Stevia sedang menunggu vano di depan gerbang sekolah yang sedang mengambil mobilnya di parkiran. Tidak disengaja, stevia melihat vito yang sedang berjalan terburu-buru stevia pun memperhatikan vito dengan rasa penasarannya.
"Cowok itu. Bikin gue penasaran banget gila." Gumam stevia.
Mata stevia melotot dan memperlihatkan kedua bola mata yang terbuka sempurna setelah melihat vito menyebrangi jalan sedangkan dari arah jalan terdapat sebuah truk yang melaju kencang.
Refleks stevia berdiri dan segera berlari ke arah vito dan dengan sigap stevia mendorong vito ke pinggiran jalan dan
Tiiinnnnn tinnn
BRAK!
Vito yang terkejut melihat stevia tertabrak truk tersebut langsung berlari menghampiri stevia yang telah terpental dan darah keluar dari sekujur tubuhnya.
Stevia mulai membuka matanya dan melihat vito yang mendekatinya, tak lama kemudian penglihatan stevia mulai pudar dan semuanya gelap. Stevia sudah tidak sadarkan diri.
Bertepatan dengan suara keras itu, tak sedikit warga dan siswa siswi yang menghampiri stevia dan menatapnya iba.
Vano yang tengah kebingungan mencari adiknya di depan gerbang pun pandangannya ikut teralihkan kepada rumunan orang-orang di seberang.
"Ada apaan disana?" Vano bertanya-tanya dan ia mulai menyebrangi jalan untuk melihat apa yang terjadi.
"Misi misi ehm." Vano mulai membelah kerumunan orang itu dan melihat stevia yang berlumuran darah di tubuhnya dan vito yang sedang panik.
DEG!
Jantung vano berdegub lebih kencang dan dengan sigap vano berjongkok dan menompangkan kepala stevia di pahanya, darah pun mulai mengotori celana abu-abu milik vano.
"STEVE! LO KENAPA?! STEVIAA BANGUNN!" Vano panik dan berteriak membangunkan stevia yang masih memejamkan matanya.
"Mending kita bawa saja dia ke rumah sakit, nanti biar gue jelasin." Vito mengeluarkan suaranya dengan tenang walaupun sebenarnya vito juga sangat panik, ada rasa bersalah yang ada di dalam hati vito.
Truk yang tadi menabrak stevia pun melarikan diri dan tidak mau bertanggung jawab.
"Yaudah ayo! Bantu gue bawa adek gue ke mobil!" Vano pun menggendong stevia dan berjalan ke arah mobilnya.
"BUKAIN PINTUNYA CEPETT!" Vito pun segera membuka pintu belakang mobil dan vano merebahkan tubuh stevia.
"Lo jagain stevia di belakang biar gue yang nyetir." Mereka pun segera ke rumah sakit dengan kecepatan mobil diatas rata-rata. Tak disadari air mata vano menetes, hati vano seakan hancur melihat adiknya yang lemas bercucuran darah, ia merasa tidak dapat menjaga adiknya itu dengan baik.
Mereka sudah sampai di rumah sakit dan stevia pun segera dibawa ke ruang UGD untuk mendapat pertolongan.
Terlihat wajah kalut vano, vito merasa iba melihat vano. Jika saja vito dapat memilih, vito pasti akan memilih yang tertabrak adalah dirinya, bukan stevia.
Vito memang belum mengenal stevia, tetapi jika keadaannya akan seperti ini, vito akan merasa sangat bersalah.
Vito sering melukai orang-orang yang ia benci dengan benda-benda tajamnya, namun entah mengapa melihat stevia mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan vito, ia merasakan hal yang berbeda. Ia merasa hatinya yang sudah lama mati, kembali terketuk.
"Jadi gimana ini bisa terjadi? Lo siapa?" Vano meminta penjelasan dari vito.
"Gue vito, adek lo nyelametin gue. Gue gak tau ada truk yang ngebut dan hampir nabrak gue. Gue di dorong ke tepian jalan dan stevia, dia yang tertabrak. Maaf karena gue, stevia jadi kayak gini. Gue bakal lakuin apa yang lo minta buat gue nebus kesalahan gue." Vito menjelaskan dan vano pun mulai mencerna apa yang dikatakan oleh vito.
Vito? Bukannya yang tadi stevia ceritain di rooftop? Dia pernah bunuh orang? Batinnya.
"Adek gue emang gitu orangnya, dia gak mau ngeliat orang lain celaka, dia lebih memilih kalo dia yang celaka. Jadi lo gak sepenuhnya salah. Tapi gue tetep kasih lo satu permintaan." Vano mengatakan itu setelah ia memikirkan apa yang akan vano lakukan untuk kedepannya.
"Apa?" Singkat vito.
"Jadi pacar adek gue dan jagain adek gue dengan setulus tulusnya." Vano melihat raut wajah vito yang terkejut karena permintaan konyolnya. Vano hanya ingin membuktikan apa benar isu-isu yang menyebar di seantero sekolahnya dan ia ingin stevia memiliki pendamping yang tulus.
"Oke gue siap." Vito menjawab dengan mantap, jujur dia belum pernah sekalipun menjalani hubungan khusus dengan wanita apalagi ia belum mengenal stevia. Tetapi, ia akan melakukan apapun untuk menebus rasa bersalahnya.
"Yau-" vano belum selesai mengeluarkan satu kata, dokter keluar dari UGD dengan raut muka yang tak dapat ditebak. Vano segera menghujani dokter laki-laki tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan yang sejak tadi ada di benaknya.
"Dok gimana adek saya? Dia gak papa kan dok? Adek saya udah sadar? Saya boleh masuk gak?" Dokter laki-laki tersebut hanya menggelengkan kepalanya dan tersenyum membentuk garis lengkung seperti bulan sabit di matanya.
"Adik mas gak papa kok, untung tadi cepat-cepat dibawa kesini kalau tidak darahnya akan berkurang lebih banyak lagi, sekarang adik mas sudah siuman, mungkin dia hanya sedikit shock." Mendengar pernyataan dari dokter, vano dan vito pun merasa sangat lega, senyum pun kembali terukir dari bibir vano.
"Saya udah boleh masuk dok?"
"Oh sudah mas kalau begitu saya tinggal dulu." Dokter bergegas pergi dari depan UGD, Vano dan Vito pun masuk menghampiri stevia yang masih terbaring lemas diatas ranjang UGD dengan mata yang sedang melihat sekelilingnya.
"Bang vano." Gumam stevia pelan memanggil kakai kesayangannya tersebut.
"Iya gue disini steve. Lo udah sembuh kan, jangan sakit lagi, gue gak mau. Ya?" Stevia terkekeh pelan mendengar ucapan vano yang terkesan lucu.
"Malah ketawa ni bocah."
"Steve gak papa kok bang elah cuma lecet aja dikit sante gue kan strong." Pandangan stevia beralih kepada vito yang sedang tersenyum tipis melihat kelakuan kakak beradik itu.
"Steve gue minta maaf, karena gue lo jadi celaka dan gue mau berterimakasih karena lo udah nyelametin gue." Stevia terkejut, vito yang ia kira dingin, cenderung tidak peduli, pendiam dan tidak banyak bicara ternyata tidak seburuk yang dipikirkan olehnya.
"Aelah santai aja kali, bukan gue yang nyelametin lo, tapi tuhan masih kasih kesempatan buat lo hidup lewat perantara gue." Stevia tersenyum. Vito kembali tersenyum membuat stevia berpikir jika vito itu tampan.
"Ehm hmm." Vano berdehem setelah melihat stevia dan vito bertatapan selama lebih dari tiga menit.
Tuhan kasih gue kesempatan buat hidup? Sedangkan gue udah banyak memutus waktu orang lain untuk tetap hidup. Batin vito. Munculah sedikit rasa menyesal di hati vito setelah mengingat apa yang pernah ia lakukan terhadap orang lain.
"Eh bang besok jadi ketemu rendy?" Tanya stevia.
"Ya kagak lah lo masih kayak gini udah mau keluyuran mulu tunggu lo sembuh total dulu baru ketemuan sama rendy." Cibir vano.
"Tapi kalo besok dia nunggu kita di kafe gimana bang."
"Ya biar nanti gue aja yang kabarin. Siniin hp lo, gue gak ada kontaknya."
Stevia mulai meraba-raba kantong rok sekolahnya dan tidak juga menemukan benda pipih miliknya.
"Hp gue gak ada bang, tadi jatoh kali."
"Hmm yaudah gini aja besok gue aja yang ketemu sama rendy di kafe terus lo vit gue minta tolong buat jagain steve sampe gua dateng sama rendy. Gimana?"
Vito mulai berfikir dan mengingat-ingat ada waktu atau tidak baginya menemani stevia.
"Aelah bang ribet amat gue bisa jaga diri kali disini."
"Gue bisa kok." Vito menyahut.
"Yaudah bagus kalo gitu."
"Yaudah van, steve gua pergi dulu ya ada urusan, ini kartu nama gue nanti hubungin gue kalo ada perlu. Bye." Vito melenggang pergi setelah memberikan sebuah kartu nama dan vano menganggukan kepalanya.
TBC
