Part 3 : Teka-teki Perjodohan

25.2K 1.3K 43
                                    

Aku mempercepat langkah kakiku saat pulang dari mushola, karena orang-orang yang sedang berolahraga pagi di sekitar komplek terus mencibir dan melemparkan hinaan.

Dulu, aku dipandang sebagai gadis lemah lembut yang disukai banyak orang. Hingga kemudian menjadi guru di SMA Atlas setelah boyong dari pondok pesantren. Setelah berhasil mendapatkan gelar S1 di Universitas Nahdatul Ulama.

Namun, kini aku menjadi perempuan hina yang tidak lagi pantas mendapat pujian. Semuanya sudah berubah.

Siapa kita dihadapan Tuhan? Sehebat dan semulia apapun pangkat kita di depan manusia. Jika Tuhan sudah berkehendak, maka semua kemuliaan itu akan musnah dalam sekali kedipan mata.

Kita hanyalah debu di mata Tuhan.

Sebuah pelajaran berharga yang aku dapatkan, agar tidak menjadi orang yang besar kepala dengan segala kelebihan yang dianugerahkan oleh Tuhan. Semua itu bisa hilang dengan sekejap.

Bola mataku sempat melirik ke arah Reyhan yang masih berjalan dengan santai di belakangku. Bukannya malu, dia malah menatap orang-orang yang mencibirku sambil tersenyum miris.

Bahkan dengan tenang, bocah itu menyender pada pagar rumah warga, yang terdapat banyak ibu-ibu sedang bergosip ria di depan teras.

Dia berdiri menonton mereka, seakan-akan bukan dia yang sedang dihina. Tentu saja gerombolan ibu-ibu itu terlihat kikuk saat ditatap langsung oleh orang yang mereka hina.

"Silahkan sampaikan aspirasi kalian semua, Nyonya-Nyonya!" ucapnya sambil tersenyum tipis, dengan tatapan setajam elang yang ia lemparkan.

"Istri kamu itu sok suci, padahal kelakuannya bejat," sahut salah satu ibu-ibu.

Seperti ada yang hancur di dalam sini, karena menerima perkataan seperti itu.

"Memang dia suci, kok, yang kotor itu mulut-mulut kalian yang suka julid." Reyhan menjawab dengan tenang.

"Eh, bocah! Nggak sopan kamu ya ngomong sama orang tua?" tegur Bu Prapti, ratu gosip di komplek kami.

"Makanya jangan nyinyir, Bu!" sentak Reyhan sedikit meninggikan nada suara.

Karena jengah, aku berhenti melangkah dan melerai pertikaian mereka. "Reyhan!"

Reyhan menoleh ke arahku sambil tersenyum. Kemudian melangkah meninggalkan mereka menuju ke arahku.

Kami berdua kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah. Nampak matahari sudah mulai mengintip dari celah-celah gugusan awan. Menghapus embun pagi di rerumputan.

"Nggak usah diladenin," ujarku kepada pemuda berhidung bangir itu.

"Lagi, pengen," jawabnya enteng.

"Reyhan!"

"Yaudah maaf." Reyhan memutar bola matanya malas.

Tak berselang lama, kami berdua sudah sampai di depan rumah. Terdengar suara perdebatan sengit di dalam rumah.

Sepertinya abi dan Umi sedang bertengkar. Tidak biasanya mereka seperti ini. Aku dan Reyhan hanya terdiam di teras rumah mendengar perdebatan mereka.

"Sekarang lihat Abi, Salis tersiksa dengan pernikahan ini!" Kudengar suara Umi begitu menggelegar seperti mc di microfone pelunas hutang.

"Abi kira Salis benar-benar melakukan hal itu Umi. Abi shock setelah video itu viral. Abi nggak pengen Salisah terjerumus ke dalam maksiat."

Aku membekap mulutku, sementara Reyhan hanya terdiam dengan tatapan datar di sebelahku.

"Kenapa Abi nggak percaya sama anak kita sendiri. Salis anak santri, Salis nggak mungkin berbohong."

"Sebenarnya Abi kasihan dengan Reyhan yang tidak bisa melanjutkan sekolahnya."

Salah JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang