BAGIAN 7

835 35 0
                                    

Dewi Wila Marta bersungut-sungut seraya bangkit berdiri. Dibersihkan debu yang melekat di bajunya. Sedangkan Rangga berdiri tegak tidak jauh darinya. Pandangan mata Pendekar Rajawali Sakti itu demikian tajam menusuk. Dewi Wila Marta memungut pedangnya yang menggeletak di tanah, dan dlsarungkan kembali di pinggang.
"Sebaiknya kau kembali saja ke Gunung Waja!" ujar Rangga dingin.
"Kalau aku tidak mau?" dengus Dewi Wila Marta ketus.
"Aku yang akan membawamu ke sana. Aku yakin, Resi Kamuka tidak menyukai tindakanmu. Kau telah melangkahi wewenang gurumu sendiri."
"Aku bosan di padepokan terus!" rungut Dewi Wila Marta.
"Kau belum siap terjun ke dalam rimba persilatan, Wila. Masih banyak yang belum kau ketahui. Bekalmu belum lagi cukup. Mengertilah itu, Wila. Dunia persilatan, dunia yang keras. Tidak ada hukum yang bisa mengaturnya. Masing-masing pribadi punya hukum sendiri-sendiri," Rangga mencoba memberi pengertian pada gadis itu.
Apa yang dilakukan Dewi Wila Marta tadi sudah menandakan kalau gadis itu masih terlalu hijau untuk terjun ke dalam kancah persilatan. Terlalu berbahaya bagi keselamatan dirinya sendiri. Dan Rangga tidak ingin gadis itu mati sia-sia hanya karena menuruti kata hati belaka.
"Jurus-jurusmu memang dari Padepokan Arang Watu. Tapi kau belum begitu sempurna memilikinya. Harus lebih banyak lagi belajar, Wila. Kau tidak bisa merambah ganasnya rimba persilatan hanya dengan kepandaian yang setengah. Pulanglah, sebelum semuanya terlambat," ujar Rangga lebih lembut.
"Aku tadi hanya mencoba, kenapa kau menilaiku begitu? Kau pikir aku bocah ingusan yang tidak tahu apa-apa? Kau boleh mengujiku, Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun kau seorang pendekar digdaya, tapi belum tentu mampu menjatuhkanku dalam lima jurus!" tantang Dewi Wila Marta ketus.
"Untuk apa? Aku sudah bisa mengukur, sampai di mana lingkat kepandaianmu!" selak Rangga jadi sengit.
"Sombong! Kau terlalu angkuh, Rangga. Ayo, kita bertarung. Jika mampu merobohkanku dalam lima jurus, aku akan menuruti kata-katamu. Tapi kalau tidak..., jangan harap bisa mengaturku!" tantang Dewi Wila Marta sambil mencabut pedangnya.
Pendekar Rajawali Sakti menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah gadis itu. Rangga sudah sering malang-melintang dalam rimba persilatan. Sudah tidak terhitung lagi, berapa tokoh golongan hitam yang dihadapinya, dan berapa pendekar yang dikenalnya. Seorang tokoh rimba persilatan tidak akan cepat- cepat mencabut senjata kalau tidak terdesak. Sikap Dewi Wila Marta yang langsung mencabut senjata, sudah menandakan kalau gadis itu masih terlalu hijau.
"Aku yakin, baru pertama kali ini kau keluar dari padepokan," tebak Rangga.
"Jangan banyak omong! Ayo lawan aku!" rungut Dewi Wila Marta sengit.
"Tidak ada gunanya menurutimu, Gadis Manis. Dari sikapmu saja sudah menunjukkan kalau kau belum pernah berkecimpung di dunla luar. Apa kau sudah lupa ajaran dari padepokanmu? Seorang pendekar pantang mencabut senjata kalau tidak terpaksa. Dan senjatamu itu sudah menunjukkan kalau kau masih harus lebih banyak belajar lagi."
Sekerika wajah Dewi Wila Marta menyemburat merah dadu. Kata-kata Rangga yang tenang dan lembut sungguh tepat mengenai sasaran. Mendadak, seluruh tubuh Dewi Wila Marta jadi lemas. Pedang yang tergenggam erat, jatuh ke sampingnya. Kemudian tubuhnya sendiri jatuh berlutut.
Rangga menghampiri dan memungut pedang gadis itu. Disentuhnya pundak gadis itu, dan memintanya untuk   bangkit berdiri. Perlahan-lahan gadis itu bangkit. Namun kepalanya terus tertunduk dalam, seolah-oiah malu untuk menatap wajah Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Sarungkan kembali pedangmu," ujar Rangga lembut.
Perlahan-lahan Dewi Wila Marta mengangkat kepalanya. Diterimanya pedang itu dari tangan Rangga, dan disarungkannya kembali.
"Bisa kurasakan adanya kesungguhan di hatimu untuk menjadi seorang pendekar. Tapi kesungguhan hati tidak cukup untuk berkecimpung di dalam rimba persilatan," kata Rangga lembut. "Masih banyak yang harus dipelajari dan dipahami di padepokan. Bukan hanya penguasaan jurus-jurus, tapi juga pengetahuan lain agar tidak terperosok dan akan membuat dirimu dirundung penyesalan seumur hidup."
"Maafkan aku...," ucap Dewi Wila Marta menyesal.
''Tidak ada yang perlu dimaafkan. Anggap saja ini sebagai pelajaran berharga untuk di kemudian hari jika kau sudah benar-benar siap menjadi seorang pendekar," ujar Rangga tetap lembut
"Aku memang belum siap, tapi aku ingin menimba pengalaman di luar. Resi Kamuka tidak pernah mengijinkan setiap muridnya keluar sebelum menyelesaikan pelajarannya di padepokan. Sedangkan aku sudah tidak tahan lagi. Sejak kecil aku berada di Padepokan Arang Watu, dan tidak ingin sampai tua di sana," keluh Dewi Wila Marta.
"Aku bisa memahami perasaanmu, Wila."
"Sudah lebih dari sepekan kutinggalkan padepokan tanpa ijin. Tidak mungkin aku kembali lagi ke sana. Resi Kamuka pasti tidak bersedia menerimaku lagi. Dan semuanya pasti sudah menganggapku murid murtad."
"Aku tahu siapa gurumu. Beliau orang yang bijaksana. Kalau kau mengakui semua kesalahanmu, pasti masih diterima dengan tangan terbuka."
Dewi Wila Marta menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku takut, Rangga. Aku tidak sanggup lagi bertemu Resi Kamuka. Rasanya dia sudah kubuat kecewa," lirih suara Dewi Wila Marta.
"Tidak perlu takut. Aku akan menjelaskannya nanti pada Resi Kamuka," janji Rangga.
"Oh, sungguh...?" Rangga mengangguk. "Terima kasih.... Rangga."
"Boleh aku memanggilmu Kakang?"
"Kenapa tidak?"
“Terima kasih," ucap Dewi Wila Marta mulai cerah kembali wajahnya.
"Tapi...," mendadak wajahnya kembali mendung.
"Apa lagi?" tanya Rangga.
"Apa mungkin Resi Kamuka masih menerimaku lagi?" tanya Dewi Wila Marta pelan.
"Kenapa tidak? Kau punya bakat besar. Aku yakin, dalam waktu dua atau tiga tahun saja kau sudah mampu malang melintang dalam dunia persilatan," Rangga meyakinkan.
"Resi Kamuka pasti menghukumku, Kakang."
"Segala perbuatan mengandung resiko. Kau berani melakukan perbuatan ini, tentu berani juga menanggung resikonya. Aku rasa hukuman yang akan kau dapat tidak berarti banyak bila kau sudah terjun ke dunia luar. Resiko seorang pendekar lebih berat lagi daripada hukuman yang pasti hanya bersifat mendidik. Bukan karena kebencian semata."
"Aku gembira bisa bertemu denganmu, Kakang. Resi Kamuka sering menceritakan tentang dirimu, dan aku  ingin sekali bertemu denganmu," ungkap Dewi Wila Marta terus terang.
"Aku tidak percaya hanya karena hal itu kau berani mengambil resiko besar seperti ini," Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang sudah bisa ditebak sebabnya Dewi Wila Marta berada di sini sekarang.
"Iya," sahut Dewi Wila Marta tersipu.

29. Pendekar Rajawali Sakti : Mutiara Dari SelatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang