BAGIAN 8

988 41 0
                                    

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat melesat mengejar Raden Segara yang kabur membawa lari Dewi Wila Marta. Meskipun bayangan manusia setengah raksasa itu sudah tidak terlihat lagi, namun Pendekar Rajawali Sakti masih bisa melihat arah kepergiannya.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti memang sudah mencapai taraf sempurna, sehingga dalam waktu tidak berapa lama sudah sampai di perkampungan aneh. Perkampungan yang lebih tepat disebut benteng pertahanan. Namun Rangga tidak berhenti sampai di situ. Dia terus menuju ke arah Timur, menerobos lebatnya semak belukar dan pepohonan yang merapat, menambah gelapnya suasana.
Rangga baru berhenti setelah di depannya terlihat sebuah bangunan besar bagai istana, yang dikelilingi tembok benteng tinggi dan tebal. Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah perlahan mendekati pintu gerbang benteng yang nampak terbuka lebar, seakan-akan sengaja memberi peluang untuk dimasuki. Namun Rangga tidak gegabah begitu saja. Dia berhenti sekitar tiga batang tombak jaraknya di depan pintu gerbang benteng istana itu.
Slap...!
Mendadak seberkas cahaya merah meluncur dari dalam benteng istana itu. Sinar merah yang begitu terang, meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Bergegas Rangga melompat, dan berputar sekali di udara. Cahaya merah itu meluncur deras dalam putaran tubuhnya. Dan begitu kakinya mendarat di tanah, kembali datang dua sinar merah sekaligus. Rangga terpaksa beriompatan kembali di udara menghindari terjangan sinar-sinar merah itu. Suara ledakan terdengar beruntun, disusul tumbangnya pepohonan yang terlanda sinar-sinar merah itu.
"Rangga, kemari...!"
Tiba-tiba terdengar suara panggilan keras dari belakang. Pada saat itu, Rangga baru saja menjejakkan kakinya di tanah. Dia langsung menoleh, dan seketika kembali meluncur seberkas sinar merah dari dalam benteng istana.
"Awas..!" terdengar seruan kecil, namun terdengar jelas.
"Hup! Hiyaaa...!" Terlambat....
"Akh...!" Rangga memekik keras agak tertahan. Tubuhnya terlontar beberapa tombak ke belakang.
Sinar merah itu tepat menghantam dada Pendekar Rajawali Sakti, sehingga tubuhnya terlontar ke belakang. Dua batang pohon yang sangat besar langsung tumbang terlanda tubuh pemuda pendekar itu. Belum lagi Rangga sempat bangkit, tiba-tiba melesat satu bayangan kuning keemasan, langsung menyambar tubuh Pendekar Rajawali Sakti dan membawanya pergi dari tempat itu. Tepat, pada saat itu kembali seberkas cahaya merah melesat, menghantam tempat tadi Rangga tergolek. Sedangkan bayangan kuning keemasan itu sudah membawa Rangga cukup jauh dari perkampungan bagai benteng itu. Dibaringkan kembali tubuh Pendekar Rajawali Sakti di tempat yang cukup aman.
"Ugh!" Rangga mengeluh pendek begitu dia merasakan tubuhnya kembali terbaring di tanah.
Rangga berusaha bangkit, tapi sebentuk tangan halus mencegahnya. Pendekar Rajawali Sakti itu memandang seraut wajah cantik bagai bidadari kahyangan. Pakaiannya begitu indah terbuat dari sutra halus yang penuh terhias sulaman benang emas. Wanita itu memberikan senyum yang begitu manis menawan.
"Ratu Mutiara...," desis Rangga seraya berusaha bangkit, tapi kemudian meringis karena dadanya nyeri sekali.
"Jangan bangun dulu. Tetaplah berbaring," kata Ratu Mutiara lembut.
Rangga tidak bergerak lagi. Dirasakan sepasang tangan yang halus dan lembut menekan dadanya. Perlahan-lahan seluruh rongga dadanya serasa jadi dingin. Namun sesaat kemudian mendadak seluruh dadanya jadi sesak, dan tulang-tulangnya seperti diremas. Begitu menyakitkan, membuat Pendekar Rajawali Sakti itu meringis menahan rasa sakit yang luar biasa.
"Hoek...!" Rangga memuntahkan darah kental kehitaman.
Ratu Mutiara melepaskan tangannya. Saat itu Rangga merasakan seluruh rongga dadanya kembali longgar, dan napasnya pun kembali teratur. Tidak ada lagi rasa nyeri dan sakit di dadanya, bahkan kini sudah bisa bangkit dan duduk bersila. Ratu Mutiara juga tetap duduk di depan Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Apa yang terjadi padaku?" tanya Rangga seraya meraba dadanya.
"Kau terkena ilmu pukulan jarak jauh yang mengandung racun mematikan. Tapi bukan karena itu. Dalam pukulan itu tersimpan sebutir mutiara merah," sahut Ratu Mutiara.
"Mutiara Merah...!" Rangga jadi teringat batu-batu mutiara yang selalu ada pada setiap kening manusia-manusia setengah raksasa itu.
"Mutiara kehidupan yang juga mematikan."
"Aku tidak mengerti maksudmu?"
"Memang sukar untuk dimengerti bangsa manusia. Itu sebabnya aku pergi dari puri menemuimu," kata Ratu Mutiara.
Rangga semakin tidak dapat memahami kata-kata Ratu Mutiara tadi. Benaknya kini dipenuhi bermacam dugaan. Sedangkan Ratu Mutiara hanya tersenyum, seolah bisa membaca yang ada di dalam benak Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Aku dan seluruh rakyatku sebenarnya bukan bangsa manusia seperti yang kau lihat. Demikian pula dengan Raden Segara dan pengawal-pengawahnya. Sebenarnya kami semua termasuk bangsa siluman yang tidak bisa terlihat oleh manusia. Tapi karena ulah Raden Segara, semuanya jadi seperti melawan kodrat alam," kata Ratu Mutiara mencoba menjelaskan.
Rangga mencoba menangkap penjelasan yang sukar dipahami ini.
"Sejak nenek moyang kami diciptakan, antara bangsaku dengan bangsa Raden Segara sudah terjadi permusuhan. Dan itu tidak akan dapat terselesaikan hingga akhir jaman. Aku sendiri menjadi ratu sejak ribuan tahun lamanya. Demikian juga Ayah Raden Segara. Meskipun kami semua bangsa siluman, tapi kami hidup seperti layaknya bangsa manusia. Bisa berkembang biak, dan juga dapat mati. Dan semua itu sudah takdir. Hanya para pemimpinlah yang tidak akan mati kalau tidak menyalahi kodrat yang telah digariskan. Dan semua kodrat yang telah digariskan Sang Pencipta itu telah dilanggar Raden Segara." Sedikit-sedikit Rangga mulai bisa memahami.
"Sejak pertama kali diciptakan, antara bangsaku dengan bangsa Raden Segara tidak akan bisa bersatu. Tapi Raden Segara tidak peduli. Dia tetap ingin menyuntingku sebagai istrinya. Tentu saja aku menolak, karena tidak ingin menyalahi kodrat yang telah digariskan. Raden Segara tidak bersedia menerimanya. Maka, dicurilah mutiara-mutiara merah yang menjadi kekuatan kehidupan dan kematian bangsa siluman. Mutiara merah itu bisa menjadi lambang kekuatan kehidupan abadi jika digunakan secara benar, tapi juga bisa membuat kematian bila digunakan secara salah. Mutiara Merah itu juga tidak akan berguna banyak bagi bangsa manusia, dan akan musnah kekuatannya oleh bangsa manusia jika sudah mengetahui letak penanamannya."
"Maksudmu?" tanya Rangga ingin lebih jelas.
"Kau sudah tahu di mana letak mutiara merah itu berada, bukan?" tanya Ratu Mutiara.
"Ya," sahut Rangga.
"Letak yang sebenarnya bukan di antara kedua mata, tapi di dalam hati. Ini maksudnya sebagai sumber dari segala pusat kehidupan setiap makhluk siluman. Dan hal itu kemudian diketahui Raden Segara. Kemudian, diculik dan dibunuhlah bangsaku untuk diambil mutiara merahnya, lalu dikenakan pada pengawal-pengawalnya di antara kedua mata mereka. Dia sendiri juga mengenakannya. Itulah sebabnya kenapa dirinya dan para pengawalnya bisa berubah menjadi setengah raksasa. Itu tak lain karena kesalahan dalam penggunaan yang sebenarnya sudah diketahui, tapi tetap dilanggar. Kau tahu, hatinya begitu culas dan selalu ingin berkuasa...."
"Terutama untuk mendesakmu menerima lamarannya. Bukan begitu?" tebak Rangga mulai mengerti.
"Benar! Tapi dia sangat kecewa karena aku tetap pada pendirianku. Yang jelas, aku tidak mau menentang kodrat yang telah digariskan. Aku sudah ditentukan akan menikah dengan seseorang, tapi bukan pada saat-saat sekarang ini. Malah calon suamiku belum jelas berada di mana. Yang pasti, aku akan menikah dengan bangsa siluman juga. Tapi bukan dari lawan-lawanku, seperti bangsa siluman Raden Segara."
"Hm.... Aku masih belum mengerti, kenapa mereka.... Maksudku Raden Segara mengambil mutiara merah dari bangsamu?" tanya Rangga.
"Raden Segara tahu, kekuatan bangsaku berada pada mutiara merah yang tertanam di hati. Tanpa mutiara itu sudah sejak lama kami musnah, dan jumlah mutiara itu pun terbatas. Makanya setiap ada bangsaku yang mati, mutiaranya kusimpan untuk diberikan pada yang baru lahir. Bisa kau bayangkan jika semua mutiara merah berhasil dikuasainya. Semua bangsaku akan musnah. Dan itu bukan saja membahayakan seluruh bangsa siluman lainnya, tapi bagi kehidupan manusia! Karena, dari mutiara merah itu mereka bisa terlihat jelas oleh manusia. Dan kau tahu sendiri, mereka tidak mudah untuk dikalahkan."
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda mulai bisa mengerti duduk persoalannya. Pantas saja sejak pertama kali datang, dan saat menerima pesan-pesan aneh yang membingungkan, sudah dirasakan adanya kelainan. Terlebih lagi setelah menginjakkan kakinya di daerah Selatan ini. Daerah yang masih diselubungi hutan lebat yang tidak terjamah manusia.
"Apa yang kau pikirkan, Rangga?" tanya Ratu Mutiara.
"Hm," Rangga bergumam saja.
"Katakan, dengan senang hari akan kujawab. Sudah kutetapkan, kau harus tahu semuanya karena telah terlibat langsung dalam persoalan ini."
"Hm...," kembali Rangga bergumam, seperti mencari kata-kata yang tepat agar tidak menyinggung perasaan wanita ini.
Sedangkan Ratu Mutiara menunggu sabar. Bibirnya selalu menyunggingkan senyum, meskipun tidak sedang tersenyum.

29. Pendekar Rajawali Sakti : Mutiara Dari SelatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang