I Just, I Love You - 14

781 86 10
                                    

Ji Hyeran kembali berada di depannya setelah ketibaan mereka di sebuah rumah yang tak dikenali Chanyeol bersama dua gelas kertas mengepul berisi kopi.

Wanita itu memiliki surai cokelat sebahu hingga mempertegas lekuk rahang. Sipit kelopaknya menyusur tajam namun tidak merusak lembut pahat wajah. Hidung tak terlalu tinggi mengimbangi tipis ukuran bibir juga tebal kedua pipi. Chanyeol menilai bahwa Hyeran bukanlah sosok yang akan dikagumi dengan alasan wajah namun sosoknya teramat anggun.

"Silahkan, tuan Park." Mendorong segelas bagi pria itu, Hyeran menyilang kaki sebelum lagi bicara. "Jika aku bertanya tentang apa yang terpikir olehmu ketika tiba di tempat ini, apa tuan Park akan menjawabnya?"

"Tolong, panggil Chanyeol saja." cepat-cepat ia membuka suara. "Aku..sebelumnya aku sudah mengenalmu. Kau adalah orang itu, iya 'kan?"

"Benarkah?" Alis diangkat tipis. "Mengetahuinya dari Baekhyun?"

"Undangan itu tiba-tiba datang padaku tak lama sebelum kami memutuskan berakhir." Chanyeol meremat rambut dalam geram untuk menahan nada suara. "Lebih tepatnya aku membuat Baekhyun pergi. Mendorongnya lebih dulu sebelum sempat bertanya apakah dia bahagia dengan hal ini, aku tidak tahu kondisi kekuatan hatinya dan memilih bersikap seperti pengecut bajingan.."

Mendengar tawa menahan ringis di akhir, Hyeran menjeda sebentar lalu bicara.

"Kau selalu punya hak untuk melakukan itu, Chanyeol. Tetapi apa yang kemudian menjadi penyesalan adalah bagaimana kesiapan diri orang lain untuk mendengar apa yang kau ucapkan." Hyeran menumpu lengan di atas meja dengan sorot mata menajam. "Apakah mereka sekuat dirimu dalam menghadapi masalah seperti itu atau justru lebih menyenangkan untuk tutup kuping dan kembali bertemu seolah badai di luar sana hanyalah ilusi semata. Lalu yang mana kau kira akan dilakukan Baekhyun terhadap cerita kalian?"

Gemetar jemari si pemuda saat menutupi wajah dan menghela napas panjang. Dia tidak lagi tahu berapa lama tubuhnya akan tetap sadar sementara pening mulai menghantam keras-keras.

"Baekhyun mungkin akan tetap diam. Tapi mendapatinya seperti itu lebih menyakitkan daripada sebelum aku dapat memilikinya." berbisik lirih, Chanyeol tidak lagi peduli dengan betapa terkejutnya wanita itu dengan kekacauan raut wajahnya. "Tolong katakan padaku. Apakah dia baik-baik saja, Hyeran?"

"Chanyeol,"

"Kau tahu di mana Baekhyun, iya 'kan?"

Disesapnya sekali kopi itu, namun Hyeran berubah tertunduk. Chanyeol tak menahan perubahan raut wajahnya akan tetapi ia masih berusaha tak bersuara.

"Pada suatu hari aku baru saja tiba dari London dan hanya diminta untuk datang malam itu. Masih dengan semua koper di tanganku, rumah Baekhyun terlihat sangat besar seolah mampu menelan siapapun untuk mati. Untuk apa aku bisa aku berada di sana merupakan satu-satunya yang berusaha kupahami. Dan begitu mendapati Baekhyun keluar dari ruangan ayahnya, aku mulai mengumpulkan satu per satu potongan jawaban.."

Chanyeol mendengar dalam diam.

"Aku dan Baekhyun saling mengenal sebagai teman sekolah menengah pertama. Dia bagiku, merupakan pribadi paling tenang yang pernah hadir sementara orang lain justru melihatnya sebagai sosok yang luar biasa angkuh. Tidak pernah satupun senyum datang dari wajahnya, hanya saja pada suatu petang kakinya justru  berpijak di hadapanku.." jemari Haena bermain satu sama lain di atas pangkuan lalu merampas lebih banyak tenaga untuk bernapas.

"Baekhyun membuatku tidak perlu melihat seperti apa realitas dunia ini seorang diri. Baekhyun bilang, mentari akan menjadi antagonis jika aku hanya menatapnya secara langsung hingga melupakan bahwa cahaya mereka sebenarnya terasa amat hangat. Ia juga bilang, saat petir dalam raungan hujan seolah akan menusuk jantungmu dengan keras sementara jutaan orang di luar sana bersukacita atas tangisan sang langit."

Coral CastleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang