Chapter 13

4.9K 628 13
                                    

Aku bangun dengan suara erangan kencang dan juga senyum tersungging lebar. Tubuhku terasa sangat ringan dan segalanya seolah penuh dengan bahagia. Bahkan ini adalah tidur terbaik yang bisa aku dapatkan sejak enam tahun hidupku yang menyedihkan. Mata terbuka dan aku sukses melongo saat kudapati dua pria telah ada di depan mataku.

Brady dan Marley.

"Apa yang kalian lakukan di sini?" Kutanya mereka.

Dua orang itu saling berpandangan sejenak dan menghela nafas berbarengan. Yang tentu saja membuat aku tidak mengerti kenapa mereka harus melakukan itu.

Dan apa yang mereka lakukan di kamarku? Tunggu dulu. Ini bukan kamarku.

"Di mana aku? Apa yang terjadi?"

"Kau membuat kami mati ketakutan, Stefani. Kau tidak bernafas dan di penuhi dengan darah. Aku menghubungi Marley dan kami membawamu diam-diam dari rumah itu!" Cerita Brady yang di bumbui dengan kedramatisan. Tipikal Brady.

"Oh.."

"Oh kau bilang? Hanya oh?"

"Brad ayolah! Aku masih hidup dan sehat seperti sedia kala. Tidakkah kau senang akan itu? Atau kau lebih suka aku terbaring lemah di atas ranjang ini?"

Brady memukul kepalanya dengan keras. Aku meringis atas apa yang dia lakukan. Takutnya batok kepalanya akan retak akibat ulahnya itu.

"Beritahu dia Marley. Aku capek bicara dengannya." Brady melengos setelah mengatakannya. Aku hanya mencebik kearahnya. Dasar berlebihan.

"Kau hampir kehilangan nyawamu April. Darah yang terpompa dari tubuhmu sangat banyak dan jika Brady sedikit saja terlambat menemukanmu maka kami akan kehilanganmu." Cerita Marley dengan cara yang lebih lugas dan tidak terkesan di lebihkan.

"Dia yang paling ketakutan saat kau di masukkan ke ruang operasi. Jadi patutlah dia bereaksi seperti ini. Setidaknya kau bisa menghiburnya sedikit." Nasihat Marley.

Aku berdecih dengan spontan. Juga suara spontan. "Dia memang selalu melebihkan semua hal."

Brady ternganga tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Aku sendiri tidak terlalu ingin membuat dia percaya. Setiap hari hidupku bertaruh dengan nyawaku. Jika aku tidak bangun lagi maka itulah batas yang diberikan Tuhan untukku hidup. Jadi aku tidak ingin melebihkan apapun.

Mengingat dulu juga aku kerap ingin mengakhiri hidupku sendiri atas segala hal yang menimpa. Jadi aku tidak keberatan jika Tuhan mengambil nyawaku saat ini juga. Tidak akan ada yang membuat aku enggan meninggalkan dunia ini.

"Apa yang aku lewatkan, Marley?"

"Selain kau tidur selama tiga hari, tidak ada." Jawab Marley. Aku sukses melotot karenanya.

"Tiga hari? Kau bercanda?"

"Itulah. Insomnia ya? Aku tidak akan percaya melihat betapa lelapnya kau tiga hari ini. Sungguh di sayangkan karena aku tidak membuat video untuk sejarah yang kau torehkan." Sinis Brady berkata.

Aku mengabaikan kekanakan Brady.

"Bagaimana dengan pria yang kita temukan di gedung?" Tanyaku pada Marley.

"Bunuh diri."

"Apa?"

"Atau di bunuh sepertinya." Timbal Brady yang makin membuat aku menekan kuku pada telapak tanganku.

"Lalu apa yang akan kita lakukan? Brad akan tetap dalam bahaya dan kita tidak mungkin membuat Green menjadi tersangka. Karena jika itu terjadi maka sudah dapat di pastikan misi rahasia kita akan terbongkar."

Marley manggut-manggut saja. Dia pastinya sepemikiran denganku dan lagipula aku juga masih harus mengatasi Andrew.

"Bagaimana dengan keluarganya, Brad. Kau temukan sesuatu?"

"Seorang ibu dan sudah sangat tua. Pantas saja dia marah saat kau menyebut akan membalas keluarganya. Seperti dugaan kalau dia memang di bayar. Ada uang masuk ke akun pribadinya dengan nominal yang cukup banyak."

"Buatkan aku janji temu dengan Green. Kita harus menyapa dengan sopan bukan?"

"Tidak perlu buat janji temu, Alexandre akan mengadakan pesta. Kita bertemu dengannya di sana." Brady yang sudah beranjak dari kursinya menjawab.

"Pesta?" Aku tidak tahu kalau kakek tua itu akan mengadakan pesta. "Apa yang akan dia rayakan?"

"Tentu saja kehadiran cucu perempuannya tersayang."

"Cucu perempuan? Aku?" Kutunjuk diriku dengan takjub.

Alexandre mengadakan pesta untukku. Apa yang sudah aku lakukan hingga bisa diberikan pesta hanya untuk kehadiranku.

"Apa yang kalian katakan saat aku tidak pulang selama tiga hari?"

"Banyak alasan dan dia bilang kalau kamu harus kembali besok pagi. Karena pestanya akan di adakan malamnya. Sangat lucu kalau orang yang diberikan pesta malah tidak ada di sana." Marley yang menjawabku kali ini.

Brady sibuk dengan segala perlengkapan milikku yang dia masukkan ke dalam tas. Kurasa kami akan segera berangkat pulang ke rumah Harland.

"Kami memiliki kecurigaan kalau Kovaro akan ada di pesta itu. Jadi kau harus berjaga-jaga."

"Berikan saja aku foto yang lebih baik dari sebelumnya. Agar aku bisa membunuhnya saat melihatnya, karena dialah aku terluka." Kesalku.

"Kau tidak di perbolehkan membunuh, Stefani." Marley memperingatkan.

Aku mendengus saja.

***

Kami telah masuk ke rumah besar Harland. Aku tidak menemukan satu tandapun tentang keberadaan penghuni keluarga Harland. Sudah kutanya Gina yang sibuk dengan dekorasi pesta di mana semua pelayan berkumpul untuk mempersiapkan pesta yang akan di adakan nanti malam. Gina bilang kalau seluruh Harland sibuk dengan urusannya masing-masing.

Amina Harland sedang berbelanja keperluan makeup nya.

Alexandre sibuk dengan kantornya dan hanya berpesan kalau aku sudah datang, aku di minta bersiap-siap saja.

Tristan. Dia di rumah. Itu kata Gina tapi entah di mana dia. Masa bodoh dengan dia. Aku sendiri tidak peduli apalagi mengingat percakapan terakhir kami. Sampai tetes darah penghabisan dia membantah perasaannya sendiri.

Aku menaiki tangga. Brady sudah pergi ke kamarnya yang di mana Alexandre menempatkan dia di kamar paling belakang rumah ini. Kamar yang di khususkan untuk sopir rumah. Aku sendiri tertawa dengan apa yang di lakukan kakek tua itu. Tapi Brady sendiri tidak keberatan. Seperti yang di katakan nya kalau kamar itu lebih baik dari tempat tinggal kami sebelumnya. Dia memang benar.

Di tangga teratas aku terhenti. Seseorang menghadangku dan orang itu adalah Renata. Rambut merahnya tampak basah. Dia baru saja selesai mandi? Harusnya dia keringkan dulu rambutnya.

Aku berusaha melewati dia dengan berjalan ke sisi yang berlawanan. Tapi dia malah mengikuti aku dan kini kembali aku berhadapan dengannya yang tentu saja membuat aku berdecak.

"Katakan segera yang kau inginkan." Kataku. Tidak ingin berlama-lama berhadapan dengan wajah yang sama, yang membuat aku menjadi tersangka.

"Jauhi Tristan. Hanya itu."

Aku melongo. Dia serius?

"Kenapa aku harus melakukannya?" Kutanya dia walau aku sendiri tidak paham kenapa dia meminta aku menjauhi pria itu. Kami bahkan tidak sedekat itu untuk bisa saling menjauhi.

"Karena kamu hanya jalang baginya." Setengah dari nadanya mengejek.

Aku memutar bola mata. Telinga telah bosan mendengar kata itu. "Sayangnya aku adalah jalang yang dia inginkan." Kubalas ejekannya dengan kalimat yang tentunya akan membuat dia sakit kepala.

Kudapatkan sakit hatinya dengan sepenuh hati. Apalagi saat tangannya terlayang hendak menampar wajahku. Aku tersenyum menunggu tangan itu. Dia salah menempatkan dirinya.

Cinta Keparat - TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang