Suara ketukan di pintu membuat aku memandang Brady yang sedang sibuk memasak di dapur. Aku tidak pernah menyangka kalau Brady akan memiliki terlalu banyak kemampuan, dari pada menjadi kekasih pendendam. Dia lebih cocok menjadi si serba bisa. Perlahan imej pertemuan pertama kami mulai meluntur.
Aku sedang sibuk dengan popcorn dan juga beberapa kasus yang harus di tangani dalam waktu dekat. Hebatnya serikatku walau aku memilih Granada sebagai tempat bekerja, tapi Sisilia masih menjadi tanggungjawab ku. Membuat aku jengkel karenanya.
"Brad, buka pintunya. Aku sedang tidak dalam kondisi melakukannya."
Brady sudah muncul di pintu dapur yang terlihat menyedihkan. Tempat kami tinggal memang menyedihkan. Salahkan pihak serikatku yang begitu pelit menggelontorkan dana untukku. Apalagi serikatku hanya akan membantu dalam urusan senjata dan juga makan. Soal tempat tinggal adalah menjadi urusan kami. Aku sendiri tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Karena aku tidak biasa tidur di tempat mewah.
Bukan karena aku fobia dengan kemewahan. Aku hanya tidur dua jam dalam semalam jadi kasur empuk hujan gayaku.
"Sebaiknya persiapkan dirimu segera Stefani. Bukankah kita akan pergi ke tempat angker yang aku sebutkan?" Ada satu gelas berisi air di tangan Brady membuat kesan menyeramkan telah hilang sepenuhnya pada dia. Apalagi dengan serbet yang tergantung di pundaknya.
Aku hanya berdecak dengan gelengan. "Buka saja pintunya dan minta Marley menunggu. Aku sedang sibuk dengan urusan daerah yang menjadi tanggung jawabku."
Brady mendengus dan melangkah pergi. Aku kembali sibuk dengan beberapa hal yang membutuhkan persetujuanku. Beberapa kali decakan keluar dari lidahku.
Suara pecahan gelas dan juga teriakan terkejut membuat aku mengangkat kepala. Aku tidak bisa melihat apa yang terjadi karena ada dinding yang menghalangi tempatku dan pintu.
"Di mana dia!?"
Tapi suara tanya dengan intonasi dalam dan mengerikan itu tidak perlu kutanya milik siapa. Aku mengenalnya bahkan walau enam tahun berlalu. Tristan. Aku sungguh meragukan dia. Hanya dua hari dia sudah bisa menemukanku. Aku meletakkan laptop dan ponselku. Segera beranjak dari dudukku dan mendatangi pria yang pastinya mencariku tersebut.
Aku tidak ingin Brad mati konyol. Setidaknya dia lebih berguna saat hidup.
Aku bersandar pada dinding dengan kedua tangan yang bersilang di tubuhku. Menatap tepat kearah mata biru yang sedang melayangkan tatapannya padaku.
"Tidak perlu membunuhnya. Aku di sini. Bukankah aku yang kau cari, Harland?"
Dia memicingkan matanya. Butuh banyak waktu baginya menyingkirkan ketertegunannya saat melihatku. Mungkin perubahanku yang membuat dia seperti ini. Tapi tidak kupungkiri kalau hatiku bertabuh sekarang. Syukurlah aku bisa mengendalikan bagian luar diriku setenang yang aku mau.
Tristan segera menyingkirkan Brady. Membuang pria itu ke lantai dan butuh banyak pengalihan bagiku untuk memutuskan pandangan kami.
Aku menatap Brady. "Kau tidak apa-apa?" Tanyaku dengan peduli yang ku buat-buat.
Brady mengangguk dan mengelus lehernya dengan wajah memerah. Dia seperti baru saja tersedak. Membuat aku harus menahan ringisan untuk hal yang seharusnya tidak dia dapatkan.
"Obati dirimu, Brad." Pintaku.
Segera saja Brady bangun dan meninggalkan aku berdua dengan Tristan. Kupikir dia akan menawarkan setidaknya segelas minuman pada Tristan sebagai bentuk basa-basinya. Tapi dia menghilang bagai di telan bumi. Jadi aku tahu kalau Brady tidak akan setia menunggu aku dan lebih memilih menyelamatkan diri. Lelaki pengecut.
"Masuklah."
Aku berjalan meninggalkan Tristan yang masih diam menatapku. Tentu saja tatapannya sukses aku abaikan. Setidaknya aku bisa memuji diri karena setidaknya enam tahun telah membuat aku belajar untuk mengabaikan pria itu.
Aku duduk di depan laptopku dan menutup layarnya. Tidak ingin mata Tristan menangkap isi laptopku. Sofa persegi panjang itu hanya ada satu dan pria itu memilih berdiri dari pada duduk denganku. Aku tidak terkejut dengan itu.
"Enam tahun menghilang kupikir kau hidup dengan cukup mewah. Tapi sama saja. Menyedihkan."
Oh dia sudah mulai mengeluarkan mulut berbisanya. Aku menyilangkan kakiku dan duduk bersandar dengan santai menatap ke arahnya. Tatapanku lembut namun sinis. Aku sengaja menatap dia ke bawah dan atas. Berlama-lama menatap di antara pahanya yang membuat aku yakin kalau dia sadar ke mana mataku tertuju. Sangat mudah meraih emosinya. Dia bukan orang yang mudah mengendalikan emosinya.
Aku menyeringai. "Kau hebat Harland. Ku dengar kau tidur dengan adik dari mantan kekasihmu."
Dia menatap aku nyalang. Kedua tangannya terkepal kuat. "Tutup mulutmu jalang. Atau kurobek mulut sialan itu."
Aku tertawa kecil. Memainkan lidahku di langit-langit mulut. "Seharusnya kau robek mulutku sejak dulu. Ah dan soal bunga yang kau janjikan padaku, aku tidak menerimanya. Bukankah harusnya kau tepati janjimu."
"Kau hanya jalang kecil yang hidup mengemis pada keluargaku. Berani sekali kau bertingkah di depanku." Mata biru itu meradang. Hanya segaris tipis sisa kesabaran yang di miliknya. Aku bisa melihat darah di matanya dan darah itu adalah milikku.
Aku berdecak tiga kali. Memainkan jemariku dengan gemulai di wajahku, berpose seolah aku tidak terganggu dengan apa yang dia katakan. Dia adalah segala apa yang aku puja dulu tapi sekarang lihatlah kami. Siap saling menumpahkan darah jika itu di perlukan. Dunia memainkan kami dengan sangat hebatnya.
"Bukankah kau tahu ceritanya Harland atau otak kecilmu tidak dapat menampung semuanya? Ibumu mengambil semua harta ibuku dan sebagai imbalannya dia merawatku. Walau Amina mengatakan uang itu telah dihabiskan olehku semuanya tapi aku tahu masih banyak yang tersimpan rapi di bank pribadi miliknya."
Dan aku telah menembus batas sabar itu. Pria ini sangat tidak suka ada yang mengungkit ibunya. Walau wanita itu memang gila harta tapi dia tidak pernah mau ada yang menyuarakan itu secara terang-terangan.
Hanya dua langkah yang di perlukan Tristan untuk berada dijangkauku. Dia sudah berada di atasku. Satu lututnya ada di antara pahaku. Sementara kakinya ada di lantai satu. Mata biru pucatnya menari di pandanganku. Aku tidak mengerjap bahkan saat dia mencengkram rahangku dengan kasar. Aku masih menatap dia dengan wajah datarku. Sementara dia menatap aku dengan nafas memburu yang bahkan bisa di rasakan oleh wajahku. Dia siap membunuhku detik itu juga.
"Kau benar-benar parasit yang harusnya tidak pernah datang ke rumahku. Harusnya ku bunuh kau saat ada di ruangan itu agar kau tidak menjadi-jadi seperti sekarang. Akan kubuat kau menyesal telah membangkitkan amarahku, Stefani. Kau akan membayar untuk setiap luka yang telah kau sebabkan padaku. Akan kubuat kau membayarnya lebih mahal dari harga nyawamu."
Aku tersenyum dengan lebar. "Aku menantikannya." Ujarku dengan bisikkan dalam.
Wajahnya dan wajahnya lebih dekat hingga suara pintu membuat Tristan mengerjap.
"Pintunya tidak di kunci dan.. apa yang terjadi?"
Aku menatap di balik bahu Tristan. "Kau sudah datang Marley." Ujarku dengan tatapan lurus ke arah polisi itu. "Suruh orang ini menyingkir dariku. Suasana hatiku buruk karenanya." Tambahku dengan nada meremehkan.
Segera saja Tristan bangkit dari sofa. Merapikan dirinya dan menatap aku sekali lagi dengan tatapan membunuhku.
"Tunggu waktunya."
Hanya itu yang dia katakan dan dia pergi meninggalkan aku yang berdetak dengan kurang ajar. Tadi itu cukup dekat. Hiburku pada diriku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Keparat - Tamat
Action=> Tamat Watty, versi lengkap ada di playstore cari dengan kata kunci Enniyy atau langsung tulis judulnya saja. 6 tahun yang lalu April Stefani Declas harus meninggalkan Granada demi insiden pembunuhan yang menyebabkan dirinya sebagai tersangka. Sa...