Chapter 9

4.8K 638 16
                                    

Suara terjangan terdengar di belakangku. Aku masih berlutut dengan tangan memegang perutku, Brady ada di depanku dan sedang menatap aku dengan mata membulat tidak percaya. Dia benar-benar tidak bisa membuat dirinya berguna.

"Aku akan menelepon rumah sakit." Ujarnya dari segala kalimat yang bisa dia katakan.

"Berikan aku kain apapun dan jangan menelpon siapapun. Cepat!" Seruku sedikit kesal.

Kakiku sepertinya keseleo karena aku berputar terlalu cepat demi menyelamatkan si bodoh Brady yang hampir mati tertusuk. Itulah yang membuat aku terjatuh dan bukannya luka sayatan di perutku ini. Tapi Brady malah pucat dan seolah aku akan mati saja.

Aku melihat Marley sudah berhasil membekuk entah itu Alfonso atau siapa. Aku tidak mengenal Alfonso dengan baik jadi aku tidak bisa mengenalinya sekarang. Apalagi dengan setengah wajah yang tertutup hoddie yang di pakainya.

Brady ikut berlutut di depanku. Dia sudah membuka kemejanya dan menyisakan kaos tipis di tubuhnya. Aku menatap dia tidak percaya.

"Aku tidak punya kain lain." Ujarnya menjawab kata tanpa suaraku.

Tahu kalau dia benar membuat aku mengambil kemejanya dan menekan perutku. Membuat darahnya tidak keluar lebih banyak, cuaca juga sedang terik jadi darahku terpompa dengan cukup baik. Sempurna sekali. Aku berdiri dengan tertatih dan sigap Brady membantu. Masih dengan wajah keruhnya yang membuat aku malah lebih berniat meyakinkan dia kalau aku baik-baik saja.

"Dia bukan Alfonso."

Suara Marley terdengar mendekat. Aku mengarahkan pandangan pada pria yang sedang dibawa Marley mendekat.

Aku tersenyum. "Kau di kirim rupanya. Siapa bosmu?" Tanyaku pada pria yang telah melepaskan tudung hoddienya.

Mata pria itu menatap aku dengan keji. "Aku tidak akan menjawabmu. Bagus kau bunuh aku."

"Green bukan?" Tanyaku lagi.

Pria yang seumuran dengan Marley itu tampak terkejut tapi segera mengenyahkan keterkejutannya. Dia memasang wajah datarnya lagi, sayang dia terlambat. Aku telah tahu jawabannya.

"Sepertinya pria tua itu tahu kau sudah mendaratkan kakimu di Granada. Dia sangat cekatan. Mengirim pembunuh bayaran untukmu." Brady terlihat memerah dengan apa yang aku beritahukan pada dia.

Jelas Brady juga tahu kalau aku benar.  Dia pasti mendugakan hal yang sama sepertiku. 

"Eh Mr.. kau tahu hukuman atas apa yang kau lakukan pada si tidak berguna ini?" Aku menunjuk Brady dengan ibu jariku.

"Kau pikir aku peduli." Pria itu berdecih.

"Ck ck ck. Keras kepala. Jangan serahkan dia ke polisi. Aku butuh namanya dan juga siapa yang dengan berani melahirkan seorang pecundang seperti dia."

Mata pria itu melotot. "Apa maksudmu."

Aku mendesah dengan keras. "Tidak akan kukatakan."

Pria itu hendak maju padaku tapi Marley dengan sigap menahannya. Harusnya dia biarkan pria itu maju agar bisa ku tampar dia dengan darahku. Pria kurang ajar. Beraninya menyerang dari balik bayangan saja.

"Kau pikir aku akan termakan omonganmu? Kau hanya menggertakku saja agar aku memberitahumu siapa yang membayarku. Aku tidak takut padamu jalang." Suara pria itu marah.

"Sudah dua orang yang mengatakan aku jalang hari ini. Kau menambah kekesalan hatiku sialan." Aku menatap Brady setelah mengatakan semua itu. "Brad, cari seluruh anggota keluarganya. Lebih bagus kau temukan orang tuanya kalau masih hidup. Aku perlu memberitahu ibunya tentang cara yang tepat mendidik seorang anak." Perintahku.

"Baik."

"Apa yang akan kau lakukan? Keluargaku tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang aku lakukan. Mereka tidak bersalah!"

"Bawa dia pergi Marley. Dia membuat aku telinga."

Marley menarik lengan pria itu dan menyeretnya pergi. Masih ku dengar segala umpatan kemarahan dari mulutnya yang tentu saja aku abaikan. Sudah kerapkali aku mendapatkan umpatan dari orang-orang yang bermusuhan denganku.

"Kau yakin kita tidak harus ke rumah sakit. Darahmu.."

"Hentikan Brady. Jika setiap aku terluka membuatmu histeris maka sebaiknya kembali saja ke Sisilia dan biarkan aku menyelesaikan semuanya di sini. Aku akan membalas dendam untukmu. Aku janji." Kucoba menyebarkan diri.

Brady menggeleng. "Tidak. Aku tidak akan memaksamu ke rumah sakit."

Aku berjalan dengan tertatih. Kakiku sakit dan itu membutuhkan tenaga tambahan untuk melangkah. Brady dengan sigap membantuku. Dia meraih lenganku dan mengalungkan lenganku di lehernya. Dia membantu aku berjalan dengan perlahan dan sialnya kami akan melewati terlalu banyak anak tangga untuk luka kecil ini.

"Apa kau sering mendapatkan luka seperti ini dalam tugasmu, Stefani?"

Pertanyaan Brady hanya kubalas dengan dengusan. Dia tidak tahu saja seberapa banyak histeris yang aku dapatkan atas luka-lukaku dulu. Ini hanya bagian kecil dari resiko yang harus aku tanggung untuk pekerjaan ini.

"Aku jarang terluka dan andai kau tidak ada di sana maka aku juga tidak akan terluka."

"Maafkan aku." Dia kembali membuat dirinya merasa bersalah. "Seperti katamu, aku harusnya lebih berguna." Tambahnya semakin membuat aku jengkel.

"Tunggu dulu." Aku berhenti saat aku benar-benar penasaran dengan pria ini.

"Ada apa? Kau lelah? Ku gendong saja." Dia sudah menepuk bahunya dan siap akan menaikkan aku ke punggungnya. Sementara tas ranselnya telah dia pindah ke depan tubuhnya.

Aku memukul punggungnya. "Kau pikir aku membutuhkannya?"

Brady akhirnya berdiri dengan tegas. Menatap aku dengan tanya.

"Aku ingin bertanya padamu soal dirimu."

"Soalku?"

"Kau benar-benar salah satu pembunuh bukan? Yang terbaik di Sisilia. Seperi katamu?" Kutiru suara yang sering ia buat untuk membanggakan dirinya.

Dia mengangkat dagunya dengan pongah. Bukannya terlihat seperti apa yang dia harapkan, dia malah terlihat seperti pengguyon yang kerap tampil di panggung sandiwara. Aku ingin tertawa tapi lukaku terasa perih saat aku baru meniatkannya.

"Tentu saja. Sudah kukatakan mereka menyewaku dengan cukup besar untuk menangkapmu dan membunuhmu. Aku pemimpin mereka." Ditepuknya dadanya dengan bangga diri.

Aku tidak bisa melakukan ini. Dia akan membuat aku terluka dengan segala tingkah konyolnya. Salah satu pembunuh terbaik milik Sisilia yang penakut dan juga mudah sekali lari ketika ada bahaya menyerang. Sisilia sangat lemah jika dia memiliki penjahat sekelas Brady.

Tapi aku tidak mau mengonfrontasi lebih jauh. Aku takut kalau segala pembuktiannya hanya akan membuat aku bertambah sakit nantinya.

Aku hanya mengangguk percaya.

Dia kembali dengan sisi lemah lembutnya, di mana tangannya sudah meraih lenganku dan kembali menuntun aku berjalan menuruni anak tangga.

"Di mobil ada perban dan obat." Brady berujar. "Aku akan merawatmu." Tambahnya dengan pelan.

Aku tersenyum tanpa terlihat olehnya. "Ya. Buatlah dirimu berguna."

Kami lalu berjalan meninggalkan gedung itu.

Jika Geraldi Green sudah bergerak maka kedatangan kami telah di umumkan. Aku memiliki beberapa musuh di Sisilia yang berlari ke sini jadi kewaspadaanku harus di tingkatkan.

Enam bulan. Itu terlalu lama.

***

Cinta Keparat - TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang