1. Taaruf

75.3K 3.7K 36
                                    

Pagi yang sangat cerah untuk mengawali hari. Alhamdulillah sampai saat ini aku masih diberi kenikmatan dan kesehatan untuk menjalani hidupku. Hari ini aku libur kerja dan aku berencana menyambangi sahabatku yang betah sekali di pesantren.

"Ma, Syifa berangkat ya!"

"Hati-hati Syif, ini bawa buat Icha!" kata mama sambil menyerahkan paper bag berisi makanan.

"Siap Mama." Setelah menerimanya aku mencium pipi mama dan hendak keluar.

"Eh tunggu Syif! Ini satu lagi." Mama memberikan aku satu bungkus lagi.

"Buat Icha juga?"

"Bukan, ini buat gus di pesantrennya Icha atau buat kang pondok yang kamu temuin siapa tahu bisa jadi mantunya Mama."

Aku melongo menatap mama, sungguh mamaku ini kalau tidak mantu ya nikah, itu terus yang selalu beliau bahas. Memang ada masalah ya kalau sampai umurku 24 tahun ini belum nikah juga? Ya bukannya aku enggak mau nikah tapi kalau belum ketemu calonnya bagaimana dong?

"Mama kok ngajarin anaknya genit sih?"

"Ya bukan genit, jodoh memang sudah ditentukan sama Allah tapi kita juga wajib berusaha."

"Iyaaaa, terserah Mama sajalah."

Segera aku pamit dan meninggalkan mama sebelum lebih panjang lagi materi nikah yang akan mama sampaikan. Aku sayang kok sama mama, sayang banget malah tapi kadang aku gemes juga, tingkahnya selalu saja ajaib. Tapi papa bilang akulah yang mewarisi sifat ajaib mama, kadang enggak terima saja sih.

Haha ampun Ma!

Mama dan papa dulu juga alhamdulillah pernah nyantri. Malahan keluarga papa adalah keluarga seorang kyai, papa merupakan keponakan seorang kyai di daerah Yogyakarta. Nah mama itu dulu santri biasa di pesantren itu dan tidak tahu bagaimana ceritanya jadi deh dijodohkan sama papa. Eh tapi walaupun santri biasa dan kelakuannya ajaib, mama itu seorang hafidzah quran loh dan alhamdulillah nurun ke anak-anaknya. 

Tak terasa karena terus melamun taksi yang aku tumpangi sudah sampai tujuan. Aku segara turun dan berjalan menuju pesantren Icha.
Aku berjalan menyusuri gang kecil sambil membawa paper bag titipan mama. Aku jadi geli sendiri mengingat perintah mama, memang sih kakakku nikah di umur 22 tahun. Tapi ya biar saja lah, takdir orang kan enggak sama.

"Assalamualaikum" sapaku saat sudah berada di depan kamar Icha.

"Waalaikumussalam!" jawab penghuni kamar itu serempak, di dalammya sekitar ada 6 santri termasuk Icha. Aku segera masuk dan memberikan makanan titipan mama, semuanya. Ya semuanya, bodoh amatlah pesan mama tadi, ya kali aku harus nemuin kang pondok atau anak kyai. Dan aku yakin mama tadi juga cuma bercanda.

"Wah Mbak Syifa tahu saja kalau tanggal tua belum ada kiriman." kata seorang teman Icha sambil tertawa, aku memang sudah akrab dengan mereka karena sering kesini.

"Haha, iya sama-sama! Tahu banget aku rasanya tanggal-tanggal kritis begini!” Icha langsung membuka makanannya dan aku ikut mencicipi titipan mama sambil bersendau gurau dengan mereka. Lalu tiba-tiba Icha mengajakku keluar untuk ngobrol empat mata.

"Apaan sih Cha?" tanyaku.

"Syif…" kata Icha serius.

"Apa?"

"Kamu kan sudah lulus pesantren, hafalanmu juga Insyaallah sudah bagus banget."

"Bagus apanya sih, orang masih amburadul." potongku cepat karena mulai greget sama Icha.

"Halah jangan di potong dulu! Setidaknya kamu sudah lancar pokoknya, nah kamu mau enggak aku jodohkan sama Gus Rizki?" Aku menatap nanar ke arah Icha, kenapa sih dengan orang-orang terdekatku? Apa aku kelihatan sudah tua banget??

"Syif, bagaimana?? Malah bengong!" 

"Kamu jangan bercanda Cha, aku belum mikirin nikah, aku masih mau ngaji benerin hafalanku, masih pengen kerja juga."

"Halah Syif, merendah terus. Nih ya kemarin Ning Faza bilang sama aku kalau ada temanku yang masuk kriteria bisa dijodohkan dengan kakaknya yang bernama Rizki, beliau minta dikenalkan. Dan aku kira kamu masuk banget."

"Apaan sih Cha! Kamu tahu sendiri aku kaya apa, enggak cocok lah sama anak kyai yang sangat menjunjung tinggi kekaleman!"

Saat kami tengah ngobrol serius tiba-tiba datang seorang perempuan cantik lalu tersenyum ramah ke arah kami.

"Nah ini dia Ning Faza." sapa Icha, aku hanya membulatkan mataku. Yang dibilang beneran?

"Hai Cha, ini siapa?" tanyanya ramah.

"Ning, ini Syifa yang pernah Icha ceritain. Bagaimana?"
Ning Faza tersenyum manis sekali sambil memperhatikan aku. Sungguh aku geregetan dengan Icha, bisa-bisanya dia melakukan hal sejauh ini tanpa bicara dulu.

"Masuk!" kata Ning Faza sambil tos dengan Icha.

"Kamu masih lama di sini?" tanyanya.

"Eee..ya belum tahu Ning." jawabku.

"Ikut aku yuk!"

Aku gelagapan karena tiba-tiba Ning Faza menarik tanganku. Aku hanya bisa pasrah sambil menatap tajam kea rah Icha. Dia hanya tertawa saat aku mengacungkan kepalan tanganku.
Ning Faza membawaku ke seberang jalan pesantren. Di sana ada sebuah tempat makan yang nyaman. Ning Faza mengajakku duduk lalu dia terlihat menghubungi seseorang, tidak lama kemudian dia kembali.

"Syif mau pesan apa?" tanyanya.

"Minum saja Ning, jus mangga segar kali ya?" kataku santai.

"Haha, kamu enggak jaim ya suka deh aku."
Lalu kami memesan minum dan tidak lama kemudian datang seorang lelaki dengan pakaian rapi menghampiri kami lalu dia duduk di samping Ning Faza.

"Syif, maaf ya mungkin kamu kaget tapi seperti yang Icha bilang kalau aku mau ngenalin kamu sama kakakku ini."

Aku hanya tersenyum kaku saat Ning Faza menunjuk arah kakaknya, sungguh aku tidak menyukai terjebak dalam keadaan seperti ini.

"Ini Mas Rizki, dia memang ingin taaruf dan minta bantuanku. Nah mungkin enggak perlu lagi ya aku jelaskan intinya aku kenalkan kalian, untuk selanjutnya terserah kalian saja."
Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum kaku sambil menunduk, malu banget mau lihat kakaknya.

"Perkenalkan saya Rizki, dengan?" 
Deg!!
Masyaallah suaranya adem banget!! Syifaaaaa istighfar!!
"Astaghfirullah." gumamku pelan.

"Saya Syifa, Cut Syifa Humaira Ramli." lanjutku.
Tanpa sadar aku menyebutkan nama lengkapku, tapi sedetik kemudian aku menyesal. Kok kesannya aku pengen cepat disebut nama lengkapnnya ya? Aku semakin gugup karena dia tersenyum geli.

"Baiklah, nanti pasti saya hafal nama panjangmu."

"Hah?? Maaf, bukan maksud saya."

"Terus maksudnya apa Syif?" tanyanya semakin membuatku salah tingkah.

"Aduh maaf, jadi grogi kan!" kataku terus terang.

"Haha, lucu kamu Syif! Ya sudah, kita sudah kenalan dan saya permisi dulu ya karena ada hal yang harus saya kerjakan." 

Setelah dia pergi, aku masih mencoba mengatur perasaanku. Ning Faza sejak tadi tidak berhenti tertawa melihat aku salah tingkah, biarlah membuat orang bahagia itu pahala!

Aku dan Ning Faza masih melanjutkan obrolan kami, saling bertukar pengalaman. Darinya aku tahu banyak tentang Gus Rizki termasuk niatnya yang ingin segera menikah saat sudah menemukan wanita yang cocok.

Dia adalah seorang dosen yang mempunyai usaha juga, kata Ning Faza kakaknya punya toko bahan makanan yang lumayan besar biasa menyuplai restoran.

Tidak bisa aku pungkiri, sejak perkenalan tadi timbul rasa kagum di hatiku apalagi sejak mendengar cerita dari Ning Faza. Tapi bukan karena pekerjaanya yang bagus ya, tapi karena dia yang dermawan. Kata Ning Faza, kakaknya punya satu tempat yang dia hibahkan untuk panti jompo dan dia sendiri juga aktif membantu mengurus jalannya panti itu.

Tapi sampai detik ini aku belum mau menyimpulkan bahwa aku tertarik, tidak semudah itu! Oh iya jadi inget mama, maaf ya Ma Syifa ketemu gus tapi makanannya sudah terlanjur habis.

3. Gus Dokterku (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang