar, menuntun roh tersesat dan menggandeng lansia yang dadanya ditikam sepotong tangan bercincin kembali ke jalan. Di luar petugas-petugas berseragam biru muda membagikan formulir sambil tersenyum. Isi kertas itu berupa biodata, hal apa yang bisa mereka kerjakan, dan kenapa harus secepatnya masuk gerbang penghakiman. Neraka hanya hukuman ribuan tahun, sementara surga tempat tinggal untuk selamanya.
"Jangan takut masuk perapian. Dengan dibakar, semua rasa bersalahmu akan jadi abu dan kau suci seperti semula," terangku. Lansia itu mengangguk dan tangan di dadanya mengatup meninju jantung.
"Aku ingin minta maaf," tuturnya.
"Maafkan dirimu dulu, Pak Tua." Aku menjauhkan tangan di dadanya dari menghantam rusuk, lalu menggenggam cincin-cincin tersebut berikut kerapuhan terakhirnya. "Gerbang hanya dibuka untuk mereka yang ikhlas."
Pak Tua itu menangis, derai air mata, dan deguk kerongkongannya kulepaskan ke jalan yang lengang. Tubuhnya terus bungkuk sampai dagunya nyaris menyentuh lutut. Ia menyeret langkah, menyusuri zebra cross, dan menghilang di jembatan penyeberangan.
Petugas-petugas itu, aku, atau kami tidak bernama. Setelah halte sepi, kami mengambil pel dan mengelap percikan darah, bola mata, gigi, dan serpihan kuku. Membuat halte kembali mengilat untuk kloter selanjutnya. Atap kaca memberi pencahayaan alami dari matahari di balik awan. Mendung cuaca abadi di sini, tanpa hujan dan badai. Malam dan pagi hanya perbedaan intesitas terang ke gelap. Suasana sempurna berkontemplasi.
"Permisi Pak, seharusnya Anda ke kota sekarang." Ujung pelku membentur sol sepatu laki-laki tersebut. Ia duduk khidmat sambil menundukkan kepala dan mendekap tangan. Tertidur. Kerah mantel dan topinya tidak memberi pemandangan jelas akan wajahnya.
Tetapi laki-laki itu tetap geming. Aku mendekat dan membuka topinya. Wajah yang halus, tidak ada raut penyesalan, dan di balik mantelnya tersembunyi seragam biru muda. Jangan-jangan .... Aku mengoyak kancing mantelnya, mendapati tubuh salah satu dari 'kami' terbaring lunglai dan tidak merespons.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjemput Kematian [Kumcer] [TAMAT]
Short StorySetiap sudut punya kepingan cerita: di bawah lampu jalan, tiang gantung, dan kepompong pecah yang meneteskan luka.