Metamorfosis

644 89 76
                                    

Genre: Slice of Shit | Jumlah kata: 2238 | created at -


Lima tahun yang lalu, aku berdoa agar punya nyali kabur dari rumah. Kemudian pergi ke kota antah-berantah, terdampar di perpustakaan impian, dan melanjutkan hidup dengan mencari kerja sampingan. Lantas tersesat di tengah hutan, sendirian, dan kembali untuk hidup menjadi bayangan yang utuh.

Aku ingin jadi Kafka Tamura*, yang bebas, kuat, dan mampu menjaga idealisme sampai akhir hayat cerita. Namun, Kafka yang merasukiku adalah Kafka* yang berubah jadi kumbang di hari pertamanya bekerja. Dengan keluarga cengeng, manajer kantor galak, perut mengeras, dan delapan kaki kelayapan mencari oksigen segar.

Aku terhimpit, binasa dalam kekosongan yang mencengkeram.

Satu-satunya yang tersisa adalah kenyataan bahwa aku masih hidup, dan butuh makanan mengisi perut. Jadi, aku pergi membeli nasi goreng di depan kompleks. Menemui penjualnya yang lelah dan gelap dibakar radiasi kompor gas. Kedua tangannya kekar berurat, lincah mengayun-ayunkan wajan sembari mengaduknya, dan menaburkan bawang putih, garam, gula, micin, kecap, minyak ikan, dan gilingan bumbu dari rumah.

Aroma nasi goreng mengusik: manis dan gurih. Sementara di atas, langit menggelap. Gemerlap kota telah memakan bintang sampai ke bulan. Di sisi jalan raya, dua-tiga perempuan seumuranku menguap, berusaha mati bosan dengan duduk tidak bergerak. Menunggu angkot di halte reyot yang sebentar lagi rubuh didorong cuaca.

Setelah bertahun-tahun mendulang jenuh, aku sampai ke titik tidak peduli lagi pada pencapapian apapun. Lulus kuliah, mengambil profesi, melamar kerja sebagai staff administrasi rumah sakit. Dari tukang ketik, sampai pengawas ruangan.

Aku tidak tahu kenapa pagi jadi lebih berat. Gorden jendela melambai lemah. Cahaya membias pudar dari ventilasi, tajam menusuk. Seperti pilar transparan yang berdebu dan menunggu disentuh. Dan aku bangkit, benar-benar menggapainya ke tangan. Hampa. Tidak ada yang kudapat selain nihil.

Telapak tangan kananku menutup-terbuka dalam upayanya meraba udara. Kosong. Tatapanku menjurus ke depan, ke kaca rias yang menampakkan manusia kurus bermata kelabu. Rambutnya pendek acak-acakan. Salah satu tali penyangga baju tidurnya melorot, menampakkan tulang selangka yang menonjol.

Seluruh daya hidupnya lepas seperti disedot peri ke Wonderland. Dibawa mengelilingi api unggun, terbang mengitari pulau, dan melempari Kapten Hock dengan buah-buah busuk. Mengusirnya jauh dari negeri di mana anak-anak-tidak-akan-pernah-dewasa. Sebab, menjadi dewasa adalah kutukan.

Menua bagiku seperti kehilangan kesempatan untuk tersenyum dan bersenang-senang. Dulu kita hidup tanpa ekspektasi, dibiarkan bebas tanpa beban menggunung. Sekarang, semuanya serba dikejar waktu. Pagi sampai jam tiga bekerja. Sisanya habis di jalan untuk pulang. Lalu mendekam di kamar, menonton film atau membaca novel. Mengulang rutinitas yang sama untuk esok. Menelpon seorang teman demi menghilangkan bosan. Bekerja lagi. Aku minta tolong, apakah ia mau mendengarku? Kubawa bekal berlebih saat ke kantor. Kami bekerja satu shift. Selepas istirahat, kuberi ia bekal berlebih. Kuceritakan bosan yang melingkupiku. Lalu pulang berdua, kami menyerong ke taman alam Nyaru Menteng.

Sore masih menjajah. Hutan-hutan hening di atas kepala, membisu. Tidak ada angin sepanjang kaki memijak tangga naik ke bukit Tangkiling. Melewati kebun Anggrek, kandang buaya, dan sekolah orang utan dari jauh. Temanku kesenangan, ia memintakan foto berkali-kali dirinya dengan patung raksasa orang utan jantan setinggi tiga meter. Di depan aboretum kami berhenti. Menerobos tirai yang menyerupai akar gantung beringin. Di dalam ada sederet bangku dan film dokumenter yang diputar berulang.

Orang utan ditangkap warga. Orang utan diburu pemangsa. Orang utan kehilangan habitat. Orang utan ditembak pemburu. Hutan terbakar, asap mencemar, orang utan pergi ke tepi sungai di atas dahan-dahan tipis menyelamatkan diri. Berteriak minta tolong, melambaikan tangan ke atas, panik. Mereka menceburkan diri satu-satu ke air. Anak-anak orang utan tenggelam, mati mengambang.

Menjemput Kematian [Kumcer] [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang