Chapter 12

5K 657 43
                                    

Suara ketukan pintu di mana aku masih berdiri di sana terdengar. Suara Brady ada di balik pintu mengumumkan kedatangannya. Aku membuka pintu untuknya dan berjalan segera meninggalkan pintu setelah Brady di dalam dan telah menutup pintunya.

Aku duduk di atas ranjang. Memperhatikan Brady yang membawa kota obat dengan laptopnya.

"Ada apa?"

"Perbanmu." Dia mengangkat sedikit kotak obat itu untuk memberitahu aku apa yang membuat dia ada di sini.

Aku memutar bola mata. "Kupikir aku sudah tidak akan di recoki lagi dengan lukaku."

"Saat dulu kau tidak bersamaku, tidak masalah kau perhatikan atau tidak lukamu. Tapi sekarang kau bersamaku dan kau terluka juga karena kecerobohanku jadi aku tidak akan mendengarkanmu."

"Lakukan dengan cepat Brad. Aku butuh istirahat." Puraku.

Dia berdecih. "Kau pikir aku tidak tahu kalau kau tidur hanya beberapa jam setiap malamnya?"

"Oh kau memata-matai ku rupanya."

Brady mendekat dan berdiri di depanku. Kami membelakangi pintu di mana pintu itu tepat ada di punggungku.

"Kita tinggal satu atap Stefani. Kalau aku tidak tahu apa-apa, barulah kau harus heran. Tapi aku hampir tidak tidur memikirkan segala rencana kita dan kau sibuk dengan duniamu bermain tebak-tebakan di layar ponselmu. Aku tahu kau melakukannya karena kau tidak bisa tidur."

"Tebakan yang tepat. Aku memang mengalami insomnia akut."

"Sudah coba memeriksa ke dokter?" Tanyanya dengan tangan yang sudah membuka kotak obat.

Aku meraih resleting gaunku dan menurunkan gaun itu sampai sebatas pinggang. Memperlihatkan dadaku yang hanya terbungkus bra tanpa tali tapi Brady tidak terlihat terganggu. Dia kebal. Mungkin juga karena kami hidup satu atap selama ini. Pria itu hanya fokus pada lukaku.

Aku membiarkan kedua tanganku berada di belakang tubuhku. Mencoba membuat Brady tidak kewalahan dengan perutku.

"Sudah pernah. Beberapakali. Tapi tidak membantu." Kujawab dia soal tanyanya tentang insomnia ku.

"Mungkin kau harus bertemu dokter yang tepat."

Aku mendengus. "Mereka sama saja. Dengan saran yang sama dan juga obat yang sama. Setidaknya insomniaku membuat aku lebih mudah dengan pekerjaan yang aku geluti. Aku tidak perlu takut jika targetku berkeliaran di tengah malam."

Kali ini Brad yang mendengus. Menirunkan gayaku. "Maksudku bukan dokter semacam itu tapi seorang pria. Mungkin pria yang mematahkan hatimu."

"Kutub Utara akan lebih dulu membeku jika dia mau dekat denganku."

"Lukamu terbuka, Stefani. Jahitannya salah. Ini pasti karena pelukan Alexandre dan juga apa yang di lakukan Tristan." Suara Brady kelabakan yang ku respon dengan kepala mendongak dan mata terpejam.

"Itu tugasmu untuk membuat lukanya kembali tertutup dokter pribadiku." Candaku.

Dan Brady tenggelam dalam lukaku. Sedang aku tidak terlalu menanggapinya. Aku sibuk dengan khayalanku sendiri. Jika aku berhasil dengan kasus ini maka aku akan meminta izin libur dan bersantai di Hawaii. Atau aku bisa ke Rio? Oh segalanya akan indah pada saatnya nanti. Segala masalah yang ada di Granada tidak akan pernah menggangguku sama sekali.

Suara pintu yang terdorong keras dan juga suara yang datang setelahnya hanya membuat aku membuka mata. Aku tidak berbalik melihat siapa yang membuat kekacauan itu. Suaranya cukup memberitahuku.

"Apa kalian sudah selesai melakukan 'oral seks'?"

Suara itu milik Tristan.

"Brad.."

"Lukanya belum selesai kujahit." Beritahu Brad.

"Selesaikan nanti. Keluar saja dulu."

"Tapi.."

"Brad. Lakukan."

Brad melangkah pergi dari kamarku. Kudengar suara pintu yang di tutup dan aku tahu kalau Brad yang melalaikannya. Aku masih menatap kearah jendela kamar dan tidak memutar tubuhku untuk berhadapan dengan Tristan.

Suara kekehan kecil terdengar di belakangku. Aku menekan lukaku dengan kain kecil yang di tinggalkan Brad. Tapi kain itu juga sudah basah oleh darahku. Yang baru aku tahu rupanya darahku memang keluar cukup banyak.

"Apa yang kau lakukan di sini Tristan. Ingin menghangatkan ranjangku?"

Akan kubuat dia marah sampai keluar dari ruangan ini. Dia tidak boleh melihat lukaku. Akan terlalu banyak tanya yang nanti diberikannya. Aku benci rasa penasaran pada diri seorang Tristan Harland. Rasa penasarannya akan membuat semua rencanaku kacau berantakan. Apalagi jika rencana itu menyangkut temannya.

"Pikirmu aku pengganti bajinganmu itu?" Dia berkata sinis.

Tanganku sibuk menghentikan pendarahan di perutku. Membuat tanganku bergetar. Berengsek, kukira lukanya tidak akan separah ini. Itu hanya sayatan pisau.

"Kau tidak perlu menjadi pengganti Tristan. Kau bisa menjadi satu-satunya di atas ranjangku. Kau tinggal meminta, aku bisa menyingkirkan pria itu untukmu."

Tristan meludah. "Akan lebih bagus jika kita di ranjang itu dengan tubuhmu yang di penuhi darah. Bagaimana menurutmu?"

Aku tertawa langsam. Kehilangan setengah dari tenagaku. "Boleh juga. Aku akan dengan sukarela berdarah untukmu tapi aku yakinkan hanya di bagian tengah tubuhku. Tepat di antara kedua pahaku. Setuju?"

"Kau sukses menjadi jalang April." Dia  terdengar takjub. Tapi syukur dia diam di tempatnya. "Apa kau keluar dari Granada dan menjual tubuhmu untuk hidup?"

"Aku menjual jiwaku, Tristan. Aku telah menjual jiwaku demi bisa menjauh darimu. Demi agar kau tenang tanpa aku di sisimu. Tidak ada yang lebih menyakitiku dari caramu menatapku seperti aku adalah pengacau dalam hidupmu. Aku terluka Tristan, aku sangat terluka."

"Kini kau berpura-pura menjadi korban atas apa yang kau lakukan?"

"Ya. Sejauh ini aku telah menanamkan diriku menjadi predikat tersangka. Tapi kau harus dengar Tristan, kau adalah pecundang sejatinya. Kau menyalahkan aku atas rasa cintamu padaku. Kau menyalahkan aku hanya karena aku ada di tempat di mana wanita itu meninggal. Kau juga menyalahkan aku karena aku tidak bersalah. Tidak hanya kejam tapi kau adalah kesalahan terbesarku."

Dia mendengus geli. Seakan aku telah menghiburnya dengan lelucon pribadiku. Aku berharap dia cepat keluar dari tempat ini. Darahku benar-benar terpompa. Darah yang tidak bisa keluar dari siang karena perban yang di berikan Brady kini mulai mengambil keputusan mengeluarkan dirinya. Aku menekan dengan cukup baik tapi kain itu terus merembes.

"Kau selalu percaya kalau aku mencintaimu. Entah dari mana asal kepercayaan ini bahkan setelah apa yang aku lakukan, kau tetap percaya. Itu membuat aku berpikir kalau kau sepertinya memiliki sakit jiwa."

"Tenang saja Tristan. Segera, akan aku buktikan sekuat apa cintamu padaku. Akan kubuat kau jatuh berlutut di bawah kaki.."

"Sudahlah. Aku muak mendengar segala omong kosongmu. Aku kemari hanya untuk memperingatkan mu. Lebih baik cepat tinggalkan tempat ini dan enyah dari kota ini. Aku tidak segan-segan untuk melukaimu jika kau masih saja mengganggu hidupku apalagi dengan kepercayaan bodoh yang kau tanamkan di dalam dirimu."

Aku tidak menjawabnya. Hanya kuberikan bibirku seulas senyum yang tidak akan pernah dia lihat. Suara sepatunya telah pergi meninggalkan aku dan aku jatuh ke atas ranjang. Tertidur di sana dengan lelap yang mendekap aku hangat.

Segala hitam pekat ini lebih menenangkan dari warna-warna lainnya.

Cinta Keparat - TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang