Hear you

825 75 11
                                    

Iman membuka matanya perlahan, dia berusaha menyesuaikan penglihatannya dengan cahaya di ruangan. Ketika matanya terbuka lebar, dia menatap seraut wajah tertutup hijab. Iman memejamkan matanya sekejap lalu membukanya lagi. Meyakinkan penglihatannya.

" Hanifa.."

Suara pelan Iman membuat gadis di depannya tersenyum. Gadis itu mengangkat tangannya lalu membuka kain penutup kepalanya yang ternyata begitu lebar.

" Aku baru selesai Shalat. Kau pasti belum Shalat Isya ya Bang?"

Iman tersenyum kecut. Dia kemudian menggeleng. Badannya bergerak seolah hendak bangun dari tidurnya. Namun,  Shanum mencegahnya dengan menahan lengan Iman. Pria itu kembali merebahkan tubuhnya.

" Nanti saja, kalau Abang sudah lebih baik. Abang kenapa sih, sampai maag nya kambuh gitu?"

Shanum menatap Iman. Tangannya mengambil sebuah mangkuk yang ada di meja dekat tempat tidur.

" Makan dulu ya, Bang. Lalu minum obat. Tadi aku meminta Fandi membelikan bubur untuk abang di depan. Biar aku suapi."

Gadis itu mengangkat sendok berisi bubur di depan mulut Iman, pria itu tidak menolak. Dia menyuap bubur itu, mengunyah sebentar lalu dengan cepat menelannya. Shanum tersenyum menatapnya.

" Bang, belum jawab pertanyaanku tadi?" Tanya Shanum pelan.

" Pertanyaan, yang mana?" Tanya Iman setelah menelan buburnya.

" Kenapa Abang bisa sakit seperti ini?"  Tanya Shanum. Tangan halus gadis itu mengusap lengan Iman.

Iman sedikit terbatuk. Shanum tanpa sadar segera mengambil segelas air dan meminumkannya. Lalu dia mengambil tissue dan melap mulut Iman yang sedikit belepotan. Iman menahan tangan Shanum dan seolah baru tersadar Shanum menarik cepat tangannya. Dia terlihat salah tingkah. Wajahnya yang segera tertunduk bersembarut merah jambu.

" Aku ingin kau melakukan ini semua setiap hari, aku ingin kau mau menjadi istriku. Aku bingung kenapa kemarin kau pergi. Bukankah kau tahu, minggu depan kita akan menikah dan kau sudah menerimanya. Aku sakit karena memikirkanmu."

Shanum masih terdiam. Ada isakan lirih terdengar. Iman menatapnya.

" Hanifa, tataplah aku. Jangan menunduk seperti itu dan jangan menangis. Aku bingung ada apa ini. Kau kenapa?"

Suara cemas Iman sedikit meninggi. Shanum memejamkan matanya lalu memberanikan diri menatap pria di depannya. Air mata masih merebak dan bergulir di pipinya. Iman tanpa sadar menghapusnya, lalu cepat menarik tangannya.

" Ya Allah, maaf. Aku tidak kuat melihatmu menangis."

" Bang, tolong abang jawab dengan jujur. Apakah Abang sungguh sungguh mencintaiku dan menginginkanku untuk menjadi istrimu?" Tanya Shanum sambil menatap lekat mata pria dihadapannya.

Iman mengangguk cepat sambil merubah posisinya sehingga duduk dengan tegak.

" Aku mencintaimu, Hanifa dan aku menginginkanmu menjadi istriku. Di dunia dan akhirat. Aku menginginkan kaulah yang menjadi ibu dari anak anakku kelak."

Iman menatap Shanum yang juga sedang menatapnya. Mata bening gadis itu beriak. Iman suka sekali melihatnya.

" Aku hanya ingin kamu saja yang menemaniku, membuka pagi hingga melepas senja. Menenangkan malam dan membagi cerita. Aku hanya ingin kamu, Hanifa. Bukan yang lain.” Ucap Iman tulus. Shanum tersenyum.

" Walaupun aku tidak sesuai dengan gadis impianmu, walaupun aku yatim piatu dan tidak mengenal orang tuanya dan walaupun aku gadis liar yang sering bepergian dari sebuah acara ke acara hanya untuk mendapatkan uang untuk menyambung hidupku?"

Ucapan Shanum sedikit berapi, Iman dapat merasakannya. Dia akhirnya tahu, pasti ada seseorang yang mengatakan itu semua. Dengan senyum Iman menatap Shanum.

" Apa pun dan siapa pun dirimu, aku tidak peduli. Aku tidak sanggup lagi untuk berpura pura tidak melihatmu, tidak mengharapkanmu. Aku, aku..mencintaimu Hanifa dan aku mengatakannya dengan kesadaran penuh dan jujur dari lubuk hatiku." Ucap Iman bersungguh sungguh.

" Aku mungkin bukan gadis impianmu selama ini, tapi akulah yang akan menemani hari harimu seumur hidupmu. Maafkan aku kemarin meninggalkanmu, bukan ingin mengusaikan harapan tapi hanya ingin menguji sebuah kesetiaan. Aku, aku juga mencintaimu."

Iman menggeleng menatap gadis di depannya. Ingin sekali dia memeluk gadis itu, jika saja kewarasannya tidak mengingatkan.

" Sebenarnya, kaulah gadis impianku, Hanifa. Gadis yang selama ini kutunggu.

COMPLICATED LOVE ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang