Part 5 : Kesusahan

21.7K 1.3K 21
                                    

Aku dan Reyhan kini berada di sebuah kontrakan yang tidak terlalu mewah juga tidak terlalu menyedihkan untuk ditinggali sepasang suami istri, pas-pasan. Aku harus terbiasa menghadapi suasana yang asing ini. Bersama makhluk paling menyebalka yang ingin sekali aku lenyapkan dari bumi.

"Ngomong-ngomong kita mau punya anak berapa, Bu?" ucap Reyhan merebahkan tubuhnya sambil menatap langit-langit ruang keluarga. Dia melipat kedua tangannya untuk dijadikan bantal.

Aku yang duduk di sofa yang bersebrangan dengannya menepuk jidat. "Emang kamu bisa kerja buat menghidupi keluargamu?"

Tampak Reyhan melirikku sekilas. "Tadinya, sih, iya. Tapi karena Bu Salis bilang begitu aku jadi nggak bergairah lagi melakukannya."

Aku memutar bola mataku malas. "Kalau kamu nggak mau kerja, besok aku mau cari kerjaan," ucapku dengan nada pasrah. Biarlah dia melakukan apa yang dia inginkan, tapi jangan harap bisa menyentuhku sebelum bisa memberi nafkah dengan layak.

"Kerja apa, Bu?" tanyanya. Jujur aku ingin sekali melarang Reyhan untuk tidak memanggilku dengan embel-embel 'bu', tapi aku mengurungkan niatku karena membayangkan Reyhan akan memanggilku 'dek.

"Apa aja yang penting halal," jawabku ketus. "Aku mau nglamar di sekolah lain."

"Owh." Hanya itu kata-kata yang terdengar dari mulut Reyhan. Semoga saja dia peka dan punya inisiatip untuk bekerja memenuhi kebutuhan.

"Besok kamu ke mana?" Aku berharap dia akan menjawab ikut bekerja dengan ayahnya menjadi kuli bangunan. Itu lebih baik daripada tidak kerja sama sekali."

"Tidur," jawabnya santai.

Aku menghela napas panjang. Sabar Salisah ini ujian. Sabar. "Hebat kamu."

"Iya, dong, muridnya Salisah Qolbi itu cerdas-cerdas." Reyhan terkekeh.

Aku menggeram. "Memintari diri sendiri dengan membodohi orang lain?"

"Yes! Tradisi orang Indonesia," sahut Reyhan cepat.

Aku beranjak dari dudukku. "Kamu nggak boleh tidur di dalam kamar sebelum bisa mencari nafkah untuk keluarga," ucapku sebal kemudian masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam.

***

"Maaf, Ibu tidak bisa mengajar di sini," ucap kepala sekolah SDN 3 itu dengan nada sinis. Ini sudah ke delapan kalinya aku ditolak oleh pihak sekolah untuk mengajar di sekolah mereka. Mungkin, mereka tidak suka denganku karena video tidak senonohku sempat viral di sosial media. Lagi-lagi video itu kembali menghadiahiku dengan kesialan-kesialan yang lain. Aku harus berterimakasih pada si penyebar video, karena berkatnya aku jadi dipandang sebelah mata oleh semua orang.

Aku menendang-nendang krikil sambil membawa map di tanganku. Asstagfirullahhaladzim, semoga Allah mengampuni dosa-dosaku sehingga hidupku tidak kesulitan lagi. Aku bingung mau melamar ke sekolah mana lagi. Semua sekolah memberikan respon yang sama saat aku datang.

Tiba-tiba saja ada seorang anak yang menyerobot tasku dan berlari sekuat tenaga menyusuri trotoar. "COPET!! COPET!!!" teriakku panik sambil menunjuk anak itu. Orang-orang yang berada di sekitarku mulai memberi perhatian. Ada beberapa orang yang berlari mengejar anak itu, dan ada pula beberapa orang yang tadinya berada di warung berbondong-bondong menghampiriku.

"Mbak, nggak papa?" tanya salah seorang warga. Tubuhku terasa lemas, karena semua uang di dompetku berada di dalam tas itu.

"Semoga copetnya bisa tertangkap, ya, Mbak." Ibu-ibu berdaster mengusap-usap bahuku.

"Kok, wajah Mbaknya kayak nggak asing gitu, ya?" sahut mas-mas memakai kaos hitam. "Kayak pernah lihat, tapi di mana?"

"Ah, iya. Mbak Ibu guru yang ngajak muridnya ngelakuin hal nggak benar itu, kan? Ah, tidak salah lagi. Aku pernah lihat video Mbak di instragam."

Aku mulai merasa tidak nyaman, kemudian menerobos kerumunan yang mengelilingiku. Aku mempercepat langkah kakiku meninggalkan orang-orang yang kini mencibirku itu.

"Umi...," gerutuku sambil menghentak-hentakkan kakiku kesal. Rasanya aku ingin menangis dan memeluk umi sekarang juga. Dulu waktu di pondok pesantren aku ingin cepat-cepat jadi orang dewasa dan menjadi istri kang santri. Tapi, ternyata menjadi orang dewasa adalah hal yang sangat menyebalkan.

Uangku habis, aku tidak punya pegangan lagi untuk makan besok. Aku tidak mungkin minta ke abi karena aku sudah menikah. Abi masih punya dua anak lagi yang harus diurusi. Aku bingung, karena Reyhan tidak bisa diandalkan sebagai seorang suami. Malangnya nasibku.

Para warga yang mengejar copet tadi tampak sudah kembali dengan wajah lesu. Sepertinya mereka gagal. Aku menghela napas karena tidak bisa naik angkot untuk pulang ke kontrakan. Terpaksa aku harus berjalan kaki sampai berkilo-kilo jauhnya.

Tak terasa jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 04.00. Tubuhku terasa lemas, perutku keroncongan karena dari tadi siang belum diisi makanan. Aku teringat dengan uang kembalian dari sopir angkot yang berada di saku celanaku. Alhamdulilah masih tersisa duaribu. Lumayan bisa dibelikan roti untuk mengganjal perut. Aku menyeka keringat yang membasahi wajahku kemudian melangkah menuju ke warung.

Setelah membeli dua roti kacang seharga seribuan aku kembali melanjutkan perjalanan menuju ke rumah. Aku melahap satu roti kacang itu dengan rakus. Sepertinya hanya makan dua roti saja perutku tidak akan puas. Namun, tiba-tiba aku teringat dengan Reyhan saat akan memakan roti terakhir. Nanti malam dia makan apa? Tadi pagi sebelum pergi aku hanya membelikan dia dua mie instan untuk sarapan dan makan siang.

Aku menghela napas. Kemudian memasukkan roti isi kacang itu ke celanaku. Aku sudah mulai sempoyongan karena lemas. Kemeja putih yang aku kenakan sedikit basah karena dipenuhi keringat. Untung saja sekarang aku sudah sampai di depan rumah.

"Assalamualaikum," ucapku sambil melepas sepatu dan menaruhnya di rak-rakan.

"Wa'alaikumsalam," jawab Reyhan yang berbaring di sofa sambil memainkan game onlinenya.

Tubuhku merosot, terduduk di lantai. Rasanya aku sudah tidak kuat. Padahal baru dua hari tinggal serumah dengan Reyhan. Lihatlah kelakuannya, Ya Tuhan. Udah capek, pulang ke rumah lantai belum dipel. Rumah berantakan, aduh.

Reyhan meletakkan ponselnya kemudian berdiri dan menatapku dengan panik. "Bu Salis kenapa?"

Aku menyenderkan tubuhku pada tembok, lalu mendongak sambil memejamkan mata. Mungkin Reyhan betah tinggal di tempat yang berantakan, tapi aku tidak, aku tipikal orang yang risih melihat satu debu yang menampakkan diri di tempat tinggalku. Dan, sekarang aku tidak punya energi lagi untuk membersihkannya.

"Oke-oke, Bu, semuanya akan beres." Reyhan berlari ke belakang entah mengambil apa. Aku baru mengerti setelah dia kembali membawa ember dan juga alat pel yang masih baru beli kemarin. Dia mengepel setiap sudut ruangan dan membersihkannya. Terkadang aku heran bagaimana dia bisa membaca isi pikiranku?

Aku kini berpindah duduk di sofa sambil menunggu lantai yang dipel Reyhan kering. Aku melepas hijabku yang sudah dibasahi oleh keringat.

"Keadaan Bu Salis, kok, memprihatinkan gitu, sih?" Reyhan kembali ke belakang mengembalikan alat pelnya.

Kemudian dia datang sambil membawakan secangkir teh hangat dan menaruhnya di atas meja. "Bu Salis sekarang mengajar di mana?"

"Lamaranku selalu ditolak, padahal ada beberapa sekolah yang kekurangan guru mengajar. Mereka menolakku karena aku punya attidute kurang baik sebagai guru." Aku menghela napas kemudian menceritakan semuanya kepada Reyhan, semuanya tanpa tersisa sedikitpun dari mulai kecopetan sampai berjalan kaki berkilo-kilo meter. Aku tidak bisa menghubungi seseorang untuk menjemput karena hpku lowbat.

"Kamu dari tadi hanya main game di rumah?" tanyaku kepada Reyhan.

Reyhan mengangguk. "Mau gerak perutku laper."

Ya ampun!

Bersambung...

Salah JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang