Genre: Thriller-Psychology| Jumlah kata: 1877 | created at -
Ada yang mencuri mimpiku tadi malam. Pencuri itu bertubuh mini. Seperti tuyul, hanya sekelebat, kemudian tidurku terganggu. Sampai pagi menjelang, aku tidak bisa memejamkan mata. Orang-orang di ruang administrasi berkata aku sedang stres bekerja, butuh liburan, butuh cuti tahunan.
"Aku tidak mau pergi ke mana-mana."
"Kalau begitu, cobalah membaca satu-dua cerita, mungkin bisa membantu."
Maka aku pulang sambil membawa satu buku kumpulan cerpen dari seorang teman. Dia bilang karya ini masterpiece, begitu unik dan berbeda. Pengetahuanku yang dangkal akan sastra tidak menganggap serius omongannya. Siapa tahu dia cuma melebih-lebihkan.
Buku itu urung kubaca segera setelah sampai di rumah. Yang ada aku justru membersihkan rumah, menyimpan benda-benda terbuang dalam satu kardus TV. Memilah-milah: jaket merah usang, sepatu berhak kusam, buku cerita anak-anak, krayon, dan barang-barang tidak berguna lainnya.
Tak lupa selimut dan seprai yang harus kuganti setiap minggu. Kebiasaan baru ini mulai kudapat sejak beberapa bulan yang lalu, ketika sebuah acara televisi menayangkan secara dekat aktivitas tungau di kasur. Aku langsung merinding dan bermimpi dimandikan jutaan tungau. Darahku habis terisap. Tetapi tungau-tungau itu tidak berhenti. Mereka masuk ke dalam sela-sela kulitku, merembetinya dari dalam, jalan-jalan di sekitar organku, menggerogoti tulangku. Hanya untuk memuaskan nafsunya sampai perut-perut tungau itu bulat sebesar buah apel merah. Pecah. Lalu kamarku banjir darah di mana-mana.
Saat aku bangun. Kudapati sepraiku benar-benar merah. Aku tidak tidur di kamar. Tetapi di dapur, dekat pintu belakang. Terdampar di atas lantai dengan tangan merah-merah seperti habis dicakar: tiga sayatan tipis yang begitu perih saat dibersihkan dengan air.
Seharusnya aku ke psikolog, seharusnya aku memberitahukan hal ini kepada keluarga atau teman dekatku. Mencari pertolongan. Nyatanya tidak, aku tetap diam dan menyimpan luka itu di balik lengan seragam.
Ini cuma efek stres. Stres yang meningkat sampai ke tahap distres. Siapa tahu alam bawah sadarku sedang berusaha melawan stres itu sendiri. Melakukan suatu koping negatif dengan menyayat tangan dan tidur sembarang tempat.
Setelah bersih-bersih, mandi, mencukur kumis dan rambut di dagu, berganti pakaian. Aku duduk di ruang tamu sambil membawa secangkir teh dan buku pinjaman salah satu staf administrasi tadi. Gerimis menjadi latar musik. Saat kubuka daftar isi, aku langsung tertarik dengan cerpen Dunia Fantasi Aya.
Paragraf pertamanya begini: Setelah mengintip rumah Tante Rina, duniaku langsung gelap gulita. Tak henti-hetinya ribuan kumbang mengejar dan membanjiri kamarku. Mereka haus darah. Mereka butuh makanan. Aku coba melawan, mengadu pada Ayah dan Ibu. Tapi kumbang-kumbang itu pintar bersembunyi. Mereka menjelma menjadi tungau seukuran ujung kuku. Menantiku tidur untuk masuk ke dalam otak dan mengendalikan pikiranku.
Aku terbelalak, bagaimana mungkin mimpiku ada di sana? Sejenak sekujur tubuhku gatal, ada rasa seolah tungau-tungau itu sungguhan menggali ke dalam kulitku sekarang. Kuhempaskan buku itu ke atas meja. Minum teh dengan gugup. Kemudian menenangkan diri dan mengambil napas panjang satu-dua kali.
Tenang.
Mungkin ini hanya kebetulan.
Malamnya, setelah mematikan lampu dan mengamati pekarangan belakang yang dihiasi sebatang pohon dan ayunan, aku tidur. Tidur dengan seprai, selimut, dan sarung bantal baru.
Malam itu aku bermimpi tentang gadis berkaki payung. Wajahnya bulat dengan bibir merah dan bulu mata yang lentik. Saat berjalan, kaki payungnya mengembang seumpama rok. Sambil jalan-jalan, gadis itu menggandeng pria berkepala mesin ketik. Setiap kali pria itu berbicara, tombol ketiknya berbunyi khas. Cetak, cetuk, ting!
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjemput Kematian [Kumcer] [TAMAT]
ContoSetiap sudut punya kepingan cerita: di bawah lampu jalan, tiang gantung, dan kepompong pecah yang meneteskan luka.