Love you

903 81 9
                                    

Iman menepikan kendaraannya di depan sebuah jejeran rumah petakan kecil. Rumah itu semua bercat warna putih. Terlihat bersih walaupun kecil. Iman menoleh ke kanan dan kiri mencari seseorang yang bisa di tanyainya. Karena tadi Afifah hanya memberitahukan alamat rumah dan tidak menyebutkan nomer ke berapa rumahnya. Iman melirik gadis yang masih terlelap itu.

" Dia pasti kelelahan." Desisnya.

Ada debaran halus menggelitik hatinya. Iman mengulum senyum. Wajahnya terlihat menggeleng menahan rasa yang kini menggelegak.

Iman bergegas turun dari kendaraannya setelah gelenyar itu bermain main dihatinya tanpa bisa dihentikannya. Dia menyenderkan tubuhnya di pintu kendaraannya, sambil berharap ada seseorang yang datang dan bisa dia tanyai. Sedikit lama dia terdiam menatap ke depan dengan pikiran yang tak jelas kemana arah tujuannya.

" Kenapa Ustadz tidak membangunkanku?"

Sebuah suara serak membuatnya terkesiap. Dia menatap wajah oriental yang dengan senyum kini berada di sebelahnya.

" Eh, maaf. Aku tidak mau mengganggumu." Jawab Iman dengan berusaha mengalihkan tatapannya.

" Ustadz, kau.."

" Iman, namaku Iman."

Iman memotong ucapan gadis yang kini menatapnya dengan senyum yang membuat Iman beristigfar beberapa kali. Senyum itu seolah menghentakkan dadanya. Membuat jantungnya berdebar kencang.

" Yang sebelah mana rumahmu, biar kubawakan kopernya." Ucap Iman mengalihkan keadaan.

Dia berjalan ke bagasi untuk menurunkan koper serta dia berusaha meredakan debaran yang mulai membuatnya tak menentu.

" Rumah yang nomer tiga itu. Terima kasih."

Gadis itu berjalan menuju rumah yang ditunjukannya. Lalu dia mendudukkan dirinya di kursi bambu yang ada di teras.

Iman menatapnya sambil membawakan koper gadis itu.

" Disimpan disini saja?" Tanyanya kemudian, ketika sampai di hadapan gadis itu yang kembali tersenyum menyambutnya. Iman kembali di dera perasaan tak menentu. Antara rasa suka, takut, cemas, rindu dan cinta. Iman merasa bodoh karenanya.

" Hai, si cantik sudah pulang. Kenapa ga bilang, cantik. Aku pasti jemput kalau kau kabarin. Kangen sekali Shanum cantik ini.."

Seorang pria tinggi berperawakan kurus seenaknya berdiri diantara mereka. Pria itu kini menarik narik tangan Shanum dan menggoyang goyangkannya. Tampak sekali dia sudah kenal akrab gadis itu.

Iman yang mengambil duduk di sebelahnya dan terhalang meja itu melirik sinis. Ada rasa tak suka terlihat jelas di wajahnya. Matanya seolah terluka, riak kecewa, sedih dan cemburu berbaur jelas disana. Shanum menatap lekat pria yang kini tertunduk menekuri perasaannya.

" Kang Jaka, Shanum sudah ada yang menjemput. Jadi kang Jaka tidak usah repot repot, nanti Tante Rien marah lagi kalau kang Jaka deket deket Shanum."

Ucapan ringan Shanum membuat Iman menoleh menatap gadis itu. Ada kilatan permohonan di mata gadis itu. Iman seolah mengetahui maksud gadis itu. Dia tersenyum samar.

" Saya Iman, kang. Kekasih Hanifa."

Ucapan Iman yang tercetus begitu saja membuat gadis itu terperanjat kaget. Iman sendiri tak kalah terpananya dengan ucapan yang keluar dari mulutnya. Sementara kang Jaka memasang muka datar dengan mata berkilat kesal.

" Kemarin ada Andrean, sekarang Iman. Aku semakin sulit mendekatimu cantik." Geram Kang Jaka. Shanum terkekeh.

" Kang, akang kan sudah punya Tante Rien. Aku gak mau jadi istri kedua, apalagi istri simpanan." Ujar Shanum tegas.

Tawa lirih mengiringi ucapannya. Iman terlihat puas dan lega dengan jawaban gadis itu. Padahal tadi dia ada sedikit rasa takut gadis itu marah dengan ucapannya itu.

Kang Jaka berlalu tanpa kata. Shanum menatapnya dengan tawa geli. Iman menatap gadis itu yang kini menatap ke arahnya, tawanya kini berhenti.

" Semoga dia kapok. Kemarin kemarin dia tidak percaya ketika Andrean mengaku sebagai kekasihku, karena Andrean beda keyakinan denganku. Semoga kini dia percaya dan berhenti menggodaku. Istrinya galak juga."

Gadis itu tertawa lagi, tawa yang membuat Iman merasa begitu tenang dan nyaman.

" Terima kasih sudah mengaku sebagai kekasihku." Ucapnya sambil menatapku.

" Aku mencintaimu." Ucap Iman tiba tiba. Shanum membulatkan matanya.

" Aku mencintaimu, kau mau kan jadi kekasihku, Hanifa." Suara Iman yang tegas dan ringan dengan tatapan mata menatap lekat mata sipit bening itu membuat Shanum menggeleng resah.

" Aetaqid 'anak ln takun muhtamat fi fatat mithaliin, Ustadz ( Saya pikir kau tidak akan tertarik pada gadis seperti saya, Ustadz.)."

Iman menegang mendengar ucapan gadis yang kini tersenyum menatapnya. Banyak sekali yang membuatnya berdecak kagum dari gadis ini.

" Kau bisa berbicara dengan bahasa Arab, Hanifa?"

Pertanyaan bodoh Iman terlontar tanpa bisa di cegah. Gadis itu berdecak.

" 'Ant taetaqid 'anak faqat tastatie altahaduth biallughat alearabia ".( Kau pikir hanya kau saja yang bisa berbahasa Arab)."

Jawaban telak Shanum membuat Iman tersenyum lebar. Dia bertambah kagum pada gadis dihadapannya.

" Pulanglah, aku lelah. Aku akan mandi dan tidur. Eh, tidak tidur karena hampir magrib dan sepertinya tadi aku pun belum menyelesaikan bacaan Kahfiku. Ini hari Jumat Ustadz, sudahkah anda membaca Kahfi?"

Gadis itu masuk ke dalam rumah dengan meninggalkan Iman sendiri. Tanpa jawaban dan basa basi untuk memintanya masuk. Iman tersenyum sambil menggelengkan kepala. Tapi senyum yang diulas gadis itu sebelum masuk cukup membuatnya mendapat jawaban.

COMPLICATED LOVE ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang