6. Dihukum Bareng

1.2K 118 4
                                    

"Lu makan apasi sampe beratnya amit-amit !?!"

Jaera mencerca kotak berbahan dasar kayu yang kelihatan ringan, tetapi tentu saja cover hanya ilusi semata. Kotak yang kini di tangan cewek dengan kuncir asal itu beratnya menyamai satu kantong beras.

Mungkin menurut beberapa dari kalian tidak terlalu berat, tetapi untuk seukuran cewek krempeng seperti Jaera tentu saja itu sangat berat.

Jeno yang sedari tadi mendengar omelan dari Jaera itu tersenyum gemas, ia menghampiri si cewek lalu mengambil kotak yang semula berada di tangan Jaera kini berada di tangan dirinya.


"Kok diambil!?" Jaera bertanya kesal -- sebetulnya rasa kesal dengan kotak itu belum hilang -- teruntuk orang yang berjalan di depannya.

Yang ditanya meletakkan kotak kayu, lalu membalikkan tubuhnya. "Kasian lu nya," jawab Jeno. "Makanya makan yang banyak, abis pulang gua ajak makan dah."

Jaera mendengus, "lo ngeremehin gue ternyata, blom tau juga siapa gue sebenernya."

"Gua tau,"

"Saha?"

"Manusia,"

"Salah,"

"Setan?"

"Lo kalik setan!"

"Lah kok marah? Kan tadi lu nanya,"

"Tau ah semua cowok sama aja,"

Jaera melipat kedua lengannya, lalu berjalan cepat meninggalkan tempat penyimpanan alat olahraga menuju lapangan. Pekerjaan mereka untuk merapikan di sana sudah usai.

Cowok rambut hitam itu pun menyusul perginya teman perempuan nya, dengan tangan yang membawa dua buah kertas bertuliskan "SAYA BERJANJI TAK AKAN MENGULANGI KESALAHAN YANG SAMA". Sesuai instruksi dari Pak Sipit.

Jeno memandangi Jaera yang berjarak 1 meter dari dirinya. Angin secara tiba-tiba datang, membuat rambut panjang Jaera yang terurai menjadi melambai, membuat si empunya marah-marah sendiri. Jeno yang melihat itu terkekeh kecil lalu segera menghampiri teman karibnya itu.

"Nih," kata Jeno sambil menyerahkan satu kertas yang ada tulisannya.

"Thanks," kata Jaera judes mengambil kertas itu lalu mulai mencoba untuk memasang kertas itu ke belakang tubuhnya. Tetapi rasanya susah sekali.

"Mau dibantuin gak?" Tanya Jeno yang sudah selesai memasang kertas miliknya. Entah bagaimana cowok yang satu ini melakukan dengan cepat.

Jaera yang gengsi itu pun menggeleng. "Gak w bisa sendiri." Kemudian dia kembali mencoba walau hasilnya tetap nihil.

"Em oke deh, gua duluan ya." Jeno sengaja pergi dari sana karena ia ingin tau sampai kapan cewek itu gengsi.

Tetapi anehnya walau sudah berjalan cukup lama, Jaera tak kunjung memanggil nya. Jeno segera menoleh kan kepala, betapa terkejutnya dia saat melihat sosok cowok tinggi sedang membantu Jaera memasang kertas di balik tubuh nya.

Tanpa berfikir panjang, Jeno segera berlari pelan menghampiri kedua oknum yang sedang mengobrol ria. "Ayo Ra!" Menarik pergelangan tangan Jaera, ia segera membawa temannya itu menyingkir dari sana walau Jaera sempat berontak.

Setelah lumayan lama berjalan, Jaera melepaskan pegangan Jeno dengan kencang. "Lo napa sih bawa gue kek gitu sih?!" Tanya Jaera sambil mengusap pergelangan tangan nya yang sedikit sakit.

Jeno yang baru menyadari apa yang barusan ia lakukan itu mengumpat dalam hati, lalu berusaha untuk mencari alasan yang logis. "Em, anu..."

"Apa?"

Jeno memperhatikan sekitarnya, dia sadar bahwa kini keduanya berada di titik awal untuk mengerjakan hukuman. "Ayo cepetan kerjain hukuman, kalo telat lo tau kan apa akibatnya?"

Yang ditanya melongos malas, "tapi lo ga perlu kayak culik gue kalik. Lagian kan tadi Jendra mau ngajak gue buat kerjain hukuman bareng, dia juga ga bakal telat orangnya."

Mendengar itu, Jeno sedikit kesal, tapi dia berusaha untuk menutupi hal tersebut. "Yaudah, kan sekarang lo sama gua. Jadi ayo larinya bareng gua."

"Iya-iya," tak punya pilihan lain, akhirnya Jaera pun mengikuti apa yang Jeno mau.

Mereka pun mulai melakukan peregangan lalu mulai berlari secara beriringan. Ide untuk mengisengi Jaera tiba-tiba saja muncul di benak Jeno. Ia berniat untuk lomba lari dengan oknum di sebelahnya itu.

Beberapa detik kemudian, Jeno mulai mempercepat larinya. Membuat Jaera terheran. "Kok lo kecepatan sih!?" Tanyanya.

"Lo nya aja yang lemot," Jawab Jeno tanpa menoleh.

Mendengar hal itu, Jaera merasa geram. Mempercepat langkahnya, akhirnya ia berhasil berada di depan Jeno. "Ngaca dulu bos!"

Jeno tersenyum sekilas lalu mempercepat larinya lagi dan kini ia berada di jalur depan. "Wle," ejeknya sambil menoleh ke arah Jaera.

"Anj--" Jaera yang tipe orang gasuka di ejek itu berusaha berlari secepat mungkin.

Di sisi lain, terlihat cowok yang berdiri di samping tiang bendera dengan tangan terkepal. "Sia-sia gua bohong kalo ga kerjain PR, gara-gara lo Jen."

Krek

Jaera masuk perlahan ke dalam rumahnya. Hawa dingin serta atsmosfer yang tak enak mengelilingi dirinya. Menghela nafas perlahan, ia pun segera berjalan pelan menuju kamarnya di lantai atas.

Sesampainya di rumah, Jaera merenung. Ayah dan bundanya sebentar lagi akan bercerai. Dan dia tidak tau untuk memilih di antara mereka berdua. Ini adalah pilihan tersulit di hidup nya.

Membuka lemari nakas di samping kasur, Jaera mengambil sebuah bingkai foto berisikan foto satu keluarganya. Jaera rindu masa itu. Rindu sekali. Sedetik kemudian, air mata Jaera jatuh tanpa diperintah sembari memeluk bingkai foto bertuliskan "family" .

***

haii semuaa, maaf baru sempat up. makasii ya buat yang udah ingetin. dan makasih sebanyak banyak nya yang udah ingetin aku untuk up cerita ini.

semoga chapter ² berikut nya bakal cepet up nya yaa. soalnya akhir-akhir ini aku lagi ngejar dl.

see u di chap selanjutnya, ddah !❤️








Just Friend | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang