Genre: Fantasy-Drama | Jumlah kata: 1577 | created at -
Aku pernah mendengar kisah boneka yang berubah jadi manusia, tetapi dia dalam masa percobaan. Peri yang menyihirnya memberi syarat bahwa si boneka tidak boleh berbohong. Sebab, hidungnya akan memanjang dan menusuk mata pembuat boneka tua.
Untungnya tidak ada peri biru iseng mengerjaiku. Jika pun boleh meminta berubah, aku ingin jadi peti mati dan terkubur bersama manusia selamanya. Tidur di dalam tanah, terurai tenang bersama pak cacing dan bu bakteri.
"Kenapa peti mati? Seharusnya kau berharap jadi bagus lagi supaya orang berada memungutmu," kata kaleng sarden. Di tempat pembuangan sampah kami berada di puncak bukit barang-barang terbuang dan menonton manusia mengais botol plastik. Matahari semakin tinggi. Rambutku kusut dan hujan kemarin menyebabkan tanganku ditumbuhi jamur.
"Karena aku bosan dimainkan. Anak-anak kecil sering memelukku saat tidur. Membasahi sebagian tubuhku dengan liur lengket dan bau."
"Kau beruntung punya teman manusia. Aku sendiri, setelah dibelek dan isiku dituang ke teflon, langsung dibuang tanpa merasakan kasih sayang."
"Kasihan hidupmu," prihatinku tulus.
"Iya, kasihan hidup kita."
"Menjadi sampah bukanlah akhir," seru botol plastik penyok. Tubuhnya separuh tenggelam dalam plastik hitam yang sobek di pantatnya. "Selama ada pemulung, kita akan didaur ulang. Lihat saja."
"Ke mana mereka akan mengolahku?" tanya Kaleng Sarden. Kertas merek di tubuhnya sudah luntur.
"Ke tempat pelelehan besi. Kau akan diolah menjadi kaleng kembali."
"Sial. Padahal aku ingin jadi pagar atau teralis."
"Supaya apa?" tanyaku penasaran. Kaleng Sarden menoleh, "Supaya tidak dibuang dan selamanya bermanfaat."
Saat matahari semakin terik, seorang anak kecil memekik girang, dan mengangkat tubuhku dari tempat merumpi. Aku terkejut, sebenarnya. Kupikir setelah menjadi jelek dan rusak, tidak akan ada anak-anak yang mau memelukku lagi.
Anak pemulung itu bertubuh pendek dan dekil, usianya mungkin delapan, dan dua gigi serinya ompong seperti goa berongga. Kaleng Sarden menatapku sedih, mungkin dia iri karena aku lebih dulu bermanfaat tanpa melewati proses dilelehkan.
"Aku akan menyusul," teriak Botol Mineral.
****
Anak kecil itu berwajah dekil, jelek, dan bau tanah. Rambutnya lebih kusut daripada punyaku, kecokelatan, dan tipis. Dengan sabar ia mencuci dan menjemurku di belakang gubuk dekat bukit sampah. Setelah petang, aku dibawa pulang ke kamarnya, dan diperbaiki lewat jahitan kasar di tangan yang bolong serta kaki yang kekurangan kapas.
Mandiri. Anak itu memelukku gembira dan tertidur lelap tanpa mengeluarkan liur sama sekali.
Besoknya ia bangun pagi-pagi sekali, bahkan sebelum sinar menerjang dari timur. Ia mandi di kamar mandi umum dekat sungai berair keruh abu-abu. Aku ditempatkan di atas rak dekat jendela, mengamati kehidupan kecil, tempat anak-anak bermain kelereng dan menguap lebar menunggu antrian. Beberapa anak memakai seragam putih-merah. Sisanya langsung mengais botol plastik dari truk pengangkut sampah yang datang subuh buta.
Di dekatku sebuah jam dinding tua pecah bercerita: "Anak itu yatim-piatu. Ayahnya pergi ke kota besar, tidak pernah pulang. Sementara ibunya bunuh diri minum racun, mengajak anaknya, dan ke alam baka sendirian. Si anak selamat karena sempat memuntahkan racun kadaluarsa tersebut dan mengalami radang tenggorokan biasa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjemput Kematian [Kumcer] [TAMAT]
Short StorySetiap sudut punya kepingan cerita: di bawah lampu jalan, tiang gantung, dan kepompong pecah yang meneteskan luka.