"Jen, dulu kamu ingat waktu saya jatuh sejatuh jatuhnya karena Jennie selingkuh dan hamil anak Kai yang notabenenya sahabat saya?"Jeno mengangguk kecil, mendengarkan seksama atau lebih tepatnya sudah lelah karena dipukuli dan hanya bisa mendengarkan.
"Iya, saya sempat gila karena itu. Mabuk mabukan, bahkan menggunakan obat. Dulu kamu masih kelas 10 ya?"
"Lalu, saya pulang di tengah malam dengan keadaan mabuk merenung di taman kota yang biasa kita datangi dulu, ingat?"
Jeno mengingatnya masa masa dimana ia dan Taeyong sangatlah dekat, namun semakin hari mereka tiba tiba saja menjauh. Ah, kenangan yang indah.
"Disitu saya bertemu korban yang kamu tabrak, saya ingat persis dia memukul pelan kepalaku dan mengelus dengan halus kepala saya. Dia hanya tersenyum kecil menanggapi semua omonganku yang sangat melantur kala itu."
Jeno teringat Arfa tiba tiba, senyumnya yang indah. Sangat menenangkan, dan Jeno menyukainya.
"Aku juga memintanya untuk bercerita kisah sedihnya, dia hanya berkata jika aku selalu berusaha sepenuh hati, tapi tidak ada yang membalasku sepenuh hati."
"Disitu aku bingung, aku juga sadar jika mungkin nasibnya lebih buruk dariku. Kisah kasihnya mungkin jauh lebih menyakitkan."
"Setidaknya disini, saya ada mama, papa, kamu yang masih sayang pada saya. Entahlah bagaimana perempuan itu, saya sangat menyayanginya layaknya adik."
Jeno heran, pertemuan begitu saja?
"Kak, kok lu aneh sih. Kan cuma sekali ketemu, kesannya juga biasa biasa aja."
"Dia waktu itu masih memakai seragam sekolah yang sama denganmu, banyak sekali keringat di dahinya, ia juga menaiki sepeda. Aku berharap bisa bertemu ia sebelum kamu menabraknya. Kenapa aku telat mengetahui namanya ya?"
Jeno penasaran, "Lu baru tau namanya? Siapa?"
Taeyong terkekeh pelan, setetes air mata turun dari pelupuk matanya.
"Faw, dulu dia ingin dipanggil Faw. Nama yang ia gunakan untuk mengirimi surat kekasihnya."
Jeno terkejut, namun berusaha menyembunyikannya. Baginya nama Faw sangatlah pasaran, itu tidak mungkin kekasihnya. Ralat mantan kekasihnya.
"Kenapa kamu kenal?" Jeno menggelengkan kepalanya, "namanya Arfa, Rhieyla Arfa."
Satu detik kemudian tangisan Jeno pecah. Ia tidak menyangka, mengapa tuhan memberinya banyak sekali kejutan akhir akhir ini.
"Jeno? Kamu kenapa?!"Taeyong sangat khawatir dengan keadaan Jeno saat ini, tak berhenti menangis dan merapalkan kata maaf.
"A—aku kak, cowok brengsek y—yang membuang dia! A—aku goblok banget sih? Hehe."Jeno berusaha tersenyum, ternyata susah juga ya?
Taeyong terkesiap, ia ingin memukul adiknya sekuat tenaga. Tetapi ia tersadar jika adiknya sama sama menyesal, hatinya juga ikut rapuh. Kepalan tangan itu berubah menjadi tanda peluk, Taeyong memeluk Jeno. Sesekali menepuk pelan pundaknya.
"Kita kerumah sakit ya?"
"Puas lu, Arfa udah gak separuh hilang nyawanya?!"Bogeman demi bogeman Renjun berikan untuk sahabat karibnya.
"Gua nyesel, Jun."lirih Jeno, kecil.
"Nyesel lu gak guna sekarang, Anjing! Dia udah gak ada nyawa, lu pikir aja ya. Waktu lu sama dia pacaran, pernah gak sekali aja lu ngajak dia jalan jalan? Pernah gak lu sekali aja ngemanjain dia? Pernah gak lu, sekali aja, sekali ngomong cinta ke dia?"
Jeno tertawa kecil, sedikit demi sedikit berubah jadi isakan.
"GAK! GUA GAK SALAH ANJING HAHAHAHA!"Jeno memegang kepalanya sendiri, tertawa terbahak bahak.
Taeyong prihatin, beberapa suster berdatangan dan menyuntikkan obat penenang. Jeno benar benar terpuruk ya? Itu baru separuh kisah Arfa, belum sepenuhnya. Bagaimana ya kiranya jika ia mengetahui semuanya?