"Njun, mau gak jadi pacar pura pura aku?"
"Ha?"
"Iya, pacar pura pura. Biar Jeno marah dan akhirnya putusin aku!"
"Fa, kamu gak perlu ngelakuin itu. Biarin dia ngerasain sakit yang kamu rasain juga dong! Gak adil!"
"Njun, gaboleh gitu hayo! Aku sayang dia sebagaimana aku sayang kamu. Aku gak tega juga bikin dia gitu!"
Aku mengusap darah yang berada di hidungku, yup kalian benar! Aku sedang mimisan, yah akhir akhir ini intensitas mimisanku bertambah. Renjun dengan wajah paniknya segera menghampiriku, mengusap pelan hidungku.
"Fa, oke. Aku turutin mau kamu, tapi jangan nyerah sama penyakit ini!"Aku tersenyum menanggapinya, kali ini senyuman dengan penuh kebohongan.
"Fa, kamu beneran mau putusin Jeno?"
"Eung,"Aku berusaha berpikir ulang, "iya aku yakin ini yang terbaik buat kita semua."
"Oke, kamu nanti dibelakangku aja. Jeno emosian, aku takut dia bakal marah ke kamu."
"Iyaaaa Njun, tenang aja, aku tahu semuanya akan baik baik aja."
Seusai percakapan itu, Aku bergegas memasuki mobil mini Renjun. Ah aku suka sekali harum mobil ini. Ini terakhir kalinya ya? Rasanya hidupku tidak lama lagi haha.
Kalo kalian bertanya bagaimana nanti keadaan Jisung sama Rose. Aku yakin Rose bisa mengatasinya, karena dia memang benar benar sudah sadar.
Dia bekerja, dan memiliki penghasilan. Selain itu masih ada pula, Jaehyun dan Jungkook yang senantiasa mencintainya. Aku selalu sangat iri tentang hal tersebut.
Jika kalian bertanya tentang tabungan, aku dahulu bukan tipe yang suka membuang buang uang. Jadi rumah yang kita tempati ( read: aku, jisung, kak Rose ) adalah milikku pribadi. Beberapa puluh juta juga ada di rekeningku.
Aku lagi lagi sengaja tidak memberi tahu mereka karena aku takut mereka akan tetap berfoya foya dan menghabiskan uang tersebut. Pada akhirnya, selalu aku yang mengalah atas segala hal.
Aku sadar aku tidak berhak untuk dicintai, fisik yang buruk rupa ini. Aku juga sadar Siyeon lebih cantik, ah sangat jauh ya dariku.
Badanku juga biasa biasa saja, malah dahulu sangat gemuk.Aku makan hanya makan pagi saat itu, yah karena tidak ada uang. Juga aku sangat insecure waktu itu hahaha. Kalo aku makan, mungkin aku akan memuntahkannya? Maka dari itu aku memilih makan sedikit.
Persiapanku semuanya sudah matang, hanya ini satu satunya yang menurutku masih sangat mentah. Perasaanku yang teramat besar untuknya yang bahkan tak mencintaiku.
Lantunan lagu terdengar di mobil Renjun, sebenarnya sudah sedari tadi. Namun, baru kali ini aku benar benar mendengarkannya. L
Ah ini kan suara kak Jungkook! Aku suka! Selalu baguuus!
"But you'll be good without me. And if i could just give it sometimes, i'll be alright ?"
Renjun tiba tiba menatapku sendu, aku mengalihkan pandanganku darinya. Aku menatap ke arah lain, menimbun kerinduanku pada semuanya. Aku merasa tak lama lagi.
"Iya? Siapa?"
"Hey."
"Hah ngapain Jun kesini? Gua kaget banget loh lu kerumah Gua."
"Wait wait, lu ngapain bawa nih jalang?"
Hatiku berdenyut sakit, padahal dia sudah sering berkata seperti itu. Harusnya aku tak seperti ini kan?
"Memendam perasaan adalah hal yang sulit, lebih baik kita tidak usah bersama lagi ya?"
Sedari tadi sebenarnya Renjun sudah akan baku hantam dengan Jeno. Aku yang menahannya, aku masih mendengarkan banyak spekulasi Jeno.
Hingga akhirnya Jeno meludah, "Gua gak nyangka, kalian berdua."
Wajahnya menampakkan ia sangat sedih. Aku sakit, sangat pedih melihatnya seperti ini. Namun aku juga harus sadar pada realita bahwa mungkin itu hanya ekspresi bahagia, bahagia melepasku.
"Cheer up!"batinku menyemangati diriku sendiri.
Setetes air mata jatuh. Dua tetes, tiga tetes. Hingga tak terhingga, membentuk aliran anak sungai kecil. Mengikuti bentuk pipi tirus ini.
Kenapa ya, Tuhan selalu membuatku begini. Dahulu cobaan dengan dia yang memiliki banyak pacar. Sekarang karena aku dan dia tidak bisa bersatu karena ini.
Aku lelah, aku mencintainya. Even if i know he never love me. After all this time, i still loveeeee him, so bad.
Kenapa sih? Aku nggak diijinkan bahagia? Menjadi anak yang sering dianak tirikan. Memiliki fisik yang buruk. Kisah cinta yang buruk? Teman bahkan sebelumnya aku tak punya. Satu satunya hanyalah Renjun.
Aku roboh, semuanya hampir menggelap hingga Renjun berusaha membangunkanku dan membawaku dengan mobilnya entah kemana.
Aku takut, aku lelah, aku depresi. Mengapa disaat aku berusaha bersikap baik. Berusaha mencintai semua orang. Berusaha segalanya, tapi mereka tak pernah menghargaiku? Aku lelah sekali, aku tak kuat.
Renjun memapahku perlahan, ia bergumam meminta pertolongan tuhan. Aku ingin sekali berkata hey, tuhan tak menyayangiku. Tapi aku enggan karena sadar aku yang memiliki banyak dosa.
Bukuku, tentang curahan hatiku, tentang Jeno terjatuh di Jalan. Agak sedikit tengah namun tetap menurutku dipinggir. Aku mengumpulkan seluruh tenagaku berbalik.
Aku tak bisa meninggalkan buku tersebut. Disitu terlalu banyak kenangan berharga. Tentangku, tentangnya, tentang segalanya.
Terdengar deru motor dari sebelah kanan, aku menyipit. Jeno! Oh tidak apa yang aku lakukan. Dia terlihat sangat kacau, aku memang bodoh.
Biarlah aku yang bodoh ini tetap dia ditempat. Aku ingin dia yang mengakhiri semuanya, seperti ia mengawalinya. Dan semua yang aku bayangkan benar benar terjadi.
Kepalaku pusing, warna warna mulai mengabur. Aku melihat Jeno yang segera kabur, ah aku juga akan seperti Jeno jika menabrak seseorang. Renjun terlihat panik, meminta pertolongan.
Tanganku menggenggamnya, mendekapnya, membisikkan bahwa.
"Njun, buku ini buat kamu. Semoga menemukan pasangan yang bisa mencintaimu. Ameen."
Tak lama semua buyar, gelap mendominasi. Aku tak lagi mengingat apa apa. Ini akhirnya, aku pamit.