Mawar Putih

439 94 16
                                    

Genre: Drama | Jumlah kata: 1847 | created at -


Hal ini membuatku kesal setengah mati. Bunga-bunga itu tidak tumbuh seperti yang kuharapkan. Aku mau yang warnanya putih, mulus dan tidak bernoda. Tetapi yang kudapatkan justru berwarna merah, bercak-bercak hitam, dan kusam. Tidak ada satu pun yang putih bersih.

Jadi kubuang lagi semua bunga-bunga tersebut. Menggemburkan tanah di pekarangan, memupukinya, dan menaburkan benih dari mawar berwarna putih. Kali ini pas. Bibit yang kubeli pasti tidak salah. Tanahnya pun tidak tercemar sampah dan pupuk-pupuknya berkualitas karena berasal dari kotoran hewan yang tinggal di daerah bebas polusi. Seharusnya bunga-bunga ini berhasil tumbuh lebat, tinggi, putih dan sempurna.

Sampai berminggu-minggu kemudian, bunga yang tumbuh justru berbintik-bintik merah dan kusam seperti susu basi. Aku langsung marah dan menghancurkan taman kecil tersebut dengan sekop. Kuinjak bunga-bunga gagal tersebut. Kutendang ranting-ranting berdurinya. Mencabuti tanaman-tanaman laknat tersebut dengan kasarnya. Aku tak peduli pada luka yang dihasilkan, duri-duri berhasil menembus kulitku. Menggoresinya, bahkan menempel seperti lintah yang muntah di ujung satunya. Terus berdarah.

Aku berbaring di tengah taman yang rusak. Menatapi mendung siang yang tidak panas. Kenapa aku selalu gagal menanam bunga berwarna putih? Kenapa hanya ibu dan kakak perempuanku yang berhasil. Lihatlah, bunga yang mereka hasilkan benar-benar putih sempurna. Entah sihir apa yang dimasukkan. Orang-orang dari kota sampai rela antri demi bunga dari mereka berdua. Apalagi tersiar kabar bahwa mawar putih tersebut tahan lama dan mampu hidup hingga seribu tahun lamanya. Membuat bunga-bunga plastik buatan pabrik tersingkir saat upacara pernikahan dan pemakaman berlangsung. Semua orang memilih bunga dari kebun ibu dan kakakku. Semua orang menyukai mereka. Semua orang membutuhkan mereka.

Maka tinggallah aku di sini, sendirian. Hidup merana dengan pekerjaan menjemukan sebagai pegawai kantor biasa di balik meja dan komputer. Aku bosan pada dokumen dan berkas yang yang harus diisi. Begitu jengah pada wajah-wajah kantor yang sama lelahnya sepertiku. Mereka tak bahagia. Mereka tak bergairah. Lalu kulihat foto berbingkai kayu cendana di atas meja kerjaku, kakak dan ibu tersenyum lebar sambil memegangi sebuket besar mawar putih yang indah.

Aku iri. Iri pada kebahagiaan mereka. Iri jua pada usaha mereka yang seolah mendatangkan berkah dan juga uang dengan cara menyenangkan. Seakan mereka dibayar untuk hobi yang takkan jemu mereka lakukan.

Jadilah aku resign dari kantorku. Keluar mendadak setelah ijin sakit satu minggu lamanya. Biarlah aku dimaki-maki. Toh, telingaku sudah kebal akan makian diriku sendiri yang tiada artinya.

Sampai kucoba berkali-kali menanam bunga, aku terus gagal. Gagal dan gagal. Kupikir gagal sepuluh kali, akan membuahkan kesuksesan. Namun nyatanya salah, aku lagi-lagi gagal dan terus-menerus gagal. Ini lebih menyebalkan ketimbang disuruh bolak-balik mengisi dokumen dari meja kantor ke ruang bos.

Maka untuk pertama kalinya, setelah sekian tahun kabur dari rumah. Aku pulang ke tempat masa kecilku yang sederhana—rumah ibu—yang dikelilingi taman mawar putih. Semerbak harumnya bahkan sudah menyambutku yang baru sampai di gerbang. Taksiku pergi tak lama setelah aku turun dan membayar. Rasanya seperti memanggil kembali ingatan masa lalu.

"Sekarang jaman modern. Jualan bunga gak akan ngehasilin apa-apa. Ibu kolot!" Kudengar suara remajaku memaki dari pintu rumah. Sakit akibat ditusuk duri terus menjalar sampai ke jantungku. Mungkinkah aku sudah durhaka dan dikutuk Tuhan hidup menderita?

Aku ketuk pintu dari kayu ulin tersebut tiga kali. Tak berani menyatakan salam apa-apa. Terlalu takut, terlalu merasa bersalah. Seluruh tubuhku ngilu, tanganku gemetar, dan kedua mataku berkaca-kaca menahan perih yang kini menggumpal dan menyumbat tenggorokanku. Membuatku sulit bernapas dan berpikir jernih.

Menjemput Kematian [Kumcer] [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang