Malam itu, setelah seharian membersihkan lahan, kelompok 10 memutuskan untuk nongkrong di Café Kopi Kenangan, tempat favorit mereka untuk bersantai. Kopi hangat dan suasana yang nyaman menjadi latar diskusi santai namun penting mengenai langkah berikutnya dalam proyek KKN mereka.
"Capek ya hari ini?" Dani menghela napas sembari mengaduk es kopi yang baru diantarkan. "Tapi kita sudah banyak kemajuan. Sekarang tinggal mikirin soal tanaman apa aja yang mau kita tanam di kebun."
Ave meneguk kopinya dan mengangguk. "Iya, aku sudah browsing beberapa ide tanaman. Untuk kebun tradisional, aku pikir kita bisa tanam yang bermanfaat buat sekolah. Kayak tanaman rempah dan obat-obatan."
Sevia yang duduk di sebelahnya menimpali, "Setuju. Tanaman rempah kayak jahe, kunyit, dan sereh itu mudah tumbuh dan pasti berguna. Plus, tanaman obat kayak daun sirih atau lidah buaya juga bisa ditanam. Sekolah ini kan Adiwiyata, jadi kita harus pilih tanaman yang mendukung keberlanjutan lingkungan."
Rudi mengangguk sambil menyesap kopinya. "Aku setuju banget. Selain berguna buat lingkungan, tanaman rempah itu juga nggak butuh perawatan ekstra. Kita bisa libatkan siswa buat merawatnya setelah kita pergi nanti."
Sari menambahkan, "Rempah-rempah itu tanaman yang kuat, ya. Kalau dijaga dengan baik, mereka bisa bertahan lama dan jadi sumber belajar buat siswa tentang pentingnya tanaman obat alami."
Tamara yang selama ini diam, tiba-tiba menyela, "Kalau untuk hidroponik gimana? Aku sempat ngobrol sama salah satu petani di desaku, dia bilang bayam, sawi, dan kangkung itu paling cocok untuk hidroponik."
"Bayam, sawi, dan kangkung itu memang ideal untuk hidroponik," Ave mengiyakan. "Mereka nggak butuh lahan yang luas dan cepat panen. Tapi kita harus pastikan kalau kerangkanya kuat, soalnya hidroponik kan butuh sistem air yang stabil."
Dani meletakkan gelas kopinya dan berkata, "Kita mulai dengan kerangka hidroponik. Ada yang udah tahu bahan apa aja yang kita butuhin?"
"Untuk kerangka hidroponik, kita bisa pakai pipa PVC," Rudi mulai menjelaskan. "Itu yang biasa dipakai. Mudah didapat, harganya murah, dan bisa tahan lama. Kita tinggal atur aliran airnya dan pastiin sistemnya nggak bocor."
"Aku juga baca, kita butuh pompa air kecil dan wadah untuk menampung larutan nutrisi," lanjut Ave. "Pompa ini akan sirkulasi air dengan nutrisi ke akar tanaman."
Sesia yang dari tadi sibuk dengan ponselnya, tiba-tiba mengangkat tangan. "Oh, aku nemu toko online yang jual semua alat-alat itu. Kayaknya kita bisa dapat paket lengkap dengan harga diskon."
"Wah, bagus!" kata Tamara. "Berarti besok kita bisa mulai cari bahannya."
"Benar," kata Dani sambil tersenyum. "Jadi, besok agenda kita selain menyelesaikan gundukan di kebun, kita juga mulai persiapkan hidroponik. Kita coba belanja bahannya dulu."
Sevia yang biasanya tenang, tiba-tiba angkat bicara, "Kita juga harus pikirkan keberlanjutan proyek ini. Kan kita nggak selamanya di sini. Siapa yang bakal merawat kebun ini setelah kita selesai?"
"Saya setuju," ujar Rudi sambil mengangguk. "Mungkin kita bisa ajak siswa buat ikut terlibat dalam perawatan, biar mereka merasa kebun ini milik mereka juga."
Dani menyetujui ide itu. "Bagus, kita ajak anak-anak yang tertarik untuk belajar soal hidroponik dan tanaman rempah. Mereka bisa kita libatkan dari sekarang, biar pas kita udah nggak di sini, mereka tetap semangat merawatnya."
Ave menambahkan, "Iya, kita bisa bikin jadwal perawatan kebun bersama guru-guru, supaya program ini tetap berjalan meski kita udah selesai KKN. Kalau sekolah ini benar-benar mau serius jadi sekolah Adiwiyata, kebun dan hidroponik ini bisa jadi salah satu langkah besar."
Mereka melanjutkan diskusi sambil menikmati suasana malam di café, membicarakan detail demi detail tentang bagaimana mereka akan menggabungkan kebun tradisional dan hidroponik dalam satu lahan. Meskipun lelah, semangat mereka tetap tinggi, terutama setelah melihat progres besar yang sudah mereka buat di lahan.
"Besok kita mulai belanja bahan untuk hidroponik," ujar Dani sambil berdiri. "Dan jangan lupa, kita punya jadwal mencangkul lahan juga."
Keesokan harinya....
"Aku tadi cek harga pipa PVC," kata Ave sambil menyeruput minuman, "dan ternyata itu lumayan mahal, apalagi kalau kita butuh banyak."
Sevia mengangguk setuju. "Ya, itu sih bakal bikin anggaran kita jebol. Tapi kita kan nggak mungkin cuma fokus di hidroponik, kita masih ada kebun tradisional juga."
Tamara, yang selama ini suka memberikan solusi praktis, tersenyum dan berkata, "Kenapa nggak kita pakai pipa bekas saja? Tadi aku sempat ngobrol sama pihak sekolah, dan katanya mereka punya beberapa pipa bekas yang nggak terpakai di gudang."
"Oh, iya? Kalau gitu bisa hemat banyak," Dani menanggapi dengan semangat. "Terus, buat tempat tanamnya gimana? Harus beli juga?"
"Enggak perlu beli. Aku kepikiran buat pakai botol plastik bekas," usul Rudi. "Kita bisa minta sumbangan dari siswa atau ambil dari botol-botol bekas yang ada di sekolah. Botol itu bisa kita potong, terus ditaruh di lubang pipa sebagai tempat untuk tanam sayurannya."
"Jadi semacam DIY hidroponik ya?" tanya Ave dengan senyum kecil. "Kayaknya malah lebih kreatif dan ramah lingkungan juga. Sekalian kita ajarin siswa cara memanfaatkan limbah."
Tamara menyahut, "Iya, dan sistemnya juga sederhana. Pipa bekas kita lubangi buat tempat botol, terus kita pasang aliran air dari pompa kecil yang bisa kita rakit sendiri. Kalau soal nutrisi tanaman, nanti kita cari larutan yang mudah didapat dan murah."
"Sounds like a plan," kata Dani sambil mengangguk puas. "Kita bisa mulai dengan apa yang kita punya dulu, pipa bekas, botol plastik, sama pompa sederhana. Ini bisa jadi langkah awal buat hidroponik kita."
"Terus gimana dengan keberlanjutannya?" tanya Sevia. "Apakah pihak sekolah bakal setuju dan mau ngerawat ini setelah kita pergi?"
Ave tersenyum. "Kayaknya setelah kita tunjukkan hasilnya, mereka pasti tertarik. Sekolah Adiwiyata kan punya program kelestarian lingkungan, dan ini bisa jadi tambahan bagus buat mereka. Lagian, kita nggak cuma buat, tapi juga ajak siswa terlibat, biar mereka bisa lanjut ngurus setelah kita selesai."
Setelah mencapai kesepakatan, Dani mengatur rencana. "Oke, ayo kerja. Sebagian lanjut ke belakang. Sisanya beli bahan."
Setelah Dani memberi instruksi, kelompok mulai membagi tugas. Para pria melanjutkan pembersihan lahan, sementara yang lain bertugas membeli bahan yang diperlukan untuk hidroponik. Berikut adalah daftar bahan yang harus dibeli dan siapa yang pergi membeli:
Bahan yang diperlukan:
1) Nutrisi hidroponik (larutan AB mix)
2) Pompa air kecil untuk sirkulasi air
3) Selang kecil untuk aliran air
4) Kawat atau penjepit pipa (untuk menopang pipa bekas)
5) Alat pemotong (cutter atau gergaji kecil) untuk pipa dan botol plastik
6) Jaring pot (atau alternatif yang lebih murah)
7) Bibit tanaman hidroponik (bayam, sawi, kangkung)Siapa yang pergi membeli:
Ave dan Sari: Mengurus pembelian nutrisi hidroponik, selang kecil, dan pompa air kecil.
Tamara dan Sevia: Mencari bibit tanaman hidroponik dan jaring pot serta menangani pembelian alat pemotong dan kawat/penjepit pipa.
Tugas di lapangan:
Dani, dan Rudi: Melanjutkan pembersihan lahan, memastikan area kebun siap untuk proses selanjutnya.
Setelah pembagian tugas selesai, tim bergerak sesuai peran masing-masing, siap untuk mewujudkan proyek kebun tradisional dan hidroponik mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teacher Internship
AdventureUpdate tiap hari setiap jam 10 pagi Sebuah cerita selama magang sebagai guru