Chapter 6

5.4K 624 33
                                    

"Pesan minumanmu."

Marley meminta membuat aku yang sejak tadi sibuk dengan berkas yang dia berikan langsung menatap pramusaji dengan senyum sedikit tersungging.

"Kopi."

"Apa mau saya tambahkan susu atau alkohol?" Tanya pramusaji itu.

"Lakukan apapun yang akan membuatnya enak."

"Baik. Kalau begitu saya permisi."

Aku mengangguk dengan khidmat. Kembali menelusuri seluruh catatan pada kertas tersebut. Melihat tiga foto yang di jajarkan terpisah. Dua pria dan satu wanita.

"Yang mana yang harus kita selesaikan lebih dahulu?" Aku bertanya setelah yakin dengan info penting yang aku dapatkan dari ketiga itu.

Marley menyilangkan kakinya dan bertumpu pada tangannya di mana sikunya di taruh di atas meja. "Pria berambut pirang."

Aku membuka kertas demi kertas untuk mencari pria berambut pirang yang tadi aku tumpuk dengan kertas-kertas lain. Aku menemukannya. Pria dengan wajah kekanakan itu terlihat bahagia dengan senyum lebarnya. Siapapun yang memotretnya pasti itulah yang membuat dia bahagia dan itu adalah seorang gadis.

"Apa kesalahannya hingga dia berurusan dengan polisi?" Kutanya Marley.

Kami memang tidak di haruskan untuk tahu apa dan mengapa kami mambantu pengejaran. Itu adalah hal yang tidak di perlukan. Tapi Marley adalah temanku. Jadi dia pastinya tidak akan keberatan menjawab tanyaku yang ingin tahu.

"Dia pengidap gangguan mental. Skizofrenia. Kau pernah mendengarnya?" Balik tanya Marley padaku.

"Kepribadian ganda?" Tebakku dengan ragu.

Aku kurang tahu dan asing dengan sebutan itu.

Marley mengangguk. Kumisnya bergerak seirama dengan suaranya. "Benar. Dia telah melukai terlalu banyak orang dengan penyakit mental tersebut. Termasuk kekasihnya atau sekarang mantan kekasihnya."

Aku kembali memperhatikan foto pria muda itu. Mantan kekasih? Diakah yang memotret pria ini? Si mantan kekasih.

"Kau mengenalnya."

Aku mengangkat pandangan. Pramusaji itu telah kembali dan sedang meletakkan minuman pesanan kami. Aku menatap Brady yang duduk terpisah dengan kami. Dia sedang melamun. Pria yang sangat melankolis. Pastinya sekarang dia tengah mengingat kekasihnya yang telah tiada.

Seperti aku yang memiliki setengah keping hati yang hancur di Granada. Brady jelas juga memilikinya. Namun kepingan hatinya utuh di sini. Aku heran kenapa dia tidak mau langsung membunuh Geraldi, ayah dari kekasihnya. Tapi malah menunggu. Entah apa yang di tunggunya.

"Siapa?" Tanyaku pada Marley yang menyatakan kalau aku mengenal perempuan itu.

"Renata Green."

Aku tidak terkejut. Tidak banyak yang aku kenal di kota ini jadi saat Marley mengatakan aku mengenalnya maka sudah dapat di pastikan dia orangnya. Keluarga Green sungguh ada di mana-mana. Mereka bagai parasit yang bergantung di seluruh kulit.

"Apa yang terjadi?" Tanyaku mengacu ke hubungannya dengan pria muda yang adalah kekasihnya. Mantan kekasih. Sekali lagi kutegaskan diri.

"Kejadiannya tujuh bulan yang lalu. Renata berhasil menghubungi pihak polisi saat pria itu menculik dan menyekapnya di sebuah ruangan yang sangat kecil. Butuh tiga hari bagi kami untuk menemukannya dan saat itu orang yang berhasil menyelamatkannya adalah Tristan Harland."

Aku mengangguk. Calon kakak iparnya yang berhasil menyelamatkannya. Hebat sekali.

"Renata menghubungi Tristan dan pria itu menemukannya hanya dalam hitungan jam. Kami membantunya dalam pengejaran pada pria muda itu tapi sayang kami kehilangan jejak. Sudah kami minta agar Tristan mau ikut campur dalam pencarian tapi dia angkat tangan. Dia bilang semuanya adalah tugas kami dan tidak ada urusannya dengan dia." Marley bernada pahit.

Aku sendiri tahu tabiat Tristan yang satu itu. Dia jarang ingin membantu, jika itu tidak bersangkutan dengan orang yang dia sayangi. Maka jangan harap mendapatkan bantuan darinya. Dia dingin dan kejam.

"Jadi apa yang kau inginkan serikat kami lakukan? Membunuhnya?"

"Tidak. Kami hanya ingin dia mendapatkan pengobatan. Kami meminta yang terbaik di serikatmu. Awalnya dia mengatakan ada seorang gadis yang tepat untuk tugas itu. Tapi gadis itu tidak bisa menginjakkan kakinya di kota ini."

"Itu aku." Akuku.

Memang sejak awal aku yang mendapatkan tugas ini. Tapi dengan mentah dan tanpa bantahan aku menolaknya. Tidak akan kuinjakkan kakiku lagi di kota di mana aku hancur tidak bersisa. Sayang sekali, gara-gara informasi dari si brengsek Brady aku malah datang kemari.

"Apa yang membuatmu berubah pikiran?" Marley mengetuk meja beberapa kali dalam lontaran pertanyaannya.

"Kau menginterogasiku?" Tanyaku yang paham betul tabiatnya yang satu ini.

Dia tertawa dengan diam. Membuat aku memicing padanya.

"Aku meremehkanmu." Ujarnya.

"Jangan meremehkan aku. Hanya ingat, April yang dulu kau kenal telah mati. Aku membunuhnya." Lugas kujawab dia.

"Baik baik. Aku mengerti." Marley melihat ke arah jam tangannya. Waktu pertemuan telah habis. "Ingat jangan membunuhnya, kami membutuhkan dia hidup-hidup. Kalau kau sudah menemukannya langsung lapor padaku dan aku akan menanganinya."

Aku mengangguk. "Sesuai dengan inginmu."

"Ini kartu namaku."

Marley menyodorkan kartu persegi tipis padaku. Segera ku ambil benda itu dan memasukkannya ke dalam saku jaketku.

"Baiklah. Aku akan pergi sekarang."

Aku berdiri mengikuti Marley. "Hati-hati di jalan."

"Jaga dirimu, April. Senang bisa melihatmu lagi." Dia meletakkan tangannya di atas bahuku.

Hanya bisa kuberikan senyum padanya yang langsung berjalan meninggalkan aku. Segera saja pandanganku di penuhi dengan kehadiran Brady. Dia sudah berdiri tegap di depanku.

"Apakah kita akan membunuh seseorang?" Tanya Brady dengan antusias.

Aku menatap jengah kearahnya. "Tenangkan dirimu Brad. Kita hanya akan menemukan seseorang dan dia berhubungan dengan Renata Green. Mengenalnya?"

Brady mengepalkan tangannya dengan kuat. "Dia adik Maurin? Apa yang terjadi? Apakah dia baik-baik saja?"

Aku menepuk bahu Brady dengan kencang. "Tenangkan dirimu karena dia baik-baik saja. Ada Tristan yang menjaganya."

"Tristan Harland? Bagaimana bisa.."

"Terlalu panjang untuk di ceritakan, Brad. Temukan saja pria itu untukku. Berkasnya ada di atas meja dan kit harus pulang. Aku butuh waktu pribadiku." Aku menggeliat dengan dramatis dan berlalu meninggalkan Brady keluar dari tempat tongkrongan itu.

Brady segera mengejar dengan berkas-berkas di tangannya. Dia membukakan pintu untukku membuat aku memutar bola mataku padanya. Kupikir dia sudah akan berhenti melakukannya.

Tapi tidak kukatakan apapun padanya.

Cinta Keparat - TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang