Langit pagi yang cerah menyambut kelompok 10 di area kebun yang akan menjadi pusat perhatian selama KKN mereka. Di depan mereka, hamparan lahan yang sebelumnya pernah dijadikan kebun kini penuh dengan ilalang dan rumput liar yang menjulang tinggi. Meski agak menantang, semangat mereka tetap tinggi.
"Jadi, ini lahan yang bakal kita bersihkan," kata Dani, mengarahkan pandangannya ke arah kebun yang sudah lama tak terurus. "Dulu ini kebun sekolah, tapi ya... lihat sendiri, sudah berubah jadi hutan kecil."
Ave, sambil mengencangkan sarung tangannya, menambahkan, "Untung kita gak mulai dari nol, tapi tetap butuh kerja keras buat bersihin ini semua. Apa kita langsung mulai sekarang?"
Sari, yang latar belakangnya dari pendidikan biologi, mengamati rumput dan ilalang dengan cermat. "Ilalang seperti ini cepat tumbuh kalau tidak rutin dipotong. Nanti setelah dibersihkan, kita perlu pastikan lahan ini terus dirawat supaya gak kembali ke kondisi begini."
Rudi mengambil cangkul dan mulai menebas ilalang. "Oke, langkah pertama, kita bagi tugas. Sebagian tebas ilalang, sebagian lagi kumpulin sampah organik dan non-organik. Kita harus kerja efisien biar cepet beres."
Tamara, yang dikenal dengan ide kreatifnya, menyarankan, "Aku baca kalau kita bisa bikin kompos dari daun-daun kering ini. Mungkin kita bisa manfaatin untuk kebun nanti."
"Betul juga," kata Sevia sambil mengikat rambutnya, siap bekerja. "Tapi ingat, kita harus hati-hati waktu membersihkan lahan ini. Jangan cuma bakar sembarangan. Orang Dayak, terutama di Kutai Barat, biasanya punya tradisi membakar lahan untuk membersihkan, tapi itu dilakukan dengan cara yang terkontrol. Kalau kita bakar sembarangan, bisa bahaya."
Dani mengangguk, sambil mengusap dahinya yang sudah mulai berkeringat. "Iya, ada adat Dayak yang masih menjaga proses pembakaran lahan secara tradisional. Mereka melakukan pembersihan lahan dengan ritual khusus untuk memastikan api terkendali. Tapi sekarang banyak larangan karena sering ada kebakaran hutan."
Tamara menimpali, "Yang menarik, mereka tuh punya cara alami menjaga lahan tetap subur setelah dibersihkan. Abunya itu kan jadi pupuk alami."
Ave, sambil memotong rumput dengan sabit, berkata, "Aku setuju banget. Tapi kita kan gak bisa sembarangan bakar di sini, jadi kita fokus aja dulu ke manual ya, cabut dan tebas rumput. Nanti kalau ada sampah organik, kita kumpulin buat kompos."
Rudi, yang sedang sibuk dengan cangkulnya, ikut menambahkan, "Fakta lain, pembersihan lahan manual itu bagus buat menjaga struktur tanah. Kalau pakai mesin berat, bisa bikin tanahnya jadi padat dan gak subur."
Sesi pembersihan berlangsung selama beberapa jam pertama. Setelah itu, mereka berkumpul kembali untuk menilai hasil kerja mereka. Meski baru sebagian kecil yang berhasil dibersihkan, semangat tetap tinggi.
"Ini baru seperempat lahan, tapi gak apa-apa. Masih ada beberapa hari lagi buat kita beresin semuanya," kata Dani sambil tersenyum, mengusap keringat di dahinya.
"Kita akan butuh waktu sekitar tiga sampai empat hari untuk benar-benar bersihkan semuanya," tambah Ave. "Besok kita bawa lebih banyak alat biar lebih cepat, tapi jangan sampai ada yang kecapean ya."
Sesia, yang berasal dari Kutai Barat, ikut berbagi pengalaman, "Di kampungku, proses pembersihan dan pembakaran lahan itu sering dianggap sakral. Keluargaku kadang lakukan ritual kecil sebelum mulai kerja, biar alam dan tanah tetap mendukung apa yang kita tanam nanti."
"Tradisi yang keren," ujar Tamara, sambil menyiapkan cangkulnya untuk esok hari. "Tapi kayaknya untuk kita cukup pakai otot dan strategi, ya!"
Mereka akhirnya sepakat untuk melanjutkan pembersihan lahan secara bertahap, membagi waktu dan tenaga agar pekerjaan tetap efektif tanpa membuat mereka terlalu kelelahan.
Keesokan harinya, kelompok 10 kembali ke lahan dengan semangat baru. Ilalang yang telah dipotong kemarin sudah terkumpul di sudut lahan, menunggu untuk dipindahkan ke tempat daur ulang. Pekerjaan hari ini lebih berat, mereka harus mencangkul tanah dan membentuk gundukan yang nantinya akan menjadi tempat menanam tanaman.
"Baik, teman-teman. Hari ini kita mulai langkah selanjutnya: mencangkul dan membentuk gundukan," Dani memulai briefing pagi itu. "Ilalang sudah dikumpulkan, sekarang kita harus segera memindahkannya."
"Kalau bisa, kita bagi tugas lagi," saran Ave. "Sebagian fokus mindahin ilalang ke tempat daur ulang, sebagian mulai mencangkul biar kita gak buang waktu."
"Setuju. Aku, Tamara, dan Rudi bisa tangani bagian daur ulang. Sisanya bisa fokus ke mencangkul," kata Sari sambil mengenakan sarung tangan.
Dengan cepat, kelompok itu bergerak. Sari, Tamara, dan Rudi mulai mengangkat ilalang dan membawa tumpukan itu ke tempat daur ulang terdekat. Sementara itu, Dani, Ave, Sevia, dan Sesia mulai mencangkul tanah. Cangkul menembus lapisan atas tanah yang agak keras setelah sekian lama tak tergarap.
"Tanahnya cukup keras ya. Tapi bagus buat kebun," ujar Sesia sambil mengerahkan tenaganya untuk mengangkat cangkul. "Ini tanah yang subur. Setelah dibersihkan dari rumput liar, pasti bagus buat nanam."
Dani mengamati gundukan yang sudah mulai terbentuk. "Gundukan ini kita bentuk setinggi lutut, ya? Supaya saat kita tanam nanti, air bisa lebih mudah mengalir dan tidak menggenang."
"Benar. Kalau gundukannya terlalu rendah, tanaman bisa kebanjiran waktu musim hujan. Kalau terlalu tinggi, akarnya mungkin kesulitan mendapatkan cukup air," jelas Sevia, yang meski dari jurusan matematika, paham soal teknik dasar pertanian.
Tamara dan Sari kembali setelah menyelesaikan pemindahan ilalang. "Kita sudah selesai mindahin ilalang. Sekarang bantuin kalian mencangkul, ya?"
Ave mengangguk. "Bagus. Kita fokus selesaikan gundukan dulu. Setelah ini selesai, kita bisa mulai menanam."
Sambil bekerja, mereka saling berbagi fakta menarik tentang teknik mencangkul dan pertanian. "Di daerah pedesaan, khususnya di Kalimantan, banyak orang masih pakai teknik tradisional kayak kita sekarang ini," kata Sesia. "Mencangkul manual itu tetap jadi pilihan karena lebih ramah lingkungan dibanding mesin besar."
Sari menambahkan, "Betul. Tapi tantangannya lebih besar kalau kita nggak terbiasa. Tenaga yang dikeluarkan bisa bikin kita cepat capek."
Dani tersenyum sambil mengelap keringatnya. "Untungnya, kita punya kerja sama tim yang bagus. Kalau kita terus begini, tanah ini bakal siap untuk ditanami dalam beberapa hari."
Kerja keras mereka akhirnya menunjukkan hasil. Gundukan pertama mulai terbentuk rapi, tanah yang gembur dan siap untuk ditanami. Meskipun lelah, semangat mereka tak surut. Gundukan-gundukan ini akan menjadi tempat tumbuhnya tanaman yang diharapkan bisa membawa perubahan bagi kebun sekolah tersebut.
"Kita tinggal beberapa hari lagi untuk merapikan dan mempersiapkan penanaman," kata Ave sambil meregangkan punggungnya yang pegal. "Semua kerja keras ini akan terbayar ketika kita melihat tanaman tumbuh subur di sini."
"Setuju," kata Dani. "Besok kita lanjut dengan menyelesaikan sisa gundukan. Kalau kita tetap fokus, semua bisa selesai tepat waktu."
Mereka pun meninggalkan lahan dengan hati puas, siap untuk menghadapi hari-hari berikutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teacher Internship
AdventureUpdate tiap hari setiap jam 10 pagi Sebuah cerita selama magang sebagai guru