I love the way you blacken my heart. Every time i open my eyes it's just like i'm sleeping. Don't let me wake up, i am begging you. Just handle me easily like those smooth speech. Because we'll fit each other even in the wave, and i am getting ready to swept away by you. Let me endure even it hurts but stay with me forever. The wound is just a trace of you and my only cure is you. The world is upside down, it's heaven for me to fall in love with you..
Aku suka cara-mu menghanguskan hatiku. Tiap kali mata ini terbuka yang kurasa adalah seperti tengah tertidur. Jangan bangunkan aku, kumohon pada-mu. Hanya perlakukan aku sesuka-mu layaknya semua kalimat-mu yang lembut itu. Karena kita begitu pantas untuk satu sama lain bahkan di tengah ombak, dan aku tengah bersiap untuk terhempas jauh oleh-mu. Biarkan aku menanggungnya sekalipun menyakitkan namun tetaplah selamanya di sisiku. Semua luka itu hanyalah jejak atas kehadiran-mu dan satu-satunya penyembuh ku adalah kau. Dunia ini telah terbalik, adalah surga bagiku untuk jatuh cinta pada-mu...
***
Sore hari yang sama. Langit masih jingga karena awan tak sepenuhnya mampu menutupi rona cahaya matahari yang bergerak turun perlahan. Kelompok burung juga berteriak di atas gulungan ombak laut tapi belum nampak ingin bertanya pada sayap-sayap mereka akan letih yang mungkin perlahan dirasa. Angin tengah bercakap-cakap dengan lembar dahan pohon pula hadir dalam undangan di sore itu dan menemani suasana petang menjelang malam yang terlukis sama persis seperti kemarin.
Dia mengetahuinya. Dia hanya kembali duduk di tempat yang sama dan memanggil ingatan dari hari yang sudah berlalu sambil mengabsen satu per satu. Ia yakin sudah meminta mereka agar kembali dan telah didapatinya lagi sekarang tanpa terkecuali.
Sebelah tangan itu juga masih meremat sebuah buku yang sama. Bersampul kulit cokelat yang mengelupas di tiap ujungnya, dan jemari telunjuk yang mengganjal di salah satu halaman untuk tetap terbuka. Pikiran itu pula masih sama.
Kehilangan dalam cara yang serupa, mengenang dan berduka bagi alasan yang sama.
"Aku tahu.." kata-kata dari bibir itu berhembus lalu hilang bersama udara. "Jika aku sudah tahu, lalu bagaimana?"
"Hyung.."
Dibawa tatapan ke samping, dengan segera dua pasang kelopak lebar itu tenggelam mengikuti senyum yang terpahat di wajah. "Sehun, kau sudah tiba? duduklah."
Keduanya kini ditopang oleh papan kayu panjang tanpa sandaran. Disaksikan kemudian pemandangan air yang menyelimuti lautan bersama deru angin ramai-ramai menghujani.
"Kondisimu belum baik. Mengapa duduk di sini?"
Ringan suara kekehan tercipta, "Orang-orang perlu membayar mahal untuk bertemu matahari tenggelam dari atas laut. Tapi aku tak yakin ada harga yang bisa dibayarkan untuk tahu kapan sekiranya detik terakhir mataku dapat jatuh cinta pada semua ini" wajah itu berpaling pada Sehun di sebelah bahu. "Jika itu dapat terjadi, aku akan kembali ke rumah sekarang juga dan memilih tidur sampai entah kapan. Tapi jika tidak, aku tetap berusaha terjaga karena setidaknya kami tetap dapat berpamitan di hari yang tepat."
Hendak ia membalas namun segera setelahnya kalimat di ujung tenggorokan ia telan bulat-bulat. Lewat posisinya saat ini, Sehun dapat melihat sepasang kelopak mata yang telah kehilangan cara untuk tetap bersinar sepanjang usahanya agar bangun di pagi hari dan kembali melewati detik. Pria yang usianya lebih muda itu juga memahami dengan baik akan hembus setiap helai napas Chanyeol, bahwa degub jantung itu tak lagi hidup untuk alasan yang sama.
Semua senyuman, langkah kakinya, suara yang terdengar ketika Chanyeol berucap, bukan lagi datang dari kehendak pria yang Sehun ketahui tak paham makna kata "mundur" sekalipun panah tengah mengoyak paru-paru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coral Castle
FanficChanyeol tidak mengerti bagaimana bisa dirinya begitu tertarik dengan surai cokelat ikal milik seseorang yang berdiri di pinggir lapangan rumput luas sekalipun belum juga ia melihat rupa wajahnya. Tetapi saat sosok itu berbalik Chanyeol mendapati di...