5. Burung Hantunya Limbad

48.5K 2.7K 69
                                    

6 bulan kemudian

Aku hanya bisa pasrah merasakan ponsel di saku bajuku yang sejak tadi terus bergetar. Dan aku yakin seribu persen siapa yang tidak pernah punya rasa bosan menelponku walaupun tidak pernah aku angkat.

"Iya Ma, sebentar!" bisikku ketika akhirnya menyerah untuk mengangkat telepon.

"Nanti jemput Mama di rumah Jeni. Awas lupa!"

"Iya, Ya Allah Mama enggak percaya banget sama anak sendiri!" Sebisa mungkin aku memelankan suara karena saat ini aku bersembunyi di bawah meja.

"Kamu itu pelupa soalnya, harus diingatkan berapa kali juga! Ingat jemputnya di rumah Jeni bukan Desi!"

"Masyaallah, iya Mamaku say--"

"Cut Syifa!!"

DUGGGGH!!

"Awwww... Innalillahi!" pekikku kesakitan, aku buru-buru memutus sambungan telepon mama karena ada yang memanggilku, aku berdiri sambil memegangi kepalaku yang terbentur meja.

"Sedang apa kamu?" tanya sang pemimpin rapat, dari suaranya saja sudah tidak bersahabat banget.

Aku sedang rapat penting persiapan akreditasi klinik tempatku bekerja dan peraturan yang baru di sini adalah ketika rapat tidak boleh main ponsel. Asal Anda tahu aku kan enggak mainan, aku angkat telepon dari ratu!

Aku merasakan tanganku terus ditarik-tarik dan aku segera menoleh ke sampingku.

"Itu kamu ditanyain sama dokter!" bisik Febri.

"Eh?? Iya Dok maaf." ucapku sambil menunduk.

"Aturannya masih berlaku!!" serunya dengan ekspresi jutek. Astaghfirullah, kalau tidak ingat dia atasan sudah aku lempar ke kayangan!

Rapat dilanjutkan dan suasana kembali tenang, dokter Alfarizky kembali memimpin jalannya rapat. Beliau adalah atasanku yang baru pengganti dokter Hana, orangnya serem seperti Limbad, soalnya diam saja terus matanya tajam. Eh bukan Limbad sih, lebih cocok disamain burung hantunya Limbad.

Aku akui beliau rajin ibadahnya, pintar sekali masalah kerjaan, tampan juga agak kearab-araban tapi percayalah itu semua hanya sampulnya saja, aslinya Masyaallah bikin gedek. Nih ya, Mbak Sarah pernah nangis karena laporan bulananya dicoret-coret sama itu dokter galak padahal setahuku Mbak Sarah paling rapi kalau buat laporan.

Dia itu galak banget, dingin, jutek dan tidak punya perasaan, beda banget sama dr. Hana dulu. Jelas beda ya secara wanita dan laki-laki tapi secara kepemimpinan pokonya yang ini nyebelin dan kenapa namanya harus Rizky? Aku jadi ingat kenangan buruk kan? Kenapa semua yang namanya Rizky itu nyebelin? Tidak Rizky ini, tidak Rizki yang gagal nikah denganku sama saja!

Rapat yang membosankan ini akhirnya selesai juga dan aku segera berkemas untuk pulang karena sudah jam 4 sore dan aku harus segera menjemput mama.

Lagian mama ngapain sih rajin banget jadi panitia pernikahannya Jeni?

Tapi alhamdulillah mamaku beda denganku, kalau aku semacam punya rasa nggak nyaman ketika berbicara tentang acara pernikahan kalau mama hanya beberapa hari setelah pembatalan nikahku terlihat sedih lalu kembali menjadi mamaku yang ajaib lagi, setidaknya itu yang beliau perlihatkan di depanku dan jujur sikap orangtuaku yang ikhlas itu menjadi kekuatan tersendiri bagiku untuk bangkit dan melupakan kegagalan pernikahan itu.

"Syifa pesankan taksi online ya Ma?" bujukku karena sebenarnya selain capek aku juga malas sekali ke rumah Tante Eka.

"Enggak mau, Mama takut dapet driver yang ganjen."

3. Gus Dokterku (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang