Prolog

9.9K 824 19
                                    

Suara besi terdengar nyaring di telingaku. Aku mengangkat pandangan dengan tangan yang masih gemetar. Melhat sosok berkumis yang berdiri menatap bengis padaku. Kumisnya memang menyeramkan tapi pandangan matanya tidak lebih baik dari kumis itu. Aku bergerak gusar. Apa mereka akan memukulku lagi dengan tongkat kayu dan juga besi kecil itu? Badanku sudah tidak sanggup menahan perihnya. Kuharap mereka tidak melakukannya lagi.

"Ada yang ingin menemuimu."

Aku membeliak tidak percaya. Segera beranjak walau harus tertatih dalam melakukannya. Ingin bersuara tapi bahkan telingaku sendiri tidak mampu mendengar suaraku.

Pria berkumis meraih lenganku dengan kasar. Membuka borgol di pergelangan tanganku hingga kulitku terasa bisa bernafas lagi.

"Waktumu hanya sepuluh menit."

Tubuhku di dorong keluar. Membuat cahaya dari setiap lampu lorong menerangi retinaku. Aku mengangkat lengan demi menghalau lampu itu. Segera kulangkahkan kaki sebelum tangan besar itu kembali mendorong. Aku takut kalau dorongan lagi malah akan membuat aku terjerembab ke lantai semen ini.

Aku kepayahan dan rasanya kematian akan lebih baik dari yang aku alami sekarang.

Kembali kudengar suara besi nyaring di lorong itu. Besi yang terbuka untukku dan dari sanalah aku keluar untuk mencari penemuku.

"Masuk." Pria berkumis memerintah.

Aku melangkahkan kaki. Masuk keruangan kecil yang hanya memiliki lampu pijar di sana telah berdiri satu sosok besar tegap dengan mata buas yang terlayang padaku. Aku menatap pintu di belakangku. Kembali ingin kutarik diri ke sel sempit milikku dari pada harus berhadapan dengan paras malaikat maut di depan mataku ini.

Dia terlihat sendu dan terluka. Oh tentu saja, dia baru saja kehilangan gadis yang dicintainya. Juga calon buah hatinya yang dia anggap adalah anaknya. Betapa ironis hidup yang dia dan aku jalani.

Sosok bermata biru itu tengah memainkan sesuatu di tangannya. Apa itu pistol?

Aku melotot. Dia akan membunuhku? Segera saja aku membuka pintu di belakangku dengan kekuatan penuh tapi pintunya terkunci dan suara teriakanku tidak ada yang mendengar. Mereka menulikan diri dan aku tahu itu di sengaja. Pria yang bersamaku di dalam ruangan ini pastilah membayar mahal untuk kematianku.

"Tolong.." Aku tidak bisa berkata lebih panjang dari itu.

Pita suaraku telah rusak oleh mereka yang menyiksaku.

Tadinya aku pikir kalau kematian lebih baik dari apa yang aku alami saat ini tapi nyatanya aku masih saja takut akan kematian. Aku ingin menangisi diri tapi sayang, airmata tidak bisa keluar lagi dari mataku. Aku kehabisannya sejak aku memohon agar mereka tidak memasukkan aku ke penjara ini.

Aku merasakan panas di punggungku. Membuat aku segera berbalik dan kutemukan dia memang telah berdiri di sana dengan tatapan menghujam tajam padaku.

"Kau lebih menyedihkan dari sampah sekalipun, April." Dia menyebut namaku dengan jijik.

Aku tidak bisa berkata apapun. Aku tidak bisa mengeluarkan suaraku. Aku telah kehilangan segalanya dan semuanya hanya karena tuduhan dari pria ini. dia menuduh akulah yang membunuh kekasihnya dan itu adalah kesalahan besar.

"Kami baru saja selesai memakamkan Maurin." Beritahunya.

Maurin. Nama kekasihnya.

Kutelan ludah dengan sikap yang coba aku tegarkan. Memandang dia dengan lurus.

Tatapanku mengesalkannya. Membuat aku mendapatkan cengkraman di rahangku. Setiap detiknya, semakin kuat cengkraman itu. Tapi itu tidak menyakitkan aku. Yang lebih menyakitkan buatku adalah matanya yang membenciku. Cinta sialan ini tidak pernah padam. Aku benci diriku akan fakta yang satu itu.

"Aku dengar kau akan mendapatkan hukuman mati? Aku tidak bisa katakan kalau aku tidak bahagia. Tapi jujur saja, aku sedikit merasa tidak bahagia." Dia melepaskan cengkaramannya. Memandang aku dengan keji. "Harusnya kau di hukum dengan lebih menyiksa lagi dari kematian. Tidakkah kau setuju? Mengingat apa yang telah kau lakukan?"

Aku melengos, hal yang tidak sengaja aku lakukan. Tapi hanya cara kecil seperti itu membuat amarahnya bangkit.

Sekarang tangannya berada di leherku. Membuat aku tercekik. Jika hanya melihatku saja dia kesal, kenapa tidak pergi saja dan tidak perlu datang kemari

"Kau harusnya merasa menyesal dengan apa yang terjadi. kau harusnya memohon agar di kubur bersama dengannya sialan! Berani sekali kau masih hidup sampai sekarang!"

Aku tidak dapat merespon dia dengan baik atau sesuai dengan inginnya karena pada dasarnya, aku telah mati rasa untuk segala hal yang ada di sekitarku.

Mati di tangannya atau di tangan algojo penjara akan sama saja. Jadi aku tidak masalah dengan siapa yang akan merenggut kehidupanku. Itu yang membuat aku memejam dan merasakan sakitnya dengan cara yang lebih baik.

Hingga pada satu detik yang kupikir akan membuatku tidak lagi ada di dunia, dia melepaskan aku. Membuat aku jatuh dengan suara batuk yang bahkan lebih sakit dari saat dia mencekikku tadi. Aku berlutut di depannya. Mencoba mengatur nafasku dengan lebih baik.

Dia memasukkan kembali pistol kecilnya ke dalam pinggang celananya lalu dia berjongkok di depanku. "Aku akan menjadi orang pertama yang meletakkan bunga di kuburmu yang tanpa nama. Itu akan menjadi pertanda kalau hubunganku dan kamu telah berakhir. Masa kecil kita hanya akan aku anggap sebagai mimpi buruk semata."

Dia lalu melepaskan aku dengan kasar dan berlalu meninggalkan aku.

Kupikir aku telah mengeringkan airmataku. Tapi ternyata salah besar karena sekarang, aku kembali menangis untuknya.

Terimakasih untuk bunganya Tristan.

***

Cinta Keparat - TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang